Rabu, Februari 25, 2009

Baik dan Benar: Apakah Sama?


Dua kata sebagai mana title di atas sering kita dengar. Terkadang bila kita tanyakan kepada sebagian orang, ada yang menjawab bahwa maknanya sama. Memang kadangkala dalam percakapan informal sehari-hari terkadang dua kata ini oleh sebagian orang saling dipertukarkan. Coba kita simak cerita imajinasi tentang seorang yang berhati mulia namun berprofesi sebagai pencuri budiman; orang yang mencuri untuk membantu kalangan miskin. Akan muncul berbagai tanggapan dari orang lain atau pembaca terhadap perilaku tersebut dengan komentar ”perbuatan tersebut tidak baik” ada juga yang mengomentari ”perbuatan tersebut tidak benar”. Nah....dari komentar tersebut mana yang tepat?

Kata baik dan benar tidak hanya ada dalam interaksi informal saja. Dalam konteks formal, misalnya di lingkup kerja ataupun organisasi, sering dua kata ini menyertai atau terlabel dalam pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan. Banyak frase yang sering terdengar seperti ”kerjakanlah tugas anda dengan baik”, ”laksanakan tugas anda dengan benar”, ”buatlah laporan ini dengan baik”, ”selesaikan laporan ini dengan benar”, atau keduanya digunakan secara bersamaan seperti ”coba selesaikan apa yang menjadi tanggung jawab anda dengan baik dan benar”, dan masih banyak frase lainnya yang menggunakan dua kata di atas dapat muncul ketika berinteraksi dengan rekan kerja, bawahan, ataupun atasan. Misalnya, dalam suatu organiasai terdapat seorang atasan yang sangat ramah, murah senyum, tidak menonjolkan diri sebagai atasan, suka membantu bawahannya yang mendapat kesulitan baik dalam bentuk materi maupun arahan, di sisi lain dalam pengelolaan keuangan negara yang menjadi anggaran organisasi terjadi kegiatan KKN yang dilakukan oleh atasan tersebut. Coba kita simak lagi satu cerita yang dulu pernah saya simak dari sebuah media cetak (saya lupa nama rubriknya dan kapan saya membacanya) yang meliputi tentang fenomena sosial yang ada di masyarakat, di mana seorang anak dara/gadis merantau dengan tujuan mencari pekerjaan untuk membahagiakan orang tuanya, dan pada akhirnya berprofesi menjadi seorang PSK. Hasil dari ”profesinya” tersebut digunakan untuk membahagiakan orang tuanya. Nah...dari cerita-cerita tersebut tersirat dua kata baik dan benar; mana kira-kira yang baik dan mana yang benar?

Bennis dan Nanus, pakar organisasi dari negeri Paman Sam, pernah melontarkan terminologis ”do the right things” dan ”do the things right” bagi kegiatan dalam suatu organisasi. Kalau disimak keduanya mengandung makna yang berbeda. Apapun kegiatan kita akan mengandung kedua terminologis tersebut. Hal tersebut tergantung pada pilihan, mana yang akan kita pilih. Menurut saya yang terbaik adalah kombinasi dari kedua-duanya.

Menurut saya, Do the right things merujuk pada kata baik. Baik adalah sebuah kata mengenai suatu kondisi atau situasi yang mengekspresikan etika yang berkaitan dengan kesopanan, keindahan dan emosi/perasaan, yang bersandarkan pada nilai-nilai dan moral masyarakat, sosial dan agama, seperti bagaimana seseorang bersikap terhadap orang lain, bagaimana seseorang memperlakukan orang lain, dan lain sebagainya. Sedangkan do the things right merujuk pada kata benar. Benar adalah sebuah kata mengenai cara atau teknis. Sesuatu hal yang benar adalah apabila ia berjalan sesuai dengan cara yang sudah disepakati, sesuai dengan aturan yang ada. Terkadang yang benar ini belum tentu baik, misalnya saja pertanggungjawaban keuangan apabila secara administrasi sudah sesuai (benar) walaupun dalam pelaksanaannya tidak baik misalnya terjadi ”mark up” maka bisa dianggap bukan masalah, karena secara administrasi (bukti fisik) yang dikemukakan benar. Atau, seperti cerita di atas seorang anak yang ingin membahagiakan orang tua dengan cara menjadi PSK. Cara yang dilakukannya Tidak Benar namun tujuannya Baik agar orang tuanya bahagia. Dalam berbicara dengan orang tua, kita selalu santun (baik) namun apakah tatabahasa yang kita gunakan sudah benar? Belum tentu bukan!..... Nah...yang paling tepat apabila kita melaksanakan suatu pekerjaan diharapkan kedua-duanya yaitu baik dan benar terpenuhi.

Senin, Februari 23, 2009

Komunikasi dalam Proses Pembelajaran pada Kegiatan Diklat


Diklat, ditinjau dari prosesnya, dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi. Dalam proses tersebut melibatkan komponen-komponen komunikasi yaitu fasilitator/widyaiswara (WI) sebagai komunikator dan peserta diklat sebagai komunikan, pesan atau materi pengajaran, saluran yang digunakan (bisa saluran interpersonal atau saluran lainnya), serta adanya efek/reaksi yaitu perubahan tingkah laku peserta diklat. Oleh karena itu, agar tercapai interaksi perlu adanya komunikasi yang jelas antara WI dengan peserta diklat, sehingga terpadunya dua kegiatan, yakni kegiatan memfasilitasi (usaha WI) dengan kegiatan belajar (tugas peserta diklat) yang berdaya guna dalam mencapai tujuan diklat. Kegiatan memfasilitasi yang dilakukan WI dan kegiatan belajar yang dilakukan peserta diklat merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi WI dengan peserta diklat, peserta diklat dengan peserta diklat pada saat proses pembelajaran berlangsung.

Sering terjadi kegagalan mencapai tujuan program diklat disebabkan lemahnya sistem komunikasi. Untuk itulah para WI perlu mengembangkan pola komunikasi yang efektif dalam proses belajar mengajar.

Menurut Sudjana (1991), terdapat tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis dalam suatu proses pembelajaran, yaitu:
  1. Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah. Dalam komunikasi ini WI berperan sebagai pemberi aksi dan peserta diklat sebagai penerima aksi. WI aktif peserta diklat pasif. Metode mengajar ceramah pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. Namun komunikasi jenis ini kurang menghidupkan semangat peserta diklat untuk belajar.
  2. Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah. Pada komunikasi ini WI dan peserta diklat dapat berperan sama, yaitu pemberi aksi dan penerima aksi. Keduanya dapat saling memberi dan saling menerima. Komunikasi ini lebih baik daripada yang pertama, sebab kegiatan WI dan kegiatan peserta diklat relatif sama.
  3. Komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah. Yakni komunikasi yang tidak hanya melibakan interaksi dinamis antara WI dan peserta diklat tetapi juga melibatkan interaksi dinamis antara peserta diklat yang satu dengan peserta diklat lainnya. Proses belajar mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada kepada proses pembelajaran yang mengembangkan kegiatan peserta diklat yang optimal, sehingga menumbuhkan peserta diklat belajar aktif.
Penerapan dari ketiga pola di atas dalam proses pembelajaran dimanifestasikan dalam bentuk metode yang digunakan WI ketika mengadakan hubungan dengan peserta diklat pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Metode yang digunakan WI memiliki peranan yang sangat penting dalam menciptakan iklim pembelajaran yang supportif dan kondusif. Dengan metode yang efektif akan tumbuh berbagai kegiatan kegiatan belajar peserta diklat sehubungan dengan kegiatan memfasilitasi WI. Proses pembelajaran yang baik, hendaknya mempergunakan berbagai pola komunikasi atau metode pembelajaran secara bergantian atau saling bahu membahu satu sama lain.

Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran, seorang WI yang baik harus telah mempersiapkan materi yang akan disampaikannya. Bahan/materi atau pesan harus disusun sedemikan rupa agar dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajatan diklat. Bahan/,ateri pembelajaran adalah isi yang diberikan kepada peserta diklat pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Melalui materi yang telah dipersiapkan, peserta diklat diantarkan kepada tujuan pembelajaran diklat.

Menurut Schramm (dalam Effendy, 1993), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan pesan, sehingga mudah dimengerti oleh pihak komunikan, yaitu:
  1. Pesan (dalam hal ini materi pembelajaran) harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian pihak komunikan (peserta diklat).
  2. Pesan harus menggunakan sibol-simbol yang didasarkan pada pengalaman yang sama antara pihak komunikator (WI) dengan pihak komunikan (peserta diklat), sehingga sama-sama mengerti.
  3. Pesan harus dapat membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan (peserta diklat).
  4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi komunikan (peserta diklat) sehingga dapat membangkitkan respons yang dikehendaki.
Berdasarkan apa yang disampaikan Schramm di atas, WI dapat memodifikasinya sewaktu mempersiapkan bahan/materi pembelajaran sehingga dapat dengan mudah diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, seperti yang dinyatakan oleh Sudjana (2000), yaitu :
  1. Bahan harus sesuai dengan dan menunjang tercapainya tujuan.
  2. Bahan harus ditata serasi dengan urutan tujuan. Artinya, bahan yang ditulis pertama bersumber dari tujuan yang pertama, bahan yang ditulis kedua, bersumber dari tujuan yang kedua dan seterusnya.
  3. Urutan bahan hendaknya memperhatikan kesinambungan (kontinuitas). Kesinambungan mempunyai arti bahwa antara bahan yang satu dengan bahan berikutnya ada hubungan fungsional, bahan yang satu menjadi dasar bagi bahan berikut.
  4. Bahan disusun dari yang sederhana menuju ke yang kompleks, dari yang mudah menuju yang sulit, dari yang konkret menuju ke yang abstrak. Dengan cara ini peserta diklat akan mudah memahami.
Menetapkan bahan pembelajaran dalam sebuah perencanaan kegiatan diklat tidak akan banyak mendapat kesulitan, apabila tujuan pembelajaran dirumuskan dengan jelas dan terdapat sumber-sumber yang berkenaan dengan bahan tersebut. Yang sulit adalah mengorganisasi bahan dan membahasnya dalam proses pembelajaran sehingga dapat dipahami oleh peserta diklat. Organisasi bahan menyangkut bagaimana mengatur dan mensistematisasi serta menyajikan bahan agar menjadi satu kesatuan yang utuh dan berarti, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran.

Selain pada penyusunan dan pengorganisasian materi, efektivitas kegiatan belajar peserta diklat banyak dipengarui oleh kegiatan fasiltasi WI. Misalnya jika kegiatan fasilitasi yang dilakukan WI menuturkan bahan secara lisan pada peserta diklat (metode ceramah), maka kegiatan belajar peserta diklat tidak terlalu banyak. Mereka hanya mendengarkan uraian WI, dan kalau perlu mencatatnya. Namun seandainya kegiatan WI memfasilitasi dilaksanakan dengan cara bertanya atau melempar masalah untuk dipecahkan peserta diklat, maka kegiatan peserta diklat belajar akan lebih aktif, seperti diskusi, berdialog dengan teman sebangku dan lainnya. Ciri proses pembelajaran yang berhasil salah satu diantaranya dilihat dari kadar peserta diklat belajar. Makin tinggi kegiatan belajar peserta diklat, makin tinggi peluang berhasil atau tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini berarti bahwa WI harus mampu merangsang peserta diklat melakukan berbagai kegiatan belajar. Untuk itu diperlukan keterampilan WI dalam memilih berbagai metode pembelajaran dan pola komunikasi yang akan digunakan dalam proses pembelajaran tersebut.

Sabtu, Februari 21, 2009

Syukurnya Seorang Buta

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu alaihi wa salam pernah bercerita: ''Dahulu ada tiga orang Bani Israil yang masing-masing menderita suatu penyakit. Orang pertama diserang penyakit kudis disekujur tubuhnya, orang kedua tidak memiliki sehelai rambut pun di kepalanya (botak) dan orang ketiga menderita cacat pada matanya sehingga tidak bisa melihat (buta). Allah ingin menguji mereka dengan mengutus malaikat-Nya.

