Senin, Desember 31, 2007

TINGKATKAN KOMUNIKASI DENGAN ANAK

Fenomena yang sering terjadi di beberapa kota besar adalah sedikit sekali waktu yang dipergunakan oleh orang tua terutama yang keduanya bekerja untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Coba kita ingat kembali, kapan terakhir kali kita berkomunikasi secara komunikatif dan efektif dengan anak-anak kita. Komunikasi yang komunikatif dan efektif merujuk pada kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan dikatakan komunikatif dan efektif serta berkualitas antara orang tua dan anak, apabila terwujud dalam situasi yang penuh kemesraan, kasih sayang dan tanpa adanya kendala atau penghalang mental (mental block).

Orang Tua, Pada Umumnya, Diktator. Tanpa disadari, sering kali faktor ini berlaku ketika orang tua membimbing anak-anaknya. Coba kita tinjau kembali, percakapan yang terjadi antara kita dan anak-anak cenderung berbentuk larangan, perbandingan, sindiran dan arahan. Apabila cara seperti ini yang digunakan dalam mendidik anak maka wajar sekiranya orang tua dianggap sebagai orang yang memimpin keluarga secara autokratik. Mari, coba kita ingat kembali komunikasi kita setiap hari dengan anak, “biasanya” bunyinya sebagai berikut:

  • Tono pulang sekolah nanti langsung kerjakan PR (arahan).
  • Jangan lupa angkat jemuran (arahan).
  • Mama tidak suka melihat kamu bertelepon lama-lama seperti semalam (larangan).
  • Itulah kalau malas belajar, lihat si Yudhi tidak perlu diperintah atau disuruh (perbandingan).
  • Hmm... daripada diberikan ke Ucrit lebih baik buat kucing. Kalau diberipun, nanti tidak dihargai. (Sindiran).

Inikah komunikasi yang terjadi antara orang tua dengan anak-anak? Kalau ini yang dipahami sebagai komunikasi oleh kita sebagai orang tua, maka jelas kita sedang menyediakan atau mempersiapkan masalah bagi anak-anak di masa depannya

Pahami Terlebih Dahulu Anak-Anak, Maka Mereka Akan Memahami Kita (Orang Tua). Hal ini yang seharusnya perlu dimengerti, dipahami dan dilakukan oleh orang tua. Tempatkan diri kita dalam posisi anak. Selami perasaan anak. Nasihatilah anak-anak sebagaimana layaknya seorang teman menasihati. Hindari terbentuknya dinding atau penghalang keterbukaan komunikasi antara kita dengan anak. Janganlah selalu kita memberikan kritik kepada anak. Setelah terbentuknya jembatan perasaan, barulah kita tunjukkan apa kesalahan si anak serta membuka pikiran sianak tersebut akan akibat-akibat buruk yang mungkin terjadi apabila sianak tidak melakukan perubahan.
Janganlah kita langsung berharap akan adanya perubahan yang mendadak atau drastis pada prilaku anak, karena perubahan drastis akibat dipaksakan biasanya tidak bertahan lama, si anak dapat kembali pada prilakunya yang terdahulu. Ceritakan kisah-kisah masa lalu kita kepada sianak agar mereka tahu dan mengerti bagaimana kita menghadapi situasi yang memerlukan ketabahan dan keteguhan.
Berikan Dorongan atau Dukungan Kepada Anak. Janganlah orang tua menunjukkan keraguan terhadap kebolehan dan kemampuan si anak dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Berikanlah dorongan serta pujian kepada mereka. Bantu mereka apabila perlu dan biarkan anak-anak belajar melalui kesalahan yang dibuatnya. Jangan pula kita berharap anak-anak dapat langsung berhasil dengan sempurna dalam mengerjakan sesuatu yang merupakan hal pertama kali bagi mereka.
Begitu juga dalam hal pelajaran dan sekolah, janganlah orang tua meletakkan harapan yang terlalu tinggi terhadap anak-anaknya. Harapan yang menggunung ini akan mempersulit dan membebani sianak. Hindari perkataan, “mama atau papa ingin lihat kamu dapat rangking 1, 2 atau 3 pada kenaikan kelas tahun ini”. Tetapi ucapkanlah, "mama atau papa ingin kamu dapat melakukan yang terbaik bagi prestasimu di sekolah pada kenaikan kelas tahun ini, rangking berapapun yang dapat kamu raih nanti, mama ikhlas. Yang penting kamu telah melakukan yang terbaik dan telah berusaha dengan sungguh-sungguh”.

