Senin, Maret 02, 2009

Memfasilitasi Masyarakat: Upaya Membangun Masyarakat

Paradigma pembangunan ”tempo doeloe” yang bersifat sentralistik ternyata telah menghasilkan ketidakberdayaan masyarakat. Pola top down yang menjadi ciri pembangunan yang sentralistik telah menciptakan bentuk interaksi yang timpang diantara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dalam paradigma ini ditempatkan sebagai obyek pembangunan dimana perannya hanya untuk melaksanakan program-program atau paket-paket pembangunan. Masyarakat hanya diitempatkan sebagai penerima, sebagai penderita, tanpa atau kalaupun ada hanya sedikit diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau mengemukakan pendapatnya. Hal ini pada akhirnya menimbulkan ketergantungan dari masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat menjadi tidak mandiri, masyarakat menjadi tidak peka terhadap problema yang ada disekitarnya karena memang tidak dirangsang untuk bersikap kritis. Sehingga mereka tidak mampu berinisiatif, kreatif, dan produktif dalam menghadapi dan memecahkan masalah mereka sendiri. Karena, segala sesuatu selalu datangnya dari atas. Selalu ada bantuan yang datang dari luar masyarakat.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan tidak lagi dominasi dan monopoli pusat tetapi bersifat lebih demokratis yang ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi. Kondisi ini telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk bangkit dari ketidakberdayaannya. Dengan desentralisasi maka keragaman dan kearifan lokal lebih dihargai dan diakui eksistensinya, sehingga dapat memicu dan memacu tumbuhnya inisatif dan kreativitas dari bawah.

Namun sayangnya, dampak dari pola lama yang terlalu lama diterapkan sudah berakar kuat di jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah kalangan masyarakat bawah. Pembangunan pola lama yang sentralistik telah meninggalkan residu berupa kemiskinan, melemahnya nilai kearifan lokal, ketidakmampuan mengakses ruang publik, dan lain sebagainya yang berakibat pada terbentuknya masyarakat yang lemah karsa. Artinya pada saat terjadi perubahan paradigma pada umumnya masyarakat masih berada pada kondisi yang belum mandiri. Mereka belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menentukan masa depannya sendiri (self determination), belum mampu menolong dirinya sendiri (self help), belum mampu mengatur dirinya sendiri (self regulating), dan belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi hidupnya sendiri (self financing). Oleh karenanya, masyarakat masih memerlukan bantuan dari pihak luar agar memiliki semangat sehingga mampu bangkit dari ketidakberdayaan. Bantuan ini bukan bersifat charity namun lebih pada upaya memfasilitasi masyarakat agar terbangkit semangatnya untuk menjadi masyarakat pembelajar yang mandiri sehingga mampu memecahkan segala persoalan hidup yang dihadapi serta mampu membentuk masa depannya sendiri sesuai dengan yang diinginkan.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus berazaskan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, prinsip kegiatan pemberdayaan adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan pembangunan. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemberdayaan harus ditekankan pada partisipasi aktif masyarakat. Karena pada dasarnya yang mampu merubah nasib masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus tergugah kesadarannya, tertarik, dan berminat, serta memiliki komitmen untuk memperbaiki diri ke arah keberdayaan. Peran pemberdaya adalah sebagai fasilitator yang membangun kemampuan masyarakat melalui proses fasilitasi dalam bentuk menciptakan iklim atau situasi kondusif yang dapat membangun dan mendorong proses pembelajaran partisipatif sehingga tercipta learning by doing menuju pada learning society.

Minggu, Maret 01, 2009

Kekerasan: Jiwa Bangsa Indonesia-kah?