Malaikatpun mendatangi orang pertama seraya bertanya: ''Apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Warna dan kulit yang indah serta hilangnya seluruh cacat di tubuhku yang membuat manusia menjauhiku.'' Malaikat lalu mengusapnya sehingga segala cacat di kulitnya hilang dan berganti warna kulit yang indah. Malaikat lalu bertanya lagi: ''Binatang (ternak) apa yang anda inginkan?'' Jawabnya: ''Unta...-atau sapi-'' (perawi ragu). Lantas diapun diberi unta yang sedang bunting dan malaikat berdoa: ''Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu''.

Selanjutnya malaikat mendatangi orang yang botak dan bertanya: ''Apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Rambut yang indah serta hilangnya seluruh cacat yang membuat manusia lari dariku.'' Malaikat lalu mengusapnya sehingga cacat di kepalanya hilang dan diberi rambut yang indah. Malaikat lalu bertanya lagi: ''Binatang apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Sapi''. Lantas diapun diberi seekor sapi bunting dan malaikat berdoa: ''Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu.''

Kemudian malaikat mendatangi orang ketiga (si buta) dengan pertanyaan yang sama: ''Apakah sesuatu yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Semoga Allah menyembuhkan mataku hingga aku dapat melihat.'' Malaikat lalu mengusapnya sehingga dia dapat melihat. Malaikat lalu bertanya lagi: ''Binatang apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Kambing''. Lantas diapun diberi kambing bunting dan malaikat berdoa: ''Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu.''

Waktu terus berputar, hari datang silih berganti, bulan terus berganti dan tahun demi tahun pun berlalu. Ternak mereka makin berkembang biak dan bertambah banyak, hingga masing-masing mempunyai sebuah lembah yang mereka pergunakan untuk menggembala ternaknya masing-masing. Lembah unta, lembah sapi, dan lembah kambing.Tibalah saatnya bagi Allah untuk menguji mereka.

Malaikat kembali mendatangi orang pertama yang kini adalah orang kaya dan tidak lagi berkudis. Malaikat tersebut datang dengan wujud dan keadaan orang tersebut sebelum jadi kaya, yaitu seorang miskin lagi berkudis. Kemudian mengatakan: ''Saya seorang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalanan, hari ini tiada yang dapat menolong diri saya kecuali Allah kemudian tuan. Saya memohon kepada tuan yang telah dikaruniai kulit yang indah untuk berkenan kiranya memberikan sedikit harta demi kelangsungan perjalanan saya''. Si kudis menjawab: ''Tidak, kebutuhanku yang lain masih banyak.'' Malaikat berkata: ''Sepertinya dulu saya pernah mengenal tuan. Bukankah dahulunya tuan adalah seorang yang berkudis lalu Allah sembuhkan? Dan dahulu tuan adalah seorang fakir lalu Allah cukupkan?'' Dia menjawab: ''Harta ini adalah warisan nenek moyang sejak dulu''. Kata Malaikat: ''Jikalau engkau dusta maka Allah akan merubah tuan seperti keadaan semula''.

Berikutnya malaikat mendatangi orang kedua. Malaikat menyerupai wujudnya ketika masih miskin dan botak dahulu seraya mengajukan permintaan yang serupa dengan orang kedua tadi. Jawaban yang diperoleh pun tak berbeda dengan jawaban orang pertama. Akhirnya malaikat berkata: ''Jikalau engkau dusta, maka Allah akan merubah tuan seperti semula''.

Malaikat kemudian mendatangi orang ketiga dengan rupa seorang buta yang miskin seraya mengatakan: ''Saya orang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalanan. hari ini tiada yang dapat menolong diri saya kecuali Allah, kemudian tuan. Saya memohon kepada tuan yang telah disembuhkan oleh Allah untuk berkenan kiranya memberi saya sedikit harta demi kelangsungan perjalanan saya ini''. Jawab si buta: ''Dahulu aku adalah seorang buta, kemudian Allah menyembuhkanku. Maka ambillah apa saja dan berapapun yang anda mau dan tinggalkan yang anda tidak suka. Demi Allah, saya tidak merasa keberatan bila anda mengambil sesuatu untuk Allah''. Malaikat menjawab: ''Tahanlah hartamu, ambillah kembali. Sesungguhnya kalian sedang diuji. Allah telah meridhoimu dan murka kepada saudaramu''.

Si Buta dengan ikhlas hati memberikan hartanya kepada malaikat tersebut yang dalam pandangannya adalah seorang yang membutuhkan bantuan. Maka Allah memberkahinya dan dia tetap memiliki hartanya. Berbeda halnya dengan kedua rekannya terdahulu yang ternyata dia berubah menjadi seorang bakhil. Setelah berubah menjadi orang kaya dan berharta, keduanya lupa akan kewajibannya, yaitu bersyukur kepada Allah dan memberikan hak orang lain yang juga membutuhkan uluran tangannya. Maka dikembalikanlah keadaan mereka sebagaimana semula.

Dari kisah di atas kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran yang sangat berharga. Di antaranya:

  1. Wajibnya bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah.
  2. Syukur nikmat merupakan sebab keridhaan Allah.
  3. Jujur dan dermawan merupakan sifat yang mulia sebagaimana sifat si buta di atas.
  4. Harta yang sedikit tapi disyukuri itu lebih baik daripada banyak tapi tidak disyukuri, sebagaimana harta si buta yang hanya kambing dibanding harta si kudis dan si botak yaitu unta dan sapi.
  5. Keutamaan shadaqah dan belas kasih terhadap fakir miskin.

Sumber: Majalah Al Furqon edisi 1 tahun II
http://www.jilbab.or.id [20 Juni 2005]

Kamis, Februari 19, 2009

Hubungan Penyuluhan dan Pemberdayaan


Kegiatan penyuluhan tidak efektif bila sasaran suluh sekedar mengetahui adanya inovasi (new practice) yang diperkenalkan atau ditawarkan oleh penyuluh namun tidak diikuti dengan perubahan perilaku. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh hendaknya jangan sekedar mempresentasikan adanya inovasi saja namun perlu diikuti oleh program atau kegiatan partisipasi yaitu kegiatan yang diarahkan untuk mengajak sasaran suluh agar mau terlibat dalam kegiatan tersebut. Artinya, bahwa kegiatan penyuluhan jangan hanya merupakan kegiatan yang sifatnya sekali jalan namun harus menjadi kegiatan yang sifatnya berkelanjutan. Kegiatan lanjutan ini bertujuan untuk melihat dan membuktikan apakah telah terjadi perubahan perilaku pada sasaran suluh. Terdapat enam tahapan dalam proses perubahan yang akan dilalui sasaran suluh dalam mengadopsi suatu keterampilan baru, yaitu tahap pra perenungan, perenungan, pengumpulan informasi, tindakan, adopsi dan internalisasi.

Walaupun tujuan akhir kegiatan penyuluhan adalah perubahan perilaku sasaran suluh yang ditandai dengan diadopsinya inovasi, namun perlu diperhatikan bahwa setiap tahapan yang dilewati menandakan telah terjadinya perubahan pada diri sasaran suluh. Oleh karena itu setiap tahapan yang dilalui oleh sasaran suluh perlu dipantau dan didokumentasikan oleh penyuluh, agar nantinya para penyuluh dapat menyediakan berbagai informasi, dukungan dan pelayanan yang dibutuhkan oleh sasaran suluh dalam setiap tahapan yang dilaluinya sehingga tercapai tahapan akhir dari proses perubahan tersebut.

Agar keseluruhan tahapan tersebut yang merupakan tujuan dari kegiatan penyuluhan dapat tercapai, maka sebelum melaksanakan kegiatan penyuluhan baik penyuluh maupun lembaga penyuluhan perlu melakukan persiapan dengan merancang suatu program penyuluhan yang tepat sasaran, tepat waktu dan taat asas. Perlu juga diperhatikan bahwa perubahan perilaku tidak muncul begitu saja, namun bergantung pada kapasitas atau power (daya) yang dimiliki oleh sasaran suluh. Oleh karena itu, para penyuluh perlu memahami dan menyadari bahwa pada hakekatnya setiap orang atau sasaran suluh mempunyai kapasitas, namun pada umumnya kapasitas tersebut belum diberdayakan dan dikembangkan.

Dengan kesadaran ini maka yang perlu dilakukan oleh penyuluh adalah bagaimana mengelola kapasitas yang sudah dimiliki sasaran suluh tetapi belum dikembangkan untuk menjadi suatu kekuatan, menjadi energi yang besar sehingga sasaran suluh mampu mengatasi masalah yang mereka hadapi. dan mampu mengontrol hidupnya sendiri. Proses pengembangan kapasitas sasaran suluh dikenal dengan pemberdayaan. Proses pengembangan kapasitas ini dimulai dari lingkup individu yang kemudian diharapkan menyebar menjadi lingkup yang lebih luas yaitu peningkatan kapasitas masyarakat. Dalam aktivitas pemberdayaan, masyarakat diberikan peluang atau kesempatan dan dukungan serta sumberdaya agar secara mandiri mampu mengontrol dirinya sendiri.

Rabu, Februari 18, 2009

Berbagai Peran Penyuluh


Penyuluhan adalah sistem pendidikan untuk mengubah perilaku masyarakat, di mana pelaksanaannya dilakukan oleh penyuluh. Terdapat beberapa aspek yang harus dilakukan atau diperankan oleh penyuluh untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam memberikan bantuan pada masyarakat, apapun spesialisasi atau bidang tugas dari penyuluh tersebut. Beragam dimensi atau aspek tersebut, secara ringkas, terdiri dari sembilan hal berikut, yaitu:

  1. Melakukan diagnosa terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Penyuluh harus mampu menjawab dua pertanyaan, yaitu apa masalah yang dihadapi masyarakat? dan apa yang menjadi penyebab dari masalah tersebut. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut harus mampu didiagnosa oleh penyuluh
  2. Melakukan perkiraan terhadap motivasi dan kapasitas masyarakat untuk melakukan perubahan. Tingkat dan kualitas perubahan yang akan dicapai oleh masyarakat sangat bergantung pada seberapa besar energi dan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu melakukan penaksiran atas kesiapan masyarakat untuk berubah, dan harus mampu menentukan apakah masyarakat memiliki motivasi yang cukup dan kapasitas untuk mempertahankan proses perubahan tersebut
  3. Melakukan penaksiran terhadap motivasi dan sumberdaya yang dimilikinya. Untuk mendukung keberhasilan tugas dan tanggungjawabnya, penyuluh harus memiliki dan mempertegas motivasinya dalam membantu masyarakat, serta mempertimbangkan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk digunakan dalam memberikan bantuan pada masyarakat
  4. Memilih tujuan perubahan yang tepat dan sesuai dengan keadaan masyarakat. penyuluh harus mampu memilih dan menetapkan tujuan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat bersama-sama menganalisis dan menetapkan tujuan perubahan
  5. Memilih peran yang tepat untuk membantu masyarakat. Penyuluh harus mampu memilih peranan yang tepat sehingga ia dapat memberikan bantuannya kepada masyarakat selama berlangsungnya proses perubahan. Bantuan atau peranan yang dilakukan oleh penyuluh meliputi: 1) memediasi dan merangsang timbulnya hubungan-hubungan yang baru di dalam sistem masyarakat, 2) menyajikan pengetahuan dan keahlian dalam bentuk prosedur/cara kerja, 3) menyediakan kekuatan dari dalam sistem masyarakat, 4) menciptakan lingkungan yang kondusif, 4) memberikan dorongan selama berlangsungnya proses perubahan
  6. Membangun dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Keberlangsungan proses perubahan sangat ditentukan oleh hubungan antara penyuluh dengan masyarakat. Oleh karena itu hubungan antara penyuluh dan masyarakat perlu dijaga. Pemeliharaan hubungan ini meliputi perencanaan bersama, berbagi pengalaman, dan harapan-harapan yang saling menguntungkan yang telah dibangun oleh penyuluh dan masyarakat selama berlangsungnya proses perubahan
  7. Mengakui dan membimbing masyarakat. Perubahan pada masyarakat akan tercapai bila penyuluh memperhatikan hal-hal berikut, yaitu: 1) adanya kebutuhan untuk berubah dari masyarakat, 2) membangun hubungan baik antara penyuluh dengan masyarakat, 3) mengidentifikasi dan menetapkan masalah, 4) menetapkan tujuan perubahan, 5) melakukan tindakan perubahan, 6) mempertahankan dan menstabilkan berlangsungnya proses perubahan, dan 7) hubungan saling bantu berakhir karena tercapainya tujuan perubahan, atau menetapkan hubungan saling bantu yang baru
  8. Memilih teknik tertentu dan pola perilaku yang sesuai. Penyuluh harus menggunakan kriteria atau teknik yang sebelumnya telah ia tetapkan disesuaikan dengan pola perilaku masyarakat
  9. Mengembangkan profesionalisme melalui penelitian dan konseptualisasi. Penyuluh harus mampu secara terus menerus mengembangkan kemampuan dirinya dalam membantu masyarakat. Upaya pengembangan diri ini dapat dilakukan dalam bentuk penelitian, atau melalui kegiatan observasi untuk membantu masyarakat, dan kemudian merefleksikan dan melaporkan hasil kegiatan tersebut