Selasa, Desember 18, 2007

MENJADI APARATUR PEMERINTAH YANG BEBAS KKN

Penulisan artikel ini bukan berarti penulis adalah orang yang “bersih dan suci”, namun sekedar ajakan yang paling tidak dapat mengingatkan kita bersama dan khususnya kritik untuk diri penulis agar “sebisa mungkin” menjadi pelayan masyarakat yang dapat memenuhi harapan masyarakat, dengan meminimalkan keinginan-keinginan rendah yang dapat merugikan diri kita, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara yang tercinta ini.


Pendahuluan
Era reformasi yang dimulai sejak tahun 1997 dan sekarang tengah bergulir ternyata tidak dapat menghapus secara tuntas permasalahan peninggalan orde baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan birokrasi ternyata masih saja menjadi isu yang krusial. Tidak dapat dinafikan bahwa KKN cenderung telah mengkristal dan menjadi “budaya” bagi kebanyakan oknum birokrat di Republik yang tercinta ini. Birokrasi di Repulik ini cenderung berubah menjadi “Kleptokrasi”. Krisis moral ini tidak saja menerpa birokrat jajaran atas (“skala besar/kakap”) tetapi juga sampai pada tataran birokrat kelas bawah (“skala kecil/teri”). Kita masih saja membaca, mendengar dan melihat dari berbagai media massa bahwa krisis moral tersebut kembali menimpa beberapa oknum birokrat kelas kakap, baik yang merupakan akibat praktek KKN di masa lalu ataupun praktek baru yang terjadi di era reformasi ini, yang pada akhirnya mengharuskan mereka menginap di “hotel prodeo”, serta masih terdapat lagi beberapa oknum di beberapa instansi pemerintah yang terindikasi melakukan praktek KKN atau bahkan masih “bergerilya” melakukannya.


KKN terjadi karena dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai aparatur pemerintah, seseorang tidak mengedepankan hati nuraninya. Rendahnya derajat hati nurani dalam memperjuangkan hidup menyebabkan kebanyakan “oknum birokrat” tidak memiliki diri sebagai manusia beretika, sehingga sering terjebak ke dalam perilaku KKN. Tidak jarang, di kalangan aparatur pemerintah terdapat keputus-asaan. Sudah jujur, tetapi karir, penghasilan dan status sosial tidak maju-maju. Lalu muncul sifat ambivalensi, lebih baik maju pesat walau dengan mengorbankan kaidah etika, akhirnya mereka terjebak dalam paktek yang sangat pragmatis.


Sebenarnya para oknum aparatur pemerintahan tersebut selalu mengalami konflik bathin antara yang hak dan bathil dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Walaupun mereka tahu bahwa tindakan tersebut keliru tetapi demi perjuangan hidup tetap saja praktek yang tidak beretika (KKN) dilanjutkan. Terjadilah apa yang disebut dengan “double morale standart”. Para oknum aparatur pemerintahan yang seharusnya berfungsi dan berperilaku sebagai abdi/pelayan masyarakat ternyata berperilaku sebaliknya, yaitu “minta dilayani”. Bentuk keinginan untuk dilayani ini termanifestasi dalam wujud praktek suap, korupsi dan konspirasi.


Dalam rangka menanggulangi serta mengantisipasi fenomena tersebut sesuai dengan tuntutan reformasi, Pemerintah Indonesia saat ini tengah berupaya menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (“Good and Clean Governance”) yang menghendaki terwujudnya pemerintahan yang bersih, berwibawa, transparan dalam menjalankan tugas pelayanan publik dengan tekad memerangi praktek-praktek KKN. Sebagai implikasinya, setiap lembaga pemerintahan harus mau dan mampu melakukan langkah strategis terhadap aparaturnya, yaitu dengan melakukan upaya peningkatan kualitas profesionalisme aparatur agar memiliki “competitve advantage” yang menjunjung tinggi dan memegang teguh norma moral dan etika birokrasi serta agama dalam memberi pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan dan keinginan masyarakat.


Pemerintahan, dalam rangka mewujudkan Good Governace tersebut, tengah berupaya keras untuk melakukan pengawasan serta investigasi serta inspeksi terhadap perilaku-perilaku KKN di setiap jajaran instansi pemerintahan. Sayangnya, dalam melakukan investigasi dan inspeksi untuk pemberantasan KKN, pemerintah masih cenderung berkutet di sekitar birokrat jajaran atas belum sampai pada jajaran bawah. Padahal, kegiatan tersebut dapat dilakukan secara serentak atau bersamaan dengan cara melakukan pembagian tugas/kerja bagi tim-tim inspeksi sehingga akan terdapat tim yang melakukan inspeksi pada birokrat kelas atas dan juga tim yang melakukan inspeksi pada birokrat kelas bawah. Perlu diingat bahwa sesuatu yang besar itu selalu berawal dari yang kecil. Praktek KKN pada tingkat atas itu disebabkan oleh akumulasi “proses pembelajaran atau pembiasaan” yang dilewati oleh oknum-oknum tersebut ketika mereka masih “kecil” sampai kemudian mereka menjadi atau menduduki jabatan yang tinggi.