Selasa, Februari 17, 2009

Fenomena PONARI dan “BATU SAKTI”-nya


Pada saat ini semua stasiun Televisi menyiarkan tentang “kesaktian” Ponari. Ponari bocah cilik yang lugu dari jombang tiba-tiba menjadi ”selebritis” dadakan. Ponari oleh sebagian orang dianggap sebagai ”dewa penyembuh” atas berbagai penyakit. Banyak orang yang berbondong-bondong datang dan rela antri berjam-jam, tidak peduli dengan situasi berdesak-desakan, agar dapat berjumpa dengan Ponari dan mendapat celupan batu yang kononnya sakti mandraguna. Bahkan walaupun sudah terjadi korban jiwa sebagai akibat desak-desakan tersebut, toh......tetap saja orang berjubel-jubel datang dan tetap berdesak-desakan. Mereka tidak peduli akan kejadian tersebut, karena ”keinginan yang kuat untuk sembuh” begitu kata beberapa orang yang diwawancarai oleh stasiun-stasiun swasta. Fenomena apa ini sebenarnya? Dan Bagaimana seharusnya pemerintah menyikapinya?

Salah satu ciri masyarakat Indonesia, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Koentjoroningrat, adalah percaya pada tahayul. Kepercayaan ini sudah melekat kuat pada diri sebagian besar masyarakat Indonesia. Keyakinan akan adanya kekuatan-kekuatan supranatural ini kemudian berlebihan sehingga tejadi hal-hal yang bersifat irrasional, terjadi pengkultusan terhadap materi atau peristiwa yang dianggap mampu menunjukkan ”kesaktiannya”, seperti pohon keramat, batu bertuah, jimat, dan lain sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal yang ghaib itu ada, namun harus ditempatkan secara proporsional sesuai dengan tuntunan agama. Kemampuan intelektual disertai kekuatan iman menjadi faktor penentu bagi terciptanya keyakinan yang rasional. Dan banyak pula faktor yang dapat memengaruhi kekuatan intelektual dan kekuatan iman seseorang. Fenomena Ponari, memperlihatkan bahwa kekuatan intelektual dan iman sebagian masyarakat Indonesia belum mampu untuk melakukan pertimbangan yang rasional, sehingga lebih percaya pada hal-hal yang berbau klenik. Selain itu, ketidakpastian jaminan pelayanan kesehatan, kondisi ekonomi yang rendah, dan keinginan sembuh secara instan juga menjadi faktor timbulnya fenomena Ponari.


Belajar dari fenomena Ponari, sudah saatnya mulai sekarang Pemerintah memperbaiki dan meningkatkan kekuatan intelektual dan iman masyarakat Indonesia. Kekuatan intelektual dan iman masyarakat Indonesia secara terus-menerus perlu untuk ditumbuhkembangkan. Perlu adanya proses perubahan perilaku masyarakat, yang dapat dilakukan melalui upaya-upaya pemberdayaan, upaya-upaya pendidikan, serta mengembangkan situasi dan kondisi lingkungan yang kondusif bagi terciptanya efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran tersebut. Pemerintah harus lebih memperhatiakan kebutuhan rakyatnya. Pemerintah harus mampu memberikan jaminan pelayanan kesehatan, harus mampu mendidik masyarakat menjadi masyarakat byang membangun dan mandiri serta rasional.

Terkait dengan batu yang kononnya sakti milik Ponari, seharusnya oleh pihak terkait perlu dilakukan penelitian atau kajian secara ilmiah. Segala sesuatu yang ada di alam ini pada dasarnya mengandung energi, ada yang bermanfaat ada pula yang merusak. Seperti contoh uranium adalah sejenis batu yang memiliki energi yang bila berada di tempat gelap akan terlihat seperti menyala, dan energi ini dapat dimanfaatkan oleh manusia. Ada juga batu yang memiliki energi seperti magnet sehingga dapat melekatkan benda-benda yang berunsur logam, batu bara yang memiliki energi panas, dan masih banyak contoh lainnya. Pada Zaman dahulu sebelum adanya kajian ilmiah mungkin saja batu-batu tersebut akan dikultuskan juga.

Oleh karenanya, untuk mendapat kepastian apa sebenarnya batu yang dimiliki Ponari, dan apa yang dikandung oleh batu tersebut perlu dilakukan kajian-kajian ilmiah. Agar tidak terjadi spekulasi atas ”kehebatan” batu tersebut. Apakah orang-orang yang sembuh memang betul-betul sembuh atau sekedar merasa sembuh (placebo effect); sembuh semu sebagai akibat sugesti yang mendalam terhadap ”kesaktian” batu tersebut. Kalau memang betul-betul sembuh maka dengan kajian ilmiah dapat diupayakan untuk mencari tahu unsur-unsur apa yang dikandung batu tersebut, sehingga suatu saat apabila ditemukan kandungan unsur-unsur yang memang berguna bagi kemaslahatan manusia, maka dapat diperbanyak atau direplikasi yang nantinya dapat digunakan sebagai obat baru atau penemuan baru di bidang medis......who knows???.

Senin, Februari 16, 2009

Proses Pembelajaran dalam Penyuluhan


Penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan yang bersifat non formal. Pendidikan itu sendiri adalah suatu proses atau usaha/kegiatan yang ditujukan untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) manusia. Sebagai suatu sistem pendidikan maka proses yang terjadi dalam kegiatan penyuluhan adalah proses pembelajaran.

Dalam proses pembelajaran pada kegiatan penyuluhan, yang menjadi peserta didik adalah orang dewasa. Sehingga agar kegiatan penyuluhan dapat berjalan dengan efisien dan efektif, diperlukan pemahaman tentang orang dewasa. Penyuluh harus mampu memahami teori pendidikan orang dewasa. Terdapat beberapa prinsip yang perlu dikedepankan dalam sebuah proses belajar pada kegiatan penyuluhan yang terkait dengan pendidikan orang dewasa, antara lain:

  1. Penyuluh harus dapat berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai guru. Sebagai mana makna fasilitator yang berasal dari kata bahasa inggris to facilitate yang artinya membuat mudah (memudahkan), maka seorang fasilitator memiliki peranan membantu sasaran suluh agar mudah belajar. Penyuluh berperan sebagai pembimbing atau pihak yang mempermudah jalannya proses belajar. Disini penyuluh dapat menjadi motivator, katalisator, dan konsultan
  2. Materi penyuluhan harus berdasarkan pada kebutuhan belajar yang dirasakan oleh sasaran suluh. Sasaran suluh yang notabene adalah orang dewasa pada umumnya melihat pendidikan sebagai proses peningkatan ketrampilan yang akan segera bermanfaat dalam kehidupan sesuai fungsinya dalam masyarakat. Sehingga pendidikan orang dewasa lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan materi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.yang mereka hadapi. Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan materi yang dibutuhkan oleh sasaran suluh adalah secara teknis dapat dilakukan, secara ekonomis dapat memberikan keuntungan, dan tidak bertentangan dengan nilai sosial dan budaya sasaran suluh.
  3. Efektivitas proses belajar, bukan diukur dari banyaknya “knowledge transfered”, namun lebih pada tumbuh dan berlangsungnya proses dialog/diskusi dan sharing informasi/pengalaman antar peserta kegiatan penyuluhan, lebih pada terjadinya upaya pembelajaran bersama di antara sasaran penyuluhan, dengan kata lain proses belajar harus bersifat partisipatif. Suasana belajar diupayakan bersifat informal dan mendorong masing-masing pesertanya untuk saling menghargai kerjasama
  4. Perlu memperhatikan perbedaan individu atau karakteristik sasarn suluh. Sasaran suluh adalah orang dewasa di mana masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara lain berpengalaman atau belum berpengalaman, usia muda atau tua, emosional atau kalem, bugar atau kurang bugar, berpendidikan atau kurang berpendidikan, dan lain sebagainya.
  5. Penggunaan media menekankan pada keterlibatan panca indera sasaran suluh secara optimal pada proses pembelajaran. Pembelajaran akan lebih efektif apabila didukung dengan peragaan-peragaan (media pembelajaran) yang konkret. Dengan peragaan maka pemahaman sasaran suluh akan lebih dalam. Peragaan yang dilakukan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sasaran suluh tidak hanya memahami sesuatu hanya terbatas pada luarnya saja, tetapi juga harus sampai pada macam seginya, dianalisis, disusun, dikomparasi sehingga dapat memperoleh gambaran yang lengkap.
  6. Tempat atau lingkungan belajar merupakan segala sesuatu yang dapat mendukung proses pembelajaran. Lingkungan pembelajaran dapat berfungsi sebagai sumber pembelajaran atau sumber belajar. Oleh karena itu, dalam kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus dapat membawa, mengatur atau menciptakan lingkungan sebaik-baiknya sehingga tercipta lingkungan sebagai komponen pembelajaran yang penting kedudukannya secara baik dan memenuhi syarat.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keberhasilan proses pembelajaran pada kegiatan penyuluhan sangat bergantung pada kemampuan penyuluh mengelola kegiatan tersebut. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip pembelajaran, yang di antaranya telah disebutkan di atas, merupakan salah satu modal dasar bagi penyuluh agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan efektif.

Minggu, Februari 15, 2009

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan


Undang Undang No. 41 Tahun 1999, menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Dengan demikian hutan hendaknya diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga dan dipertahankan kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Hal tersebut tertuang dalam bentuk visi pembangunan kehutanan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Pengelolaan hutan pada masa lalu lebih banyak diserahkan kepada para pemilik modal besar (perusahaan). Perusahaan tersebut mendapat legitimasi dari pemerintah dengan diberikannya Hak Penguasaan Hutan (HPH). Namun sayangnya pengawasan terhadap jalannya proses pengelolaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang HPH ini tidak taat azas, sehingga terjadilah degradasi hutan yang dilakukan secara sistematis. Disamping itu, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang aktivitas hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan oleh para pemegang HPH hanya dijadikan penonton, tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan tersebut. Bahkan terkadang keberadaan perusahaan pemegang HPH hanya menjadikan mereka sebagai kaum marjinal.

Pada saat belum adanya perusahaan, masyarakat sekitar hutan sudah terbiasa mengelola hutan secara tradisional dan masih bisa mengandalkan hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, namun setelah muncul perusahaan, akses mereka dibatasi bahkan diputus. Akibatnya, kondisi kehidupan masyarakat tersebut semakin terpuruk yang semakin melemahkan kapabilitas mereka dalam menunjukkan perannya dalam pengelolaan sumber daya hutan. Akibatnya, masyarakat merasa tidak diperdulikan dan tidak dihargai sehingga pada gilirannya dalam diri mereka hilang sense of belonging dan sense of responsibility terhadap hutan.

Lahirnya era reformasi telah membuat banyak perusahaan pemegang HPH yang berhenti beroperasi. Perusahaan-perusahaan tersebut dilikuidasi oleh pemerintah baru, karena terbukti telah mengeksploitasi hutan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah sustainability. Perusahan-perusahaan pemegang HPH tersebut telah mengeksploitasi hutan secara tidak bertanggung jawab atau tidak sesuai dengan wewenang yang telah diberikan kepada mereka.

Sepeninggalan HPH, masyarakat sekitar hutan merasa terbebas dari tekanan yang sebelumnya menghimpit mereka. Mereka merasa tidak ada lagi pihak yang menghalangi mereka untuk memanfaatkan hutan. Apabila pemanfaatan ini tidak dilakukan dengan mengedepankan asas kelestarian hutan, maka kerusakan hutan yang sebelumnya dilakukan oleh persahaan.akan berlanjut, dengan berganti pelaku, yaitu masyarakat. Hal ini mungkin dapat dipahami, karena sebagai akibat pola memarjinalkan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH, masyarakat sekitar hutan tersebut memiliki kapasitas/kemampuan yang lemah dalam pengelolaan hutan, serta telah memudarnya sense of belonging dan sense of responsibility. Fenomena seperti ini menampak di berbagai wilayah di Indonesia.

Pada saat ini, pemerintah telah menyadari pentingnya eksistensi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan lestari. Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi ujung tombak bagi kelestarian hutan. Perilaku mereka dalam berinteraksi dengan hutan dapat diarahkan pada terciptanya hutan lestari. Oleh karena itu, berbagai program pembangunan kehutanan yang diluncurkan pada saat ini menegdepankan pendekatan resource based management yang berbasis pada forest community based development. Paradigma baru ini merupakan model pembangunan yang berpusat pada rakyat atau masyarakat sekitar hutan. Model pembangunan ini mengajak masyarakat sekitar hutan berperan serta dalam pengelolaan hutan, dengan mengedepankan prakarsa dan kekhasan masyarakat. Bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat diperlukan agar aspek kelestarian hutan tetap terjaga namun kesejahteraan masyarakat tercapai. Namun demikian, lemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan menyebabkan mereka masih belum mampu secara optimal berperan serta dalam pengelolaan hutan, oleh karena itu oleh pemerintah dan pihak lain yang peduli akan kondisi masyarakat sekitar hutan telah melakukan berbagai upaya pemberdayaan pada mereka.

Berbagai bentuk upaya pemberdayaan telah diluncurkan pemerintah dalam bentuk program-program berbasis masyarakat seperti program social forestry, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, dan lain sebagainya Kegiatan-kegiatan tersebut pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan mengikutsrtakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satu alasan penting kenapa diperlukan, tidak hanya pandangan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut berarti memberikan kesempatan penduduk lokal memperoleh manfaat dari hutan, tetapi lebih kepada menciptakan dan memelihara sistem praktek kehutanan yang berkelanjutan secara ekologi dan secara ekonomi.

Dalam prakteknya, masih banyak program berbasis masyarakat dijalankan atas dasar konsep/pemahaman yang belum taat azas sehingga pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi tidak tepat, akibatnya anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi berdaya dan belum mampu menjadi partisipan aktif pembangunan kehutanan. Kebanyakan yang terjadi adalah masyarakat hanya diajak untuk melegitimasi suatu program tanpa mengetahui persis apa yang dilakukan dan hasil apa yang telah dicapai. Program pemberdayaan harus mengedepankan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai tahap penilaian kegiatan yang dikembangkan oleh dan untuk mereka. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan positip, di mana kesadaran kritis dan kapasitas masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat mengelola dan melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan.


Sabtu, Februari 14, 2009

Program Komunikasi untuk Perubahan Sosial

Program komunikasi bagi perubahan sosial biasanya ditekankan pada bagaimana informasi-informasi ditransmisikan, bagaimana informasi menyebar dan terbagi, bagaimana upaya untuk memperoleh informasi dipacu, bagaimana kepercayaan dibangun di antara anggota masyarakat dan oleh anggota masyarakat. Bentuk-bentuk tersebut merupakan sebuah proses yang dinamis, dan multi-faced yang harus dapat menjamin bahwa ide-ide dan gagasan-gagasan dapat disuarakan dan didengar oleh setiap pihak. Pesan yang diciptakan, dikirim, diterima dan direspon oleh masyarakat, hendaknya merupakan bagian dari sebuah proses mendengarkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jawaban atas kebutuhan masyarakat dalam bentuk pesan komunikasi yang diciptakan akan mampu menggerakan perilaku dan atau sikap, membangkitkan kesadaran dan pemahaman atas isu yang ada dalam masyarakat, menciptakan kesadaran sosial, menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama untuk memajukan kualitas hidup orang per orang dan juga masyarakat.secara keseluruhan.

Artinya, program komunikasi bagi perubahan sosial harus bersifat altruistic (mementingkan orang lain), mempromosikan hal-hal sosial yang baik, bermanfaat, dan berorientasi pada pelayanan publik. Namun demikian, program komunikasi bagi perubahan sosial harus lebih dari sekedar pelayanan public semata yang hanya berfokus pada “telling (menceritakan)” dan pendistribusian informasi di mana kebutuhan akan informasi tersebut ditentukan oleh orang-orang yang berasal dari luar komunitas. Sering terjadi pesan komunikasi datangnya dari “atas”, di mana pemahaman tentang realitas yang ada di ”tingkat bawah (ground)” sangat terbatas.

Oleh karena itu, implementasi program komunikasi dalam perubahan sosial fokusnya harus diletakan pada proses bukan pada outcome (hasil). Hal ini berarti, komunikasi bagi perubahan sosial memerlukan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk mengidentifikasi siapa yang perlu mendapatkan pesan komunikasi, dan untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan pesan-pesan tertentu.

Dengan demikian, implementasi program-program komunikasi untuk perubahan sosial harus diciptakan dan dikembangkan serta diarahkan pada upaya memberdayakan dan memberikan kebebasan yang bertanggung jawa bagi masyarakat untuk belajar dan menyampaikan gagasan. Komunikasi hendaknya memungkinkan anggota-anggota masyarakat untuk dapat menciptakan cara dalam berbagi infomasi Dengan sifat yang demikian, maka komunikasi dapat menciptakan perubahan sosial atau kemajuan bagi kehidupan masyarakat dan diharapkan dapat bersifat jangka panjang.

Jumat, Februari 13, 2009

Motivasi Kerja

Dalam keseharian sering kita mendengar kata motivasi diucapkan orang, misalnya: Si A sangat termotivasi untuk ikut bertanding. Si B kurang motivasi kerjanya. Motivasi si C tinggi sekali. SI D harus dimotivasi agar lebih tekun bekerja, dan masih banyak lainnya.

Sering juga kita melihat seseorang (misal: A) sangat antusias dalam melaksanakan pekerjaannya sementara di pihak lain di bidang pekerjaan yang sama ada orang (misal: B) yang bekerja biasa-biasa saja bahkan terkadang seadanya. Apa yang menyebabkan keduanya berbeda dalam mencurahkan tenaga dan pikiran pada pekerjaan yang sama? Motivasinya berbeda. Kita boleh saja mengatakan bahwa factor motivasi adalah penyebab mengapa keduanya bekerja secara berbeda. Kita boleh mengatakan bahwa si A memiliki motivasi tinggi, sedangkan si B hanya memiliki cukup motivasi atau bahkan mungkin rendah.

Lalu apa sebenarnya motivasi kerja itu?

Sudah banyak pakar mendefinisikan motivasi yang dapat kita jumpai di berbagai literatur. Benang merah dari definisi-definisi motivasi yang telah dinyatakan oleh banyak pakar tersebut adalah bahwa motivasi merujuk pada adanya kondisi yang mendorong tindakan individu. Individu yang mempunyai motivasi akan bersedia mencurahkan energi fisik dan mentalnya untuk melakukan pekerjaan. Motivasi dapat juga dirumuskan sebagai perilaku yang mengarah pada tujuan. Hal ini berarti motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan.

Secara matematis motivasi dapat diformulasikan sebagai fungsi dari motif, harapan, dan insentif.

Motivasi = f (motif, harapan, insentif)

Dengan formula di atas kita dapat memprediksi motivasi seseorang, dan juga kita dapat memotivasi seseorang dengan cara memanipulasi dimensi-dimensi motivasi, yaitu motif, harapan, dan insentif. Motivasi berbanding lurus dengan motif, harapan, dan insentif. Motivasi seseorang merupakan interaksi antara motif yang ada dalam dirinya, adanya harapan untuk mencapainya, dan insentif yang disediakan dari lingkungan. Artinya apabila ketiga dimensi ini meningkat maka meningkat pula motivasi individu.

Motif adalah daya atau kekuatan yang ada dalam diri (inner potential) seseorang. Daya inilah yang mengarahkan dan mempertahankan perilaku orang dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Motif merupakan daya penggerak dari dalam individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Dengan demikian dapat dikatakatan bahwa motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motif. Motif ini yang menyebabkan mengapa seseorang berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Motif ini pula yang menyebabkan seseorang berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan, dan yang menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut.

Harapan adalah peluang yang diperkirakan seseorang bahwa kegiatan yang akan dilakukannya dapat mencapai hasil yang diinginkan. Artinya, seseorang akan termotivasi apabila ia menilai pekerjaan yang akan dilakukan memiliki peluang untuk dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat baginya.

Insentif adalah imbalan yang didapat oleh seseorang sebagai balas jasa dari hasil pekerjaan yang telah dilaksanakannya. Apabila seseorang menilai bahwa imbalan tersebut sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab yang telah dilakukannya maka ia akan semakin antusias dalam bekerja. Bentuk insentif bisa berbentuk materi dan juga non materi.

Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki keinginan kuat (motif) untuk mencapai sesuatu, dan terdapat kegiatan atau jalan untuk mencapainya besar (harapan), serta tersedia imbalan (insentif) atas kegiatan yang dilakukan, maka dapat diduga motivasi kerja orang tersebut akan tinggi.

Rabu, Februari 11, 2009

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan (empowerment) adalah kata benda, sedangkan action-nya adalah kata kerja yaitu memberdayakan atau empowering. Kalau ditilik lebih jauh lagi, pemberdayaan atau lebih tepatnya disebut sebagai empowerment merupakan konsep yang lahir dari perkembangan pemikiran dan budaya barat. Substansi dari konsep empowerment adalah emansipasi dan liberalisasi serta penguasaan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan (Pranarka & Moeljarto, 1996).

Implikasi dari adanya emansipasi dan liberalisasi ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pembebasan yakni pembebasan manusia dari sebuah kungkungan kekuasaan yang melingkupinya melalui proses empowerment of the powerless. Dalam konteks ini memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Ini berarti bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemberdayaan masyarakat itu salah satunya adalah bagaimana merubah mind set seseorang dari perasaan tidak mampu, tidak bisa dan tidak mungkin menjadi merasa mampu, bisa dan sangat mungkin untuk melakukan perubahan. Adanya pencerahan pada masyarakat akan kekuatan dan potensi yang dimiliki dapat memberikan kesadaran bersama bahwa perubahan menuju kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan.