Memang bila dilihat secara parsial atau satu per satu, sepertinya nilai nominal kerugian yang ditanggung negara akibat praktek KKN pada jajaran bawah relatif kecil, namun apabila dilihat secara menyeluruh (akumulatif) maka akan terlihat nilai nominal yang sangat signifikan kerugian yang diderita bangsa dan negara ini. Coba dibayangkan, ada berapa banyak UPT-UPT dari seluruh Departemen di seluruh Indonesia (belum termasuk lembaga-lembaga kepemerintahan lainnya). Kemudian seandainya saja terdapat praktek-praktek penggunaan dana yang tidak benar “namun secara administrasi dianggap benar” di setiap UPT-UPT tersebut rata-rata hanya sebesar Rp. 50.000.000 (relatif kecil), maka bila nilai ini dikalikan dengan banyaknya UPT di seluruh Indonesia akan terlihat nilai nominal yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam pemberantasan KKN di lingkup birokrasi, janganlah tanggung-tanggung atau setengah-setengah, namun harus tuntas mulai dari hulu sampai ke hilir. Dan yang terpenting, anggota-anggota tim tersebutpun harus bersih dari unsur KKN.


Menjadi Aparatur yang Bebas KKN
Keberhasilan Pemerintah dalam mewujudkan “Good and Clean Governance” pada hakekatnya sangat ditentukan oleh SDM atau aparatur yang mengelola dan menjalankan roda pemerintahan tersebut, karena SDM lah yang menetapkan apa saja yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian sebagai aparatur negara, selain upaya-upaya yang dilakukan secara formal oleh pemerintah, setiap individu SDM lingkup lembaga-lembaga pemerintah seyogyanya mau dan mampu secara sadar dan mandiri berupaya untuk menjadi aparatur yang baik dan bersih yang terhindar dari kontaminasi KKN. Untuk itu SDM pemerintah perlu secara berkesinambungan mengembangkan dirinya, selalu belajar terus menerus dan berusaha agar selalu instropeksi di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Agar menjadi aparatur yang profesional, berkualitas, baik dan bersih, dapatlah dicontoh sifat-sifat utama dari Rasulullah Muhammad SAW, yang mana sifat-sifat tersebut berlaku universal sehingga dapat dijadikan panutan oleh siapa saja dalam aktivitas kesehariannya termasuk oleh aparatur Pemerintah. Sifat-sifat tersebut ialah: Sidiqh, Tabligh, Amanah, dan Fathona, agar lebih mudah mengingatnya kita singkat dengan STAF.


Sidiqh (Benar/Jujur)
Seorang aparatur Pemerintah hendaknya “harus” mau dan mampu untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran dalam berpikir, bertindak, maupun berbicara di dalam menjalankan tugasnya dan di kehidupan kesehariannya. Apa yang dikerjakan haruslah sesuai dengan aturan, tidak menyimpang dari norma dan etika yang berlaku di masyarakat, organisasi dan yang terutama tidak menyimpang dari agama. Kesadaran akan nilai-nilai ini akan menolong dan mengarahkan aparatur pemerintah untuk berbuat jujur terhadap dirinya dan terhadap masyarakat. Aparatur Pemerintah yang menegakkan kebenaran dan kejujuran di dalam melaksanakan tugasnya akan dapat menghindarkan diri dari perilaku negatif terhadap masyarakat demi kepentingan dan pemuasan kebutuhan diri sendiri.


Tabligh (Menyampaikan atau Menyerukan Pada Kebaikan)
Apabila sifat ini dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi, maka segala aktivitas yang cenderung negatif dapat terkontrol. Karena setiap individu akan berusaha untuk saling mengingatkan dan menyerukan pada kebaikan. Sebagai aparatur Pemerintah, kita seyogyanya wajib saling mengingatkan dan menyerukan kepada rekan sekerja, atasan maupun bawahan agar selalu berusaha melaksanakan pekerjaan sesuai dengan aturan atau prosedur yang berlaku. Aparatur Pemerintah yang baik harus mau dan mampu mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.


Aparatur yang mengedepankan sifat tabligh, akan selalu berusaha menjaga hubungan manusiawi yang harmonis dalam lingkup kerjanya maupun di lingkungan sekitarnya. Komunikasi yang baik akan selalu dibangun dalam rangka menyeru pada kebaikan. Keramahtamahan, tidak memandang rendah orang lain dan selalu berupaya menghargai orang lain harus di kedepankan, dengan tujuan persuasi, agar orang lain tersebut dapat diajak kearah kebaikan. Penguasaan akan keterampilan berkomunikasi sangat penting, sehingga orang yang diajak atau diseru dapat menerima dan merespons dengan senang hati.