Dengan demikian pemberdayaan dapat dilihat sebagai proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin. Sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan mandiri dalam melaksanakan kehidupan. Berdasarkan beberapa hal di atas dapat dimaknai bahwa setelah munculnya kesadaran atas potensi dan kemampuan untuk meningkatkan derajat maka tumbuhlah semangat untuk melakukan perubahan, mengingat perubahan ini adalah sebuah proses sekaligus sebuah tujuan.

Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat

Upaya memberdayakan masyarakat pada prinsipnya dapat dilakukan dengan empat pendekatan utama, yaitu komunikasi, informasi, edukasi (KIE) dan advokasi. Komunikasi adalah upaya membangun hubungan relasional dua arah yang setara dengan masyarakat yang akan diberdayakan sehingga masyarakat yang diberdayakan menjadi lebih terbuka dan mampu mengekspresikan apa yang dirasakannya, mampu mengungkapkan pendapatnya, mampu berkreasi dan berinovasi. Informasi adalah penyediaan berbagai berita dan keterangan serta informasi penting yang dibutuhkan masyarakat untuk membangun kapasitas diri mereka. Edukasi adalah berbagai bentuk upaya pendidikan baik formal dan non formal yang diperlukan oleh masyarakat yang diberdayakan sehingga mereka memiliki kapasitas yang memadai untuk membangun dirinya dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. KIE dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya melalui penyuluhan, penerangan, pelayanan. Media massa dan berbagai teknologi informasi dapat berperan secara efektif sebagai sarana KIE. Sedangkan, advokasi berarti membela atau mendampingi masyarakat yang tidak atau belum berdaya, dan juga bersama-sama dengan mereka melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara sistematis dan strategis.

Elemen-Elemen Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Bartle (2007) terdapat 16 (enam belas) elemen yang harus dikedepankan dan menjadi tujuan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat, yaitu:

  1. Mendahulukan kepentingan umum (Altruisme). Tingkat kesiapan individu mengorbankan kepentingan sendiri untuk kepentingan seluruh masyarakat (seperti kedermawanan, rasa kemanusiaan, kebanggaan sebagai anggota masyarakat, saling mendukung, perduli, persahabatan, persaudaraan).
  2. Nilai bersama (Common Values): Tingkatan dimana anggota masyarakat berbagi nilai, terutama ide-ide atau nilai untuk kepentingan bersama sebagai pengganti kepentingan anggota per anggota masyarakat.
  3. Layanan masyarakat (Communal Service): Penyediaan fasilitas dan layanan (seperti jalan, pasar, air minum, pendidikan, layanan kesehatan), pemeliharaan dan perbaikan, kesinambungan, dan kemudahan bagi semua anggota masyarakat untuk mengakses fasilitas dan layanan yang tersedia.
  4. Komunikasi (Communications): Adanya komunikasi yang baik di antara anggota masyarakat, dan diantara anggota masyarakat dengan lingkungan luarnya. Dimensi komunikasi meliputi adanya jalan, metode elektronika (seperti telefon, radio, tv, internet), media cetak (Koran, majalah, buku), jaringan kerja, bahasa yang dapat dimengerti, kemampuan tulis baca dan keinginan dan kemampuan berkomunikasi (yang dinyatakan secara bijaksana, diplomasi,kemauan untuk mendengarkan dan membicarakan).
  5. Percaya diri (Confidence): Meskipun diekspresikan secara individual, rasa percaya diri harus tersebar diantara semua anggota masyarakat. Masyarakat yang penuh rasa percaya diri tidak akan bergantung pada pihak luar, tidak pasrah, tidak masa bodoh, mampu memperjuangkan haknya dan memiliki visi.
  6. Kontekstual (Politik dan Administrasi); Context (Political and Administrative): Masyarakat akan semakin kuat, berdaya dan mampu mempertahankan dirinya apabila didukung oleh lingkungan dan situasi yang mampu memberikan penguatan tersebut. Lingkungan dan situasi yang mendukung tersebut meliputi lingkungan dan situasi politis (termasuk nilai dan sikap pemimpin nasional, hukum dan legislative) dan lingkungan administrasi (sikap dari pegawai/pelayan publik, peraturan dan prosedur serta kebijakan pemerintah).
  7. Informasi (Information): Tidak sekedar memiliki dan menerima informasi, namun yang lebih penting adalah kemampuan untuk mengolah dan menganalisa informasi, adanya kesadaran/kepedulian, pengetahuan dan kebijaksanaan yang terdapat diantara tokoh-tokoh kunci masyarakat dan dalam kelompok secara keseluruhan. Jika informasi dapat menjadi lebih efektif dan berguna, tidak hanya sekedar banyaknya saja, maka masyarakat dapat menjadi lebih kuat dan berdaya.
  8. Intervensi (Intervention): Pola intervensi yang dilakukan harus ditujukan untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas masyarakat, harus menantang masyarakat agar dapat menjadi lebih kuat, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Intervensi sedapat mengkin harus melepaskan diri dari tujuan charity, karena charity pada umumnya menciptakan ketergantungan.
  9. Kepemimpinan (Leadership): Seorang pemimpin dalam suatu masyarakat memiliki kekuatan, pengaruh, dan kemampuan untuk menggerakkan anggota-angota masyarakat. Pemimpin harus memiliki keahlian, kemauan, kejujuran dan beberapa karisma. Pemimpin harus dapat mendengarkan dan mengakomodasi keinginan masyarakat secara keseluruhan. Semakin efektif kepemimpinan seseorang maka semakin kuat masyarakatnya.
  10. Jaringan kerja (Networking): Hal ini berkaitan dengan Tidak hanya “apa yang anda ketahui” tetapi yang lebih penting adalah “siapa yang anda ketahui” dapat menjadi sebuah sumber untuk menguatkan dan memberdatakan masyarakat. Anggota-anggota masyarakat diharap mampu untuk membangun hubungan yang bermanfaat antar angota masyarakat dan dengan pihak lain di luar masyarakat, yang dapat membuat mereka berdaya. Jalina kerja yang efektif dapat menjadi sumber semangat yang akan memperkuat masyarakat secara keseluruhan.
  11. Organisasi (Organization): Tingkatan dimana para anggota masyarakat memandang dan mengorganisasikan dirinya sebagai individu-individu yang memiliki peran dalam mendukung keseluruhan masyarakat. Elemen ini meliputi bagaimana membangun integritas organisasi, struktur, prosedur, proses pengambilan keputusan, efektifitas, pembagian tenaga kerja dan kelengkapan peran dan fungsi.
  12. Kekuatan politik (Political Power): Tingkatan dimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan baik di tingkat desa, regional maupun nasional. Setiap individu memiliki kekuatan-kekuatan yang beragam yang saling melengkapi dalam suatu suatu masyarakat yang pada akhirnya mewarnai kekuatan politik masyarakat tersebut dan hal ini dapat memengaruhi dan memberikan warna bagi daerah dan nasional. Semakin sering kekuatan dan pengaruh yang ada dimasyarakat diterapkan maka akan semakin kuat masyarakat tersebut.
  13. Keterampilan (Skills): Kemampuan yang ada pada individu akan memberikan sumbangan yang signifikan bagi masyarakat. Dengan adanya kemampuan ini masyarakat akan mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Kemampuan ini meliputi: kemampuan teknis, kemampuan manajemen, kemampuan berorganisasi, kemampuan mengerahkan. Semakin banyak keterampilan (baik individu maupun kelompok) yang diperoleh dan dimanfaatkan oleh masyarakat, maka semakin berdaya masyarakat tersebut.
  14. Kepercayaan (Trust): Tingkat kepercayaan dari masing-masing anggota masyarakat tehadap sesamanya, khususnya pemimpin dan pelayan-pelayan masyarakat (public servants). Tingkat kepercayaan ini akan merefleksikan tingkat integritas (kejujuran, ketergantungan, keterbukaan, transparansi, kepercayaan dan penghargaan) yang ada dalam suatu masyarakat.
  15. Kesatuan (Unity): Perasaan bersama dan berbagi sebagai suatu entitas masyarakat. Meskipun dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan (agama, kelas, status, penghasilan, usia, jenis kelamin, adat, suku), masyarakat saling memberikan toleransi dan menghargai atas perbedaan tersebut dan memiliki kemauan untuk saling bekerjasama dan bekerja bersama-sama karena adanya suatu rasa kesamaan tujuan atau visi, dan adanya nilai bersama.
  16. Kesejahteraan (Wealth): Tingkat dimana masyarakat secara keseluruhan memiliki kontrol terhadap sumber daya potensial dan sumber daya actual, dan terhadap produksi serta penyaluran barang dan jasa yang bermanfaat, memiliki akses terhadap lembaga-lembaga keuangan dan non keuangan. Semakin sejahtera/kaya suatu masyarakat, maka akan semakin kuat atau berdaya masyarakat tersebut.

Selasa, Februari 10, 2009

Fenomena Datang, Duduk, Diam dalam Sebuah Rapat

Pada sebuah pertemuan atau rapat dalam lingkup suatu organisasi, yang biasanya dipimpin oleh pimpinan organisasi, sering terjadi fenomena di mana peserta rapat datang, duduk, diam. Peserta rapat datang, kemudian duduk manis mendengarkan dan melihat apa yang berlangsung dalam proses rapat, namun diam seribu basa, tidak ada komentar. Kalau kita mau jujur kadangkala kondisi seperti ini terjadi juga pada diri kita.

Terhadap fenomena tersebut, ada yang berpendapat bahwa peserta tersebut tidak kritis, ada yang mengatakan peserta tersebut tidak punya keberanian mengutarakan pendapatnya, ada yang mengatakan peserta tersebut datang sekedar memenuhi undangan rapat atau memenuhi kewajiban datang, dan lain sebagainya.

Semua pendapat tersebut mungkin benar, dan mungkin juga salah ??!!….... Banyak hal yang dapat menjelaskan mengapa fenomena tersebut terjadi, di antaranya adalah:

  • Peserta yang hadir tersebut memang tidak memahami dan menguasai atau tidak kompeten terhadap substansi dari agenda rapat, sehingga ia memposisikan dirinya hanya sebagai pengamat dan pendengar yang baik, daripada ia memberikan komentar yang tidak tepat. Namun dengan kesadarannya ia berusaha mempelajari dan mencermati setiap aktivitas dalam proses rapat tersebut agar ia dapat menangkap intisari sehingga pada akhirnya ia mampu memahami susbtansi dari rapat tersebut.
  • Peserta yang hadir tersebut memiliki kendala psikologis sehingga kurang memiliki raya percaya diri dalam mengungkapkan atau menyampaikan gagasan dalam forum formal (rapat), walaupun dalam berbagai situasi informal ia mampu mengungkapkan gagasannya dengan baik dan cemerlang. Peserta rapat seperti ini sebenarnya memiliki keinginan untuk berkontribusi, namun merasa khawatir tidak mampu menyampaikan gagasannya dengan baik, khawatir ditertawakan atau dipandang remeh oleh peserta lainnya apabila salah berbicara.
  • Peserta yang hadir tersebut memang orang tidak memiliki kemampuan dan juga tidak memiliki kemauan untuk terlibat aktif dalam proses komunikasi dalam rapat. Mereka ini datang, duduk, diam, dan diamnya bukan diam mendengarkan atau menyimak jalannya reapat namun pikirannya pergi entah kemana, bahkan terkadang di antara para peserta kategori ini sibuk sendiri, bercakap-cakap/ngobrol di antara mereka, tidak menghiraukan jalannya rapat, atau seolah-olah mendengarkan namun sebenarnya tertidur.
  • Peserta yang hadir tersebut adalah peserta yang memang memiliki kemampuan tetapi “kapok” mengungkapkan pendapatnya. Peserta ini memiliki pengalaman yang tidak memuaskan ketika mengikuti pertemuan-pertemuan sebelumnya, di mana ia banyak berpendapat namun pendapatnya tidak didengarkan, padahal pendapatnya tersebut baik dan bermanfaat. Sehingga, pada akhirnya, ia malas terlibat lebih jauh pada jalannya rapat. Menurutnya percuma saja pada saat ini saya berpendapat toh hasilnya tidak didengarkan. Biasanya hal ini terjadi karena adanya kecenderungan dominasi pimpinan organisasi (otoriter/semi otoriter) sehingga pelaksanaan rapat sekedar bersifat mendengarkan keputusan yang sebenarnya telah dibuat oleh pimpinan (keputusan sepihak). Dengan demikian pertemuan hanyalah sekedar minta pendapat, tanpa peserta bisa merubah keputusan tersebut (tokenism). Respon atas usul dari peserta yang tidak sejalan dengan keputusan yang sudah ditetapkan akan ditolak oleh pimpinan. Ide pimpinan yang sudah dikemukakan sulit untuk dirubah.

Pertanyaannya adalah: Kita termasuk dalam kategori yang mana apabila kondisi tersebut menimpa kita ?.

Pemimpin rapat yang sukses adalah pimpinan yang mampu mendayagunakan, menggerakkan, membimbing dan mengarahkan sehingga peserta rapat dengan sukarela tanpa tekanan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif, inovatif, dan produktifl. Hal tersebut hanya dapat terjadi apabila pimpinan mampu menciptakan lingkungan komunikasi yang kondusif yang dapat membuat para peserta merasa termotivasi dan berani untuk mengemukakan pendapatnya.

Senin, Februari 09, 2009

Peran Penyuluh dalam Proses Pembentukan Kelompok

Peranan penyuluh sangat strategis dalam memfasilitasi pemberdayaan masyarakat pedesaan. Strategi yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan yang merupakan sebuah kegiatan dalam rangka memberdayakan masyarakat agar mau dan mampu secara mandiri berperan serta dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan pembentukan kelompok-kelompok mandiri. Dengan pendekatan kelompok yang mandiri banyak manfaat yang akan dipetik oleh masyarakat. Pendekatan kelompok yang “mandiri” dianggap penting karena disini masyarakat dibina untuk berkelompok yaitu agar mereka memiliki wadah untuk berorganisasi dan bersosialisasi. Kelompok ini akan berfungsi sebagai kelas belajar, wahana bekerjasama, dan unit produksi

Tidak semua masyarakat pedesaan mempunyai keinginan untuk membentuk kelompok. Hal ini tergantung pada tingkat kebutuhan anggota-anggota masyarakat tersebut. Untuk itu sebelum mengajak anggota-angota masyarakat agar mau membentuk kelompok, terlebih dahulu para penyuluh perlu memahami karakteristik masyarakat setempat (local specific). Pemahaman terhadap masyarakat merupakan awal dari keseluruhan kegiatan penyuluhan. Tanpa adanya pemahaman terhadap masyarakat yang akan diberdayakan, sangat sulit bagi penyuluh untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan.

Dalam upaya mengajak anggota-anggota masyarakat agar memiliki wadah kerjasama (kelompok), mari kita rujuk pendapat dua orang ahli komunikasi, di mana pendapat keduanya “menurut saya” dapat pula diterjemahkan ke dalam konteks penyuluhan. Knapp dan Vangelisti (1992) dalam Interpersonal Communication and Human Relationship menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) tahapan agar proses hubungan antar manusia dapat menuju pada tahap kebersamaan/penyatuan. Apabila kebersamaan ini diterjemahkan atau diperluas dalam arti kelompok, maka tahapan-tahapan tersebut dapat menjadi suatu proses bagi aktivitas tugas penyuluh dalam membentuk dan mengembangkan suatu kelompok dalam masyarakat. Tahapan-tahapan tersebut adalah:

Tahap Memulai (Initiating), merupakan usaha-usaha yang sangat awal yang dilakukan oleh penyuluh dalam menginformasikan dan memperkenalkan “apa sebenarnya kelompok itu”, “apa keuntungan dan kerugian bekerja dalam kelompok”, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah agar anggota-anggota masyarakat sadar (aware) dan tergugah minatnya (interest) dan terbuka wawasannya (understanding). Tahap ini sangat berkaitan dengan persepsi dan kesan terhadap informasi yang disampaikan kepada mereka sehingga diperlukan kecermatan dan kehatian-hatian dalam mengemas dan menyampaikan infomasi. Informasi harus menyentuh dan diharapkan mampu menjawab keinginan dan kebutuhan masyarakat. Pada tahap ini, selain kemasan pesan yang tepat dan benar, sosok sang penyuluhpun dapat menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya kelompok. Untuk itu, penyuluh harus dapat menampilkan diri sebagai sosok yang dapat dipercaya (trust) dan mampu menarik rasa suka masyarakat.

Tahap Penjajagan (Experimenting), merupakan usaha mencari cara membangun keinginan anggota-anggota masyarakat dengan melakukan pencarian terhadap kemiripan-kemiripan kebutuhan diantara mereka. Pada tahap ini, penyuluh diharapkan mampu menggali aspirasi masyarakat, mampu melihat hal-hal yang dinginkan oleh masyarakat, mampu mengidentifikasi faktor pendukung maupun faktor penghambat terbentuknya suatu kelompok. Dengan memperoleh informasi tentang apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, maka akan diketahui apakah masyarakat merasa butuh atau tidak akan adanya kelompok. Apabila masyarakat belum merasa butuh maka perlu dilakukan kembali penggugahan kesadaran atau kembali ke tahap awal (Initiating). Yang harus diperhatikan dan diusahakan oleh para penyuluh bahwa keberadaan kelompok harus merupakan keinginan dan kebutuhan yang datangnya dari masyarakat, untuk masyarakat, dan akan dikelola oleh masyarakat itu sendiri, jadi bukan merupakan paksaan atau pesanan pemerintah (top down). Pada tahap ini diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang sistem sosial masyarakat, termasuk untuk memperkirakan akibat-akibat yang mungkin akan timbul dari terbentuknya kelompok.

Tahap Penggiatan (Intensifying), ditandai dengan adanya kecenderungan perubahan sikap. Artinya sebagian besar anggota masyarakat merasakan sangat perlu dan setuju adanya wadah dalam mencapai tujuan mereka, maka penyuluh perlu secara terus menerus melaksanakan pendekatan kepada mereka melalui pertemuan-pertemuan baik yang dilakukan secara formal maupun informal, seperti berkunjung dari rumah ke rumah, mengadakan pertemuan di Balai Pertemuan Desa, ataupun kegiatan lainnya yang dapat memperkokoh minat serta keinginan masyarakat dalam membentuk wadah kelompok. Pada tahap ini, informasi-informasi yang penting yang dibutuhkan masyarakat diusahakan harus selalu tersedia. Dapat juga dengan melakukan kegiatan studi banding yaitu dengan mengajak beberapa anggota masyarakat yang menjadi tokoh mengadakan kunjungan ke tempat yang memiliki kelompok maju yang dapat dijadikan contoh.

Tahap Pengintegrasian (Integrating), setelah semakin terlihat adanya perubahan yang kuat pada sikap dan perilaku anggota-anggota masyarakat, penyuluh kiranya perlu memfasilitasi masyarakat untuk mengadakan pertemuan-pertemuan formal. Pertemuan-pertemuan ini penting dalam rangka membangun kesepahaman dan kesepakatan tentang pentingnya kelompok sebagai kelas belajar, wahana bekerjasama, dan unit produksi. Diharapkan elemen-elemen yang terlibat dalam pertemuan ini adalah tokoh-tokoh masyarakat desa, Penyuluh, Pemerintah Desa, Badan Perwakilan Desa, dan bila perlu melibatkan pula LSM-LSM, dunia usaha dan pihak lainnya yang terkait. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam dialog tersebut maka akan semakin banyak masukan dari berbagai sudut pandang yang dapat memperkaya dan memperkokoh kelancaran dan kesuksesan program kelompok apabila nantinya terbentuk, serta mempermudah pembinaan kelompok di masa mendatang.

Tahap Pengikatan (Bonding). Dari pertemuan-pertemuan formal tadi maka dihasilkan suatu kesepakatan untuk membentuk suatu kelompok. Pada tahap ini, para anggota masyarakat mengikrarkan kesepakatan dalam sebuah kebersamaan atau kelompok kerja. Setelah kelompok terbentuk, maka dapat dilanjutkan dengan penyusunan struktur organisasi kelompok, norma kelompok, program kerja, penentuan sekretariat kelompok, sumber dana kegiatan dan lain sebagainya demi kelancaran aktivitas kelompok dan kelangsungan hidup kelompok.

Jumat, Februari 06, 2009

Penyuluh Adalah Sales Promotion Pembangunan Masyarakat

Hampir sebagian besar dari kita pernah dikunjungi oleh seorang atau beberapa orang dari bagian sales promotion suatu perusahaan yang menawarkan produknya. Dengan penampilan yang menarik dan gaya berbicara yang membujuk salesman/girl tersebut melancarkan komunikasinya. Pertama-tama dia akan memperkenalkan namanya, mewakili perusahaan mana dan sedang menawarkan produk tertentu, kemudian salesman/girl tersebut akan berbicara banyak, dengan gayanya yang menarik yang bersifat informasi dan persuasi, tentang keunggulan dari produk yang ditawarkan. Ia akan mencoba membangkitkan kebutuhan kita dan menghubung-hubungkan kebutuhan tersebut dengan keberadaan produk yang ditawarkan, sehingga kita dibuatnya menjadi semakin tertarik. Bahkan tidak segan-segan para salesman/girl tersebut memberikan demo agar keunggulan produknya dapat terlihat, dan juga terkadang memberikan jaminan atau garansi atas produk yang ditawarkannya. Mereka tidak kenal lelah dan menyerah apabila ternyata orang yang dikunjunginya tidak jadi membeli produknya. Para salesman/girl tersebut akan berupaya mencari pembeli lain, yang terpenting bagi mereka adalah orang yang dikunjungi setidak-tidaknya telah mengetahui bahwa ada suatu produk yang ditawarkan, siapa tahu suatu saat orang tersebut butuh dan tergugah untuk membelinya.

Analog dengan aktivitas para salesman/girl tersebut adalah aktivitas para penyuluh. Artinya, bila aktivitas para salesman/girl tersebut kita kaji, maka terlihat adanya kemiripan dengan aktivitas tugas penyuluh yaitu memperkenalkan dan menawarkan suatu produk. Bedanya produk yang ditawarkan atau dipromosikan oleh salesman/girl biasanya adalah alat-alat yang berhubungan dengan kebutuhan pribadi dan rumah tangga yang bersifat jangka pendek, sedangkan yang ditawarkan oleh agen prubahan atau penyuluh pada umumnya bersifat jangka panjang berupa inovasi dan/atau program-program berbasis pemberdayaan masyarakat yang bermanfaat bagi masyarakat demi peningkatan kesejahteraan mereka.

Komunikasi Sales Promotion/Penyuluhan adalah Komunikasi Persuasi

Baik para salesman/girl maupun penyuluh mempunyai tujuan tertentu ketika menawarkan produknya. Salesman/girl mengharapkan produk yang ditawarkannya akan terjual atau dibeli, penyuluh mengharapkan pesan pembangunan yang disampaikannya dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dan terlaksana, maka salesman/girl maupun penyuluh, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan komunikasi persuasi yang baik.

Demi berhasilnya komunikasi persuasi perlu dilaksanakan secara sistematis. Efffendi (2000), menyatakan bahwa dalam melaksanakan komunikasi persuasi, seorang komunikator (salesman/girl atau penyuluh) perlu melalui tahapan-tahapan, yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan. Tahapan-tahapan tersebut disingkat dengan AIDDA (attention, interest, desire, decision, dan action).

A (Attention) – Pesan harus dapat menarik perhatian. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan perhatian sasaran penyuluhan (masyarakat).