Amanah (Dapat Dipercaya)
Jadilah aparatur Pemerintah yang dapat dipercaya. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai aparatur harus berupaya menjaga diri dan instropeksi diri sehingga dapat terpelihara dari sifat-sifat tercela. KKN tidak akan pernah terjadi apabila setiap aparatur memegang prinsip amanah, artinya tugas yang dibebankan kepadanya dilaksanakan secara baik, benar, bersih dan bertanggung jawab. Teguh pada pendirian sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang negatif.


Pekerjaan yang dipikul oleh aparatur pemerintah, pada dasarnya, dapat dipertanggungjawabkan dalam dua kondisi. Pertama, pertanggungjawaban berdasarkan aturan atau norma administrasi yang berlaku; kedua, pertanggungjawaban secara spiritual/religi. Selama ini yang terjadi “walaupun dianggap tidak salah” pertanggungjawaban yang dilakukan oleh kebanyakan aparatur pemerintahan adalah berdasarkan aturan administrasi yang “terkadang mengesampingkan” pertanggung jawaban secara religi/spiritual/agama. Hal ini terjadi, karena pada umumnya kegiatan yang dilakukan di lingkup pemerintahan merupakan kegiatan yang bersifat proyek dan dikelola menurut manajemen proyek, sehingga tolok ukur keberhasilannyapun proyek; Proyek dianggap sukses jika anggarannya habis terpakai. Pertanggungjawaban yang dilakukan dianggap benar bila telah sesuai dengan administrasi keproyekan, sehingga kadangkala atau bahkan sering terjadi “pembenaran tehadap penyelewengan” yang penting secara administrasi dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban atas amanah yang dipikul oleh aparatur Pemerintah sebaiknya dipegang teguh dengan berlandaskan religi/spiritual. Bila hal ini dilakukan, maka Aparatur Pemerintah dalam melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya, akan menggunakan hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja aparatur yang berada di atas rel atau jalan kebenaran yang “hakiki”.


Fathonah (Bijaksana dan Cerdas)
Bijaksana dalam mengambil sikap dan perbuatan atas dasar kecerdasan berpikir. Berusaha untuk terus belajar dan mengembangkan diri serta tidak arogan. Dengan meningkatkan kecerdasan dan ketajaman berpikir, aparatur Pemerintah akan mampu berpikir kritis dan mampu menguasai dan memahami pemasalahan-permasalahan yang dihadapinya dalam sebuah kerangka berpikir yang rasional/logis, sehingga sanggup menjawab setiap persoalan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas dan Rabbani. Tidak larut ke dalam kesesatan-kesesatan berpikir dan tidak terwarnai oleh pemikiran kotor dari nafsu yang rendah.
Seorang aparatur Pemerintah yang berjiwa fathonah akan memiliki kemampuan memilih kapan harus bertindak dan kapan harus diam. Aparatur Pemerintah yang memiliki kecerdasan dan kebijakan akan selalu berupaya untuk berhati-hati dan tidak ceroboh dalam bekerja, akan tetapi tidak lamban dalam menyelesaikan segala persoalan. Aparatur tersebut akan mampu membuat skala prioritas dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga tahu mana yang harus didahulukan dan mana yang dilakukan kemudian.

Penutup
Apabila setiap aparatur pemerintah mau dan mampu menerapkan konsep STAF ini, maka akan tercipta SDM-SDM pemerintah yang selalu mengedepankan norma moral dan etika birokrasi serta nilai-nilai agama sehingga tidak akan mudah menggadaikan hati nuraninya ketika melaksanakan tanggung jawabnya sebagai aparatur pemerintah.

Apakah Kita Termasuk Penderita AIDS?

(Sebuah Renungan)

Transparan... tranparan ….demi rakyat…. sesuai semangat reformasi ......... akuntabilitas publik ........ basmi KKN ...... bersihkan diri dari virus KKN.

Semua kata-kata tersebut, sejak jatuhnya rezim orde baru atau sejak lahirnya orde reformasi, acapkali marak terdengar dan didengung-dengungkan di setiap kesempatan oleh hampir semua pihak. Kata-kata ini menjadi the power or great words untuk mendorong dan membawa bangsa dan negara Indonesia pada perubahan ke arah yang lebih baik. Kata-kata ini menjadi sesuatu yang indah untuk didengar karena membawa harapan baru bagi masa depan bagsa dan negara Indonesia.