I (Interest) – Bagaimana menimbulkan minat. Kaitkan pesan dengan kepentingan atau kebutuhan sasaran penyuluhan.

D (Desire) - menimbulkan hasrat atau kegairahan. Perlu dilancarkan pendekatan-pendekatan yang menggunakan himbuan emosional seperti membujuk, merayu. Yang pada akhirnya ketiga tahapan tersebut akan sampai pada pembuatan keputusan.

D (Decision) - keputusan. Pengambilan keputusan oleh sasaran penyuluhan, yaitu sikap setuju atau tidak setuju. Persuasi berhasil apabila keputusan yang diambil masyarakat (kelayan)mengarah pada sikap setuju terhadap apa yang disampaikan oleh penyuluh.

A (Action) – Tindakan. Melaksanakan apa yang disampaikan oleh penyuluh atau bahkan meninggalkan/menolak.

Komunikasi persuasi didahului dengan upaya membangkitkan perhatian. Upaya ini tidak hanya dilakukan dalam gaya bicara dengan kata-kata yang merangsang, tetapi juga dalam penampilan (appearance) ketika menghadapi khalayak Senyum yang tersungging pada wajah yang cerah sudah dapat menimbulkan perhatian sasaran suluh. Atau dengan aktivitas lainnya layaknya tukang obat di pinggiran jalan, yaitu sebelum menawarkan dagangannya tukang obat tersebut menyuguhkan suatu atraksi yang membuat orang di sekitarnya tertarik untuk menonton.

Apabila perhatian sudah berhasil terbangkitkan kini menyusul upaya menumbuhkan minat. Upaya ini bisa berhasil dengan mengutarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan kelayan/sasaran suluh.Oleh karena itu, komunikator/penyuluh harus mengenal siapa kelayannya yang dihadapinya, ”know your audience”.

Tahap berikutnya adalah memunculkan hasrat pada sasaran suluh dengan melakukan ajakan, bujukan, atau rayuan. Di sini imbauan emosional perlu ditampilkan oleh penyuluh, sehingga pada tahap berikutnya sasaran suluh mengambil keputusan untuk melakukan suatu kegiatan sebagaimana diharapkan.

Kamis, Februari 05, 2009

Peranan Interaksi dalam Kelompok terhadap Pengadopsian Inovasi

Setiap inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh, diharapkan dapat terdifusi atau menyebar dari petani ke petani, sehingga diharapkan semua petani akan mengadopsi inovasi tersebut. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Lionberger dan Gwin (1982: 63) bahwa pengadopsian inovasi merupakan sebuah proses pada diri setiap petani dengan demikian akan berbeda-beda durasi atau kecepatan pengadopsiannya dari satu petani dengan petani lainnya. Artinya ada petani yang cepat, ada yang sedang, ada yang lambat dalam mengadopsi inovasi, bahkan ada yang sama sekali tidak mengadopsi inovasi.

Beragam faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, diantaranya adalah bentuk interaksi yang ada dalam kelompok atau masyarakat, yaitu:

1. Cooperation (Kerja sama)

Sargent dalam Santosa (1992:29) menyatakan bahwa kerjasama merupakan usaha terkoordinasi di antara anggota kelompok atau masyarakat yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut Santosa (1992: 29-30) menyatakan bahwa kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial di mana tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota kelompok yang lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga seseorang individu hanya dapat mencapai tujuan bila individu lain juga mencapai tujuan.

Bila tipe interaksi ini berkembang di antara anggota kelompok tani maka dapat diduga bahwa para petani akan saling membantu, saling mendukung, saling memberi/menerima, saling bergantung, dan saling memotivasi satu sama lain untuk maju. Inovasi yang ada dengan mudah menyebar di antara mereka, karena para petani mempunyai kepentingan yang sama yaitu ingin maju, sehingga mereka akan berupaya untuk saling berkoordinasi dan saling berkomunikasi dalam rangka lebih mengenal, memahami dan menguasai inovasi yang diperkenalkan pada mereka. Dalam setiap kelompok atau masyarakat selalu saja ada orang yang lebih dahulu memiliki informasi teknologi baru dan lebih maju (perintis, pelopor) (Arintadisastra, 1997: 118). Dengan pola interaksi kerjasama yang berkembang dalam masyarakat, mereka ini secara sadar atau tidak dapat memajukan anggota lainnya.

Pada umumnya, tipe interaksi ini yang paling banyak dijumpai pada masyarakat petani di Indonesia, karena masyarakat petani Indonesia secara kultural dan historis memiliki jiwa gotong royong dan kerjasama.

2. Competition (Persaingan)

Persaingan adalah bentuk interaksi sosial di mana bila seseorang individu dapat mencapai tujuan maka individu lain akan terpengaruh dalam mencapai tujuan tersebut. Persaingan juga dimaknai sebagai proses sosial di mana individu saling berusaha dan berlomba-lomba untuk mencapai keuntungan dalam waktu yang bersamaan (Santosa, 1992: 31).

Tidak dapat dihindari bahwa dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat pasti akan terjadi persaingan antar individu akan sesuatu, demikian pula dalam kelompok atau masyarakat petani. Sepanjang persaingan yang terjadi bernilai positip atau sehat, maka tipe interaksi ini akan memberikan, membangun dan mendorong semangat para petani untuk berlomba-lomba dan berusaha mengenal, memahami inovasi, sehingga pada akhirnya mengadopsi inovasi yang diperkenalkan pada mereka. Artinya bila terdapat satu atau beberapa petani telah berhasil maju dikarenakan mengadopsi suatu inovasi, maka kondisi tersebut akan memicu dan mendorong petani lainnya untuk maju. Petani-petani lain tersebut akan terbangkit rasa ingin tahunya dan berupaya mencari informasi tentang inovasi yang diadopsi oleh petani yang telah berhasil tadi, untuk kemudian ia sendiri akan mempelajari dan menerapkannya agar dirinya juga dapat maju.

3. Conflict (Pertentangan)

Konflik dalam kelompok terjadi ketika terdapat ketidaksepahaman diantara anggota-anggotanya terhadap suatu pilihan yang sedang dihadapi. Konflik juga terjadi apabila terdapat ketidaksesuaian tujuan yang dimiliki antara satu anggota dengan anggota lainnya (Beebe dan Masterson, 1989: 203). Lebih lanjut Foger dan Poole dalam Beebe dan Masterson (1989: 203) mendefinisikan konflik sebagai interaksi dari orang-orang yang satu sama lain saling bergantung namun dikarenakan sesuatu hal, mereka memiliki tujuan yang tidak sejalan dan pada gilirannya mereka satu sama lainnya saling menghalangi akan pencapaian tujuan masing-masing.

Bila interaksi jenis ini muncul dalam suatu rangkaian proses difusi inovasi, maka kecepatan pengadopsian inovasi tersebut akan tersendat-sendat. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat petani-petani yang tergolong tipe laggart. Biasanya mereka ini menolak adanya inovasi dan selalu berupaya untuk tetap memakai teknologi lama, serta selalu berorientasi masa lalu. Hal ini akan menjadi masalah besar, apabila kelompok laggard ini menolak dengan cara keras atau melakukan aksi yang bersifat menentang dan menantang, sehingga terjadilah pergesekan atau konflik. Lebih diperparah, apabila yang menjadi kelompok laggard adalah orang yang dituakan, terkemuka atau orang yang memiliki pengaruh di masyarakat maka penyebaran dan pengadopsian inovasi akan semakin sulit, karena penyuluh atau anggota masyarakat yang ingin mengadopsi inovasi akan berbenturan tidak hanya dengan tokoh tersebut tetapi juga dengan sebagian besar masyarakat pengikut tokoh tersebut

4. Accomodation (Persesuaian)

Santosa (1992: 33) menyatakan bahwa akomodasi adalah usaha-usaha individu untuk meredakan suatu pertentangan, yakni usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Akomodasi juga berarti usaha proses di mana individu atau kelompok saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.

Interaksi akomodasi dapat juga dikatakan sebagai bentuk penyelesaian konflik dengan tujuan untuk meredakan tekanan pihak. Menurut Tadjudin (2000: 82) akomodasi adalah suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara menempatkan kepentingan pihak lain itu di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini lazimnya diambil oleh pihak yang lebih lemah dalam suatu konflik.

Interaksi jenis ini dapat mempercepat maupun memperlambat proses adopsi inovasi, tergantung pada pihak mana yang menyesuaikan diri. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, apabila pihak yang tidak setuju atau menolak inovasi (laggard) adalah orang yang dituakan, terkemuka dan memiliki pengaruh maka kemungkinan yang terjadi adalah proses difusi inovasi menjadi terhambat atau bahkan tidak berjalan, sebagai akibatnya pengadopsian inovasi bisa saja gagal. Hal ini dikarenakan akomodasi terjadi pada pihak petani atau masyarakat kebanyakan. Sedangkan, apabila pihak yang menolak inovasi (laggard) adalah masyarakat atau petani biasa, bisa saja suatu saat karena tekanan sosial atau karena sebagian besar petani disekitarnya telah mengadopsi inovasi maka ia juga pada akhirnya mengadopsi walaupun sudah sangat terlambat.

Penutup

Dari uraian di atas jelaslah kiranya bahwa pengadosian inovasi tidak berlangsung secara singkat, perlu waktu mulai dari masuknya atau diperkenalkannya inovasi sampai inovasi tersebut menyebar dan diadopsi oleh seluruh anggota kelompok atau masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman, keterampilan untuk mampu memahami bentuk-bentuk interaksi yang ada dalam mayarakat serta bagaimana mengelola interaksi tersebut menjadi sebuah potensi yang dapat diarahkan pada pencapaian tujuan penyuluhan. Yang juga perlu diperhatikan adalah kecenderungan bentuk interaksi yang mana dalam kelompok akan muncul sangat bergantung pada tipe kepemimpinan yang ada dalam kelompok tersebut.

Yusuf (1989: 99) menyatakan bahwa setiap kelompok, baik formal maupun informal, pada umumnya memiliki seorang pemimpin. Pemimpin dalam kelompok berperan sebagai pemegang kendali norma dan nilai kelompok, sekaligus ia tunduk pada norma dan nilai kelompok tersebut. Norma dan nilai dalam kelompok merupakan acuan atau landasan bagi anggota kelompok untuk beraktivitas dan berinteraksi. Selanjutnya, Wirawan (2003: 12) menyatakan bahwa kedudukan pemimpin sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan kelompok. Pemimpin dengan kepemimpinannya mempengaruhi anggota kelompok untuk mencapai tujuan kelompok. Oleh karena itu, para penyuluh perlu melakukan pendekatan pada pemimpin masyarakat agar inovasi yang diperkenalkan dapat secara cepat menyebar dan diadopsi oleh masyarakat (kelayan).

Membangun Masyarakat dan Masyarakat Membangun

Pembangunan, apapun bentuknya, tujuan akhirnya adalah untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyat. Agar pembangunan dapat berjalan lancar, efisien dan efektif maka perlu dukungan dari masyarakat, dalam bentuk adanya kesiapan mental dan intelektual serta kiprah seluruh anggota masyarakat dalam berpartisipasi aktif dalam berbagai program pembangunan. Untuk dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembangunan secara berkualitas, masyarakat memerlukan kemampuan atau kompetensi yang memadai (threshold competency). Namun pada kenyataannya tidak semua elemen masyarakat mampu berkontribusi secara aktif dalam pembangunan. Sebagian dari mereka memiliki keterbatasan, sehingga terlihat tidak berdaya. Oleh karenanya, kegiatan awal yang perlu dilakukan pada elemen masyarakat yang tidak berdaya ini adalah upaya membangun kapasitas mereka.

Terdapat empat tipe manusia yang perlu dipertimbangkan dalam membangun masyarakat, yaitu: 1) manusia yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk terlibat dalam pembangunan, 2) manusia yang memiliki kemauan namun tidak memiliki kemampuan untuk terlibat dalam pembangunan, 3) manusia yang tidak memiliki kemauan tetapi memiliki kemampuan untuk terlibat dalam pembangunan, dan 4) manusia yang tidak memiliki kemauan dan tidak memiliki kemampuan untuk terlibat dalam pembangunan. Untuk tipe yang pertama, masyarakat sudah memiliki kesadaran akan pentingnya pembangunan bagi kesejahteraan seluruh bangsa, serta memiliki kapasitas diri yang memadai yang membuat mereka menjadi masyarakat atau kelompok yang kreatif dan inovatif. Kepada mereka pembangunan yang dilaksanakan lebih bersifat pada kegiatan pemberian dan pembagian wewenang berupa otonomi yang luas untuk melaksanakan kegiatan pembangunan.

Pembangunan masyarakat pada kelompok ke 2, 3, dan 4, diarahkan pada upaya membangkitkan kemauan dan/atau kemampuan masyarakat, agar dapat secara aktif terlibat dalam kegiatan pembangunan. Upaya-upaya yang dilakukan merujuk pada usaha-usaha meningkatkan kekuatan spritual, politik, sosial dan ekonomi, bentuknya bisa bermacam-macam seperti pendampingan, penyuluhan, pelayanan, pendidikan, disertai dengan dukungan membangun aset material yang dipelukan sebagai sarana pencapaian keberdayaan masyarakat. Upaya ini merupakan kegiatan membangun rasa percaya diri masyarakat atas kapasitas yang dimilkinya.

Masyarakat membangun dapat dikatakan sebagai output dari membangun masyarakat. Masyarakat membangun adalah masyarakat yang telah terbangun kemauan dan kemampuannya serta berbagai aspek kehidupannya untuk kemudian membangun bangsa. Masyarakat yang telah berdaya atau terbangun adalah masyarakat yang telah menyadari pentingnya pembangunan sehingga memiliki komitmen terhadap terhadap keberhasilan pembangunan untuk kemudian secara konsisiten memberikan kontribusi demi tercapainya tujuan pembangunan. Masyarakat yang telah terbangun ini akan memiliki kreativitas dan berjiwa inovatif dan mampu menghadapi tantangan pembangunan dan mampu melihat peluang-peluang perbaikan serta memikirkan cara meraihnya serta mampu memberikan alternatif-alternatif pemecahan atas tantangan yang dihadapi.

Selasa, Februari 03, 2009

Feodalistik Pelayanan

Apabila ada pejabat dari suatu instansi pusat berkunjung ke daerah, maka pejabat dan pegawai yang berada di instansi daerah yang secara hirarki oraganisasi merupakan subordinasi dari instansi pusat akan menyambut dan melayaninya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar dan normatif, yang merupakan bentuk respek bawahan terhadap atasan. Sayangnya, pada masa lalu bahkan mungkin pada saat sekarang ini pada tataran pelaksanaan masih sering terjadi pelayanan yang diberikan berlebihan, sehingga menjadi tidak wajar.

Kalau boleh berkata jujur terjadi fenomena, disadari atau tidak disadari, sering pelayanan yang diberikan cenderung bersifat feodalistik, menempatkan pejabat seolah-olah menjadi “raja”, sehingga pelayanan yang dilakukan cenderung berlebihan, segala sesuatu yang dianggap sebagai kebutuhan pejabat tersebut, diminta atau tidak diminta, akan di persiapkan, bahkan terkesan sebagai “upeti” dengan harapan agar hati pejabat pusat tersebut menjadi senang. Bentuknya bisa bermacam-macam mulai menyediakan akomodasi, transportasi, konsumsi, dan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke pusat di mana semua biayanya ditanggung oleh orang daerah. Hal ini kelihatannya sudah menjadi budaya. Orang daerah khawatir apabila tidak melayani “sebaik mungkin” akan dianggap tidak loyal, bahkan muncul kekhawatiran akan karir pekerjaannya , khawatir akan terpental dari kursi empuk yang sedang didudukinya.

Budaya respek terhadap atasan adalah baik sepanjang sesuai dengan prosedur atau norma yang berlaku. Budaya berlebihan itulah yang kurang bahkan tidak baik, dan harus dikikis. Ketua KPK, Antasari Ashara menyatakan kepada Saur Hutabarat pada acara Save Our Nation di MetroTV tanggal 2 Pebruari 2009 bahwa Secara adiministratif, setiap pegawai/pejabat pusat yang datang ke daerah selalu dilengkapi dengan fasilitas berupa biaya yang meliputi biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsi serta biaya operasional lainnya sesuai dengan kebutuhan, tempat yang dituju, lamanya waktu berkunjung, dan lainnya. Sehingga orang daerah tidak perlu lagi menanggung biaya-biaya tersebut, karena apabila hal tersebut dilakukan, maka terjadi double anggaran pada satu kegiatan, sehingga terjadi kelebihan anggaran dan dapat dipertanyakan dan dapat diduga kemana larinya dana lebih tersebut…..Oleh karena itu, menurut Antasari bahwa perilaku tersebut merupakan bentuk KKN, penyalahgunaan anggaran negara.

Senin, Februari 02, 2009

Pembangunan dan Pendidikan

Pembangunan dan pendidikan merupakan dua aspek yang saling terkait bagaikan dua sisi mata uang, yang tidak dapat berdiri sendiri tapi dapat dan perlu dibedakan. Pembangunan memerlukan orang-orang/warga negara yang mampu menyelenggarakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan tersebut. Orang-orang yang mampu melaksanakan pembangunan tersebut dapat tercipta melalui pendidikan. Pendidikan, baik dari sisi proses maupun dari sisi sarana dan prasarananya, dapat terwujud dengan baik apabila didukung oleh iklim pembangunan dan kebijakan pembangunan yang baik. Dengan demikian pendidikan yang berkualitas merupakan hasil dari proses pembangunan, dan tercapainya tujuan pembangunan merupakan wujud dari hasil kerja orang-orang yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang merupakan hasil dari suatu proses pendidikan. Tidak mengherankan apabila dalam Pembukaan UUD 1945 ditekankan mengenai keinginan kita semua untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas. Masyarakat yang cerdas hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang berkualitas. Tanpa manusia yang cerdas dan berkualitas, pembangunan tidak akan berjalan dengan baik. Pembangunan hanya dapat terselenggara secara produktif, efektif dan efisien apabila didukung oleh manusia yang berkualitas dan kemampuan profesionalisme yang memadai, serta bermoral menjunjung tinggi nilai etika dan agama. Artinya, kemakmuran bangsa dan negara bukan disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan melainkan dengan cara membangun lebih banyak tenaga produktif sehingga tercipta kekuatan swadaya bangsa. Indonesia memiliki SDA yang kaya namun dengan kualifikasi mutu SDM yang rendah, bandingkan dengan Jepang yang memiliki SDA yang kurang serta tantangan alam yang berat dengan mutu SDM yang tinggi. Ternyata Jepang sudah tergolong negara industri maju dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi di dunia.

Di Indonesia, pembangunan diperuntukkan bagi seluruh masyarakat (pemerataan) dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan manusia seutuhnya adalah pembangunan yang menekankan tidak saja aspek materil namun juga aspek sprituil/moral. Apabila pembangunan manusia seutuhnya ini terwujud maka akan tercipta suatu bangsa dan negara yang kokoh, bangsa dan negara yang tidak saja mampu bersaing di percaturan dunia, bangsa dan negara yang tidak saja mampu bertahan terhadap ancaman, namun juga menjadi bangsa dan negara yang bermoral.

Tidak dapat dinafikan bahwa pada masa Orde Baru kualitas pendidikan tidak begitu diperhatikan. Memang selama Orde Baru interpretasi pemerataan lebih ditekankan pada kuantitas yaitu bagaimana mendirikan gedung-gedung sekolah sebanyak-banyaknya sehingga setiap warga negara dapat bersekolah, munculah sekolah-sekolah INPRES, walaupun dengan alokasi dana pendidikan yang terbatas, sehingga biaya pendidikan tetap dibebankan pada rakyat, dan belum sampai kepada peningkatan kualitas.

Sayangnya, walaupun dengan alokasi dana pendidikan yang diketahui minim, namun dana tersebut masih sempat dimanipulasi, dikeruk, oleh oknum-oknum birokrasi ”yang tidak bermoral, tidak beretika” yang notabene juga merupakan luaran pendidikan, sehingga yang terbangun adalah gedung-gedung sekolah berkualitas rendah. Akibatnya, pada saat ini, sering kita simak dari media massa bahwa banyak gedung sekolah yang sudah tidak layak, namun dengan terpaksa masih tetap dipergunakan, serta kurangnya sarana penunjang dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.

Disamping itu, di masa orde baru (bahkan “mungkin” sampai sekarang) sering kita dengar keluhan para guru, tentang kecilnya gaji mereka dibandingkan dengan beban kerja yang harus mereka laksanakan, sehingga banyak guru yang ber”wirausaha” di luar bahkan menjadi tukang ojek atau lainnya. Fokus perhatian mereka tidak lagi pada bagaimana meningkatkan kualitas anak didik, namun pada bagaimana mereka bisa mencari penghasilan tambahan untuk menghidupi keluarga sekarang dan hari-hari kedepannya. Hal ini diperparah lagi bila terjadi praktek-praktek “sunat” terhadap penghasilan mereka.

Selain itu, dalam dunia kependidikan kita masih terdapat komersialisme. Pendidikan dijadikan ajang bisnis, yang mengakibatkan mutu sumberdaya manusia yang diharapkan dapat berkiprah dalam membangun bangsa menjadi rendah. Masih terdapat fenomena jual beli gelar, jual beli nilai, ada uang bisa sekolah, tidak ada uang tidak bersekolah, ada uang nilai bagus, tidak ada uang nilai pas-pasan.

Fenomena pendidikan pada masa tersebut memberikan gambaran pada kita bahwa betapa sulitnya peningkatan kualitas pendidikan dengan sarana yang terbatas, dana pendidikan yang minim, penghargaan kepada profesi guru yang sangat rendah, dan terbatasnya berbagai sarana penunjang pendidikan lainnya, serta komersialisasi pendidikan tanpa berorientasi mutu. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu syarat mutlak untuk mempercepat terwujudnya masyarakat yang membangun. Bukankah tercapainya pembangunan memerlukan anggota masyarakat yang mandiri dan membangun?

Belajar dari masa lalu oleh karena itu perlu dikaji ulang sistem pendidikan kita, sehingga dapat menghasilkan tenaga-tenaga yang tidak saja produktif, kreatif, kritis dan inovatif namun juga bermoral dan beretika. Para guru sebagai fasilitator atau pengajar perlu ditumbuhkembangkan kemampuannya, perlu dirangsang motivasi, kreativitas inovasinya, perlu ditingkatkan profesionalismenya, sehingga dapat kreatif dan inovatif dalam menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dalam suatu proses pembelajaran, dengan demikian setiap guru akan memiliki kemantapan diri dan kompetensi mengajar. Selama ini yang terjadi adalah terbatasnya upaya dan kegiatan pengembangan diri dan kompetensi dalam konteks pelaksanaan tugas profesi keguruan. Hal inilah yang membuat kualitas pendidikan kita parah seperti sekarang. Di samping hal-hal tersebut, penyebab menurunnya kualitas pendidikan antara lain, rendahnya atmosphere kreatif dikembangkan di lingkungan didik baik di lingkungan kampus/sekolah, maupun di dalam sebuah proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru.

Kurikulum pendidikan perlu dibenahi, perlu dikaji dan disusun ulang dengan meletakkan aspek-aspek IQ, EQ, dan SQ secara proporsional, jangan hanya ditekankan pada satu aspek saja. Dengan demikian, perlu digarisbawahi bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan yang mengembangkan inteligensi akademik tetapi perlu mengembangkan seluruh spektrum potensi manusia.