Harapan baru, harapan yang menjadi keinginan hampir semua orang di Indonesia. Keinginan tersebut ada yang benar-benar muncul dari hati nurani, namun ada pula yang sekedar ikut-ikutan, sekedar agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak reformis. Mereka yang sebelum reformasi bergulir melakukan praktek-praktek yang kontradiktif bahkan alergi dengan kata-kata tersebut, sekarang ikut-ikutan menyuarakannya dengan lantang. Apakah mereka benar-benar sadar dan ingin berubah, ataukah sekedar kamuflase agar disebut reformis disebabkan pada saat ini mereka belum berpeluang lagi untuk berpraktek kembali seperti dulu?. Hanya merekalah (dan tentu saja Tuhan) yang tahu jawabannya.

Patut disayangkan bahwa, pada saat ini kata-kata indah tersebut masih menjadi lip service pada sebagian orang, khususnya bagi mereka yang menjadi pelayan publik dan/atau berada di jalur birokrasi. Masih terdapat oknum-oknum di birokrasi yang secara latent mempertahankan status quo dengan tetap menjalankan praktek-praktek pragmatis yang tidak beretika; tidak tranparan..... masih terlibat praktek-pratek KKN, ditambah lagi dengan aktivitas pelayanan yang buruk terhadap masyarakat. Mereka menjadi orang-orang yang munafik, menjalankan sifat dan sikap ambivalen (standar moral ganda), lain dimulut lain pula yang dilakukan. Rajin menyampaikan atau menyerukan kebaikan bahkan berprilaku ”seolah-olah” alim dan bijaksana, tetapi dilain pihak hati mereka telah dibutakan oleh interpretasi perjuangan hidup yang materialistis. Bila hal ini terus berlanjut, apakah harapan baru yang diinginkan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud?

Penyakit AIDS (Asal Itu Duit Sikat) telah menjangkiti dan mengerogoti mereka. Layaknya penyakit AIDS yang sesungguhnya, penyakit AIDS ini telah menyebabkan imunnity system yang terdiri dari norma, nilai dan etika/moralitas dimiliki mereka menjadi lemah. Tanpa melihat apakah hal tersebut merugikan orang lain, asalkan itu duit sikaaaaaat... yang terpenting adalah diri saya, orang lain atau rakyat bukan urusan saya, kalaupun urusan saya maka hal tersebut bukanlah merupakan prioritas. Banyak sudah kita mendengar, melihat dan menyimak dari media massa bahwa, beberapa oknum birokrat yang terindikasi terjangkit penyakit AIDS tersebut, bahkan sebagian dari mereka sudah terbukti positip terjangkit sehingga secara paksa harus ”diisolasi atau dikarantina” di ”rumah sakit” hotel prodeo. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita juga telah terjangkit penyakit AIDS tersebut? Apakah kita berusaha menghindari penyakit AIDS tersebut? Dan/atau, apakah kita berniat menyembuhkan penyakit AIDS tersebut apabila telah terjangkit, agar tidak diisolasi atau dikarantina di rumah sakit hotel prodeo?

PERLINDUNGAN DIRI DARI PENYAKIT AIDS
Agar tidak terserang penyakit, diperlukan pola hidup yang sehat. Pola hidup yang sehat adalah pola hidup yang mengedepankan kebersihan, sering berolah raga, dan selalu waspada terhadap timbulnya gejala atau sindrome dari sebuah penyakit. Demikian pula, agar tidak terserang penyakit AIDS (Asal Itu Duit Sikat), maka diperlukan kesehatan jiwa, dengan mengedepankan kebersihan hati, dan terus berolah batin (kontemplasi) agar mampu mengenali siapa dirinya dan menguasai jati dirinya, sehingga tidak akan rakus terhadap jabatan, tidak pongah terhadap harta rakyat, tidak suka mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia untuk kepentingan diri dan golongannya.

Sebagaimana layaknya cara melindungi diri agar tidak terjangkit AIDS yang sesungguhnya, maka dalam berhubungan atau pergaulan kita sehari-hari, kita memerlukan alat pelindung atau pengaman, yaitu KONDOM. KONDOM yang dimaksudkan di sini merupakan akronim yang penulis susun dari kata-kata dalam bahasa Inggris, yang dapat menjadi instrument ampuh agar tidak terjangkit penyakit AIDS (Asal Itu Duit Sikat), yaitu:

KNEEL; berlutut, atau bersujud/beribadah. Segala kegiatan yang dilakukan merupakan refleksi sujud kita kepada Sang Khalik, artinya harus diniatkan sebagai ibadah. Dengan selalu bersujud pikiran menjadi jernih. Dengan bersujud hati menjadi tenang, karena selalu menyandarkan diri kepada Sang Khalik, sehingga tidak larut ke dalam kesesatan-kesesatan berpikir dan tidak terwarnai oleh pemikiran kotor dari nafsu yang rendah. Instrumen KNEEL ini akan menghasilkan instrumen-instrumen berikutnya.

OBEDIENCE; ketaatan atau kepatuhan. Kepatuhan di sini bukanlah kepatuhan yang negatip atau kepatuhan dalam rangka memuluskan perilaku KKN, namun merupakan kepatuhan yang selalu menjunjung tinggi dan memegang teguh norma moral dan etika birokrasi serta agama, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran dalam berpikir, bertindak, maupun berbicara ketika sedang menjalankan tugas dan di aktivitas keseharian. Apa yang dikerjakan haruslah sesuai dengan aturan, tidak menyimpang dari norma dan etika yang berlaku di masyarakat, dan yang terutama tidak menyimpang dari agama. Kesadaran akan nilai-nilai ini akan menolong dan mengarahkan seseorang untuk berbuat jujur terhadap dirinya dan terhadap masyarakat.

NATURALLNESS; kesederhanaan. Mengedepankan kederhanaan merupakan salah satu instrument ampuh untuk mencegah terjangkitnya penyakit AIDS. Dengan kesederhanaan, manusia tidak akan melakukan perbuatan yang ”neko-neko”. Mereka akan puas dengan hasil yang mereka dapatkan asalkan halal dan tidak merugikan orang lain. Kederhanaan bukan berarti pasrah, namun kesederhanaan merupakan sebuah motivasi untuk membawa manusia lebih giat bekerja, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya, dan menerima kompensasi sesuai dengan kapasitasnya tersebut.

DEMOCRACY; demokrasi. Segala sesuatu kebijakan atau keputusan demi kepentingan orang banyak harus dilakukan secara demokrasi dan tranparan. Berikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya, artinya pengambilan keputusan tidak dilakukan secara sepihak, namun perlu adanya berbagai masukan. sehingga, alternatif pemecahan masalah yang akan diperoleh akan lebih baik, karena akan memungkinkan munculnya beberapa pengalaman dan ide yang beraneka ragam, serta latar belakang peninjauan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Selain itu, akan tercipta social control terhadap keputusan yang akan dan/atau telah ditetapkan sehingga tidak terjadi keputusan yang merugikan orang banyak/rakyat.

OUTSPEAKING; berbicara apa adanya, terus terang atau tegas. Apabila sifat ini dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi, maka segala aktivitas yang cenderung negatif dapat terkontrol. Karena setiap individu akan berusaha untuk saling mengingatkan dan menyerukan pada kebaikan, serta mau dan mampu mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Komunikasi yang baik akan selalu dibangun dalam rangka menyeru pada kebaikan. Keramahtamahan, tidak memandang rendah orang lain dan selalu berupaya menghargai orang lain akan di kedepankan, dengan tujuan persuasi, agar orang lain dapat diajak kearah kebaikan. Penguasaan akan keterampilan berkomunikasi sangat penting, agar orang yang diajak atau diseru dapat menerima dan merespons dengan senang hati, serta lapang dada.

MERIT; berguna, baik dan bermanfaat. Cakap dalam bidang sosial, artinya suka menolong orang lain, suka beramal dan berbuat baik, senang kalau orang lain maju, peramah, dan kuat pendiriannya serta karismatis. Penggunaan instrument MERIT ini menimbulkan keinginan agar selalu peduli dan mengedepankan kepentingan orang banyak. Orang yang yang memakai instrument ini akan selalu berusaha agar ia bisa bermanfaat dan berguna bagi orang banyak. Kemaslahatan manusia.menjadi orientasi kegiatannya.

PENUTUP
Ulasan di atas adalah sekedar sentilan bagi kita semua, terutama penulis, agar dapat menjadi manusia yang selalu mengedepankan kemaslahatan orang banyak, serta selalu mau dan mampu mengintropeksi dan mengdiagnosis diri dalam beraktivitas. Dengan pola sebagaimana yang telah diulas di atas diharapkan bisa memunculkan perubahan diri ke arah yang lebih baik.

Sabtu, Desember 08, 2007

Pendidikan yang Humanistik

Pendahuluan

Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha sadar yang dilakukan dalam rangka mengembangkan diri dan mewujudkan potensi peserta didik, sehingga dapat mencapai kematangan hidup. Kematangan hidup yang dimaksud disini adalah kematangan pada berbagai aspek yang diharapkan dapat diimplementasikan oleh peserta didik di dalam menjalani kehidupannya. Aspek-aspek tersebut meliputi kognitif, affektif, dan juga psikomotorik Dengan demikian pendidikan adalah usaha membudayakan manusia atau memanusiakan manusia.

Secara empiris, mendidik dilakukan melalui kegiatan proses belajar mengajar. Namun demikian pada tataran implementasi, hampir tidak kita sadari bahwa trend pendidikan yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini adalah belajar untuk belajar. Bukan lagi belajar untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi yang jauh makin komplek ke depan. Tak heran proses pembelajaran yang ada di sekolah dapat dinilai kurang demokratis-humanistik. Interaksi yang terjadi dalam proses belajar mengajar lebih menekankan pada peran guru sebagai penyampai ilmu (teacher centered). Peserta didik hanya dipandang sebagai obyek, bukannya subyek atau individu yang aktif. Pola ini kurang memberikan ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi guna menunjukkan eksistensinya sendiri masing-masing. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal awal anak agar mampu menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompetitif.

Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Tidak jarang juga terjadi praktik pendidikan yang memperlakukan peserta didik tidak lebih sebagai pelayan dengan menempatkan posisi pendidik sebagai tuannya. Peserta didik masih saja menjadi objek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi bahkan dilakukan indoktrinasi-indoktrinasi. Pendidikan sering kali diharapkan sebagai pabrik intelektual yang dituntut agar mampu menelorkan pelaku-pelaku pembangunan yang tangguh dan handal. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan lebih menekankan pada satu aspek saja, yaitu pada aspek intelektual, sedangkan aspek yang lain hanya mendapatkan porsi yang rendah, terutama aspek afektif. Akibatnya, pendidikan tidak lagi diarahkan kepada hal-hal penanaman potensi kemanusiaan lainnya. Terutama yang bermuara pada sisi emosial peserta didik. Padahal, inti dari sebuah pendidikan sebagaimana telah disebutkan di atas adalah agar menjadikan manusia-manusia yang cerdas, kreatif dan humanis.

Melihat realitas pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini, sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis-analitis mereka. Untuk itu, harus dicarikan sebuah konsep pendidikan yang berangkat dan beroerientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan (humanisitik) yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin penuh sebagai manusia), yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif, sehingga output dan outcome pendidikan adalah pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.

Konsep Pendidikan Humanistik

Pendidikan humanistik menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Sudjana (2004), menyatakan bahwa aliran humanistik menekankan pada pentingnya sasaran (obyek) kognitif dan afektif pada diri seseorang serta kondisi lingkunganya. Hal ini sejalan dengan pendapat Arthur Combs dalam Djiwandono (2002) bahwa persepsi memainkan peranan dalam pengalaman belajar seseorang. Apabila seseorang berhubungan dengan lingkungan sekitar maka persepsi orang itu tidak terlepas dari faktor-faktor subyektif. Peserta didik akan mempersepsikan pengalamannya, termasuk pengalaman belajar dalam memenuhi kebutuhan belajarnya, dan ia akan menginternalisasikan pengalaman itu dalam dirinya secara aktif. Oleh karena itu upaya membelajarkan peserta didik perlu dilakukan dengan membentuk tumbuhnya pengalaman belajar baru yang dirasakan manfaatnya oleh peserta didik dalam kehidupan dan lingkungannya.

Konsepsi aliran humanistik menjelaskan bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Carl Rogers seorang ahli psikologi humanistik menyatakan bahwa pembelajaran hendaknya berpusat pada peserta didik (learner centered). Pembelajaran hendaknya memberikan kebebasan yang luas kepada pesrta didik untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dilakukan dengan memberikan kebebasan yang lebih luas kepada mereka dalam memilih dan memutuskan apa yang ingin dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya, dan dimana serta kapan mereka akan belajar (Nasution, 2003)

Menurut Gage and Berliner (1991) terdapat empat tujuan yang mendasar dengan diterapkannya pendekatan humanistik dalam pendidikan:

1. Mengembangkan self-direction yang positif and kebebasan (kemandirian) pada diri peserta didik;
2. Membangun kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari;
3. Membangun kreativitas;
4. Membangun rasa keingintahuan; dan
5. Membangun minat terhadap seni atau menciptakan sensitivitas seni

Lebih lanjut, Gage and Berliner (1991) menyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang digunakan dalam penedekatan humanistik dalam pendidikan dalam rangka mencapai tujuan tersebut yaitu:

1. Peserta didik akan lebih giat belajar ketika apabila sesuai sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
2. Mengetahui bagaimana sebaiknya belajar lebih penting dibandingkan memperoleh pengetahuan yang banyak.
3. Evaluasi mandiri merupakan cara penilaian yang terbaik dan paling bermakna bagi peserta didik
4. Perlu memperhatikan perasaan peserta didik.
5. Peserta didik akan belajar dengan baik dalam lingkungan yang bebas dari ancaman.

Menurut aliran humanistik (Sudjana, 2004), perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka untuk meningkatkan kemandirian dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pandangan ini menekankan pentingnya motivasi dalam pengembangan kemandirian peserta didik.

Merujuk teori Abraham Maslow tentang hierarki motivasi, kebutuhan atau motivasi merupakan penggerak utama perilaku individu. Motivasi menggerakkan individu sebagai keseluruhan yang padu dan teratur. Maslow dalam Koehler et.al (1976) berpendapat bahwa terdapat kebutuhan-kebutuhan yang bersifat hirarkis yang memotivasi individu untuk berupaya memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: fisiologis, rasa aman, sosial atau afiliasi, prestasi atau rasa dihargai, dan aktualisasi diri. Bila kita kaitkan pendekatan humanistik yang diperkenalkan oleh Rogers, dengan teori kebutuhan maslow maka terdapat benang merah antara keduanya yaitu perlunya diciptakan situasi atau lingkungan belajar yang kondusif sehingga membangkitkan motif peserta didik untuk memenuhi kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan aktualisasi diri. Masih terkait dengan pendapat Maslow, Rogers (1983) dalam Djiwandono (2002) menyatakan rasa aman, tiada ancaman dan ketertekanan dalam suatu proses belajar adalah penting untuk diperhatikan. Individu harus diberi kebebasan untuk berpendapat, mengkritik, dan diperbolehkan untuk melakukan kesalahan dalam belajar tanpa takut mendapat sanksi atau ancaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Gage and Berliner (1991) sebagaimana disebutkan di atas.

Teori humanistik juga sejalan dengan pendapat Ki Hajar Dewantara (Riyanto, 2007), yang menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata, kalau kita mau jujur, pendidikan sampai saat ini masih menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Penutup

Sebagai kesimpulan, bahwa kiranya pada saat ini sudah waktunya pendidikan yang humanistis dikedepankan oleh para pendidik di Indonesia. Hal tersebut perlu didukung oleh pemerintah dalam bentuk pembuatan kurikulum yang dilandasi oleh filosofi pendidikan, misi dan visi yang berorientasi humanistik. Karena pada dasarnya segala aktivitas pendidikan selalu didasarkan atas kurikulum yang berlaku. Kurikulum telah ditentukan oleh atasan (pemerintah), dan penyimpangannya dapat dikenakan sanksi. Kurikulum dilaksanakan menurut jadwal pelajaran yang harus diikuti dengan ketat. Demikian pula buku pelajaran, serta ujian-ujian tidak mengizinkan kebebasan. Dalam kelas semua anak harus mengikuti pelajaran yang sama pada jam yang sama. Murid-murid diharuskan patuh, menghafal apa yang dikatakan guru. Akan tetapi guru juga tidak bebas menentukan kurikulumnya. Terlalu banyak kepatuhan membuat peserta didik konform dan kehilangan individualitas, kreativitas, dan juga rasa tanggung jawabnya, sehingga akhirnya peserta didik takut untuk bebas berekspresi. Oleh karena itu, dengan adanya kurikulum yang mengedepankan pendekatan humanistik, akan memberikan ruang dan kesempatan bagi guru dan peserta didik untuk mengembangkan rasa bebas disamping keterikatan yang menjadi ciri pendidikan di Indonesia.

Namun demikian perlu diingat bahwa gagasan humanistik munculnya dari para tokoh pendidikan Barat, oleh sebab itu pengimplementasiannya harus diselaraskan dengan nilai-nilai ketimuran bangsa Indonesia. Dan yang terpenting kebebasan berekspresi yang ditawarkan oleh aliran humanistik harus dilengkapi dengan aspek atau nilai-nilai religius. Selama ini aspek religius kelihatannya terlupakan, kalaupun ada porsinya sangat kecil. Hal ini dapat disadari karena selama ini kalau boleh berkata jujur bahwa bangsa Indonesia telah dan sedang mengalami imperialisme kebudayaan, dimana kita terlalu mengagung-agungkan segala yang datangnya dari barat. Yang paling unggul, yang paling bermutu, yang paling tepat dan cocok adalah yang kebarat-baratan, termasuk dalam bidang pendidikan di mana penekanannya hanya pada ranah intelektual saja (IQ), sehingga yang terjadi adalah kurikulum pendidikan kita lebih menekankan pada aspek intelegensi akademis. Kita lupa bahwa kita sendiri memiliki budaya yang bernilai luhur dan religius yang menjadi dasar gerak langkah berbangsa dan bernegara, yang seharusnya menjadi salah satu elemen fundamental dalam muatan kurikulum kita.