Kekerasan demi kekerasan terpampang di hadapan kita. Perkelahian antar anak sekolahan (SMA) di Kupang yang dilakukan oleh “gang wanita”, demo yang berujung kekerasan di Medan yang mengakibatkan tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara, senior polisi yang melakukan “salam perpisahan” kepada yuniornya di Palu, senior TNI AD di Kabupaten Bone yang juga melakukan “perbuatan yang katanya lumrah” kepada yuniornya, terakhir saya sempat menyimak di salah satu program media elektronik maling pupuk di Siak Riau di hakimi massa bahkan terlihat diinjak, ditelanjangi, disiram air sementara banyak yang menontonnya, termasuk pihak yang meliput kejadian tersebut, dan masih banyak lagi.

Miris dan sedih rasanya hati menyaksikan adegan-adengan tersebut. Kita bangsa Indonesia yang dulu terkenal ramah, santun, suka menolong, berjiwa toleransi, sekarang berubah menjadi preman, tukang pukul, tukang jagal. Apakah ini merupakan watak asli bangsa Indonesia? Di manakah kesantunan, keramahan, kespanan, rasa saling menghargai bangsa Indonesia yang dulu sangat terkenal? Apakah ini berarti bahwa kebaikan, kesopanan, kesantunan masa lalau hanya tampak dipermukaan atau sekedar kamuflase karena memang pada saat dulu sistem penegakan hukum bersifat sangat represif (otoriter) sehingga menciptakan kestabilan semu? Pemerintahan otoriter pun pada masa lalau sebenarnya merupakan cerminan kekuatan yang mengedepankan kekerasan walaupun atas nama menjaga keamanan, kestabilan nasional, dalam arti bahwa pemerintah mempunyai hak melakukan kekerasan yang berlebihan. Ataukah karena sistem sosial bangsa Indonesia telah berubah dalam bentu euporia yang kebablasan?

Terlepas dari semua itu, kalau kita kembali pada fithrahnya, bahwa manusia itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Sebagai sebaik-baiknya makhluk maka manusia seharusnya mampu memberikan kebaikan kepada seluruh yang ada di alam ini termasuk manusia itu sendiri. Dalam konteks perkembangan manusia Indonesia saat ini banyak faktor yang kemudian mempengaruhi pola perilaku manusia Indonesia, baik faktor eksternal maupun internal. Perubahan drastis dari orde baru ke orde reformasi membuat sebagian besar masyarakat Indonesia merasa terbebas dari kungkungan yang selama ini dirasakan sangat mengikat, ditambah dengan permasalahan sosial lainnya yang terus menggerus kehidupan masayarakat. Kondisi ini merupakan hal yang wajar, sepanjang kebebasan yang dirasakan kemudian diisi dan dijalankan secara proporsional dan bertanggungjawab, dan permasalahan sosial yang menerpa dihadapi dengan bijak. Namun menjadi kebablasan, apabila kemudian kebebasan ini disalahartikan, boleh bertindak semaunya. Demo dijalanan atau di tempat umum seenak perutnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan umum, berkelahi di tempat umum karena menganggap bahwa hukum sekarang sudah lebih lunak, kekerasan boleh dilakukan dalam rangka memenangkan keinginan, dan lain sebagainya.

Kebebasan bagi setiap masyarakat memang mutlak diperlukan, namun kebebasan itu harus bertanggung jawab dan sejalan dengan aturan atau norma yang berlaku. Permasalahan sosial yang dihadapi oleh sebagian masyarakat Indonesia; kemiskinan, penganguran, dan sejenisnya harus segera dikelola oleh pemerintah untuk kemudian dicarikan soslusi yang bijak dan tepat. Norma-norma pengendalian sosial perlu ditegakkan dengan tegas agar bangsa ini bisa kembali imagenya menjadi bangsa yang santun. Manusia-manusia Indonesia hendaknya mampu berperilaku yang mengedepankan kebijakan dan kecerdasan emosi. Para pimpinan harus mampu menjadi panutan bagi rakyat dengan mengedepankan kesantunan, dan keramahan serta kebaikan dalam berpolitik dan menjalankan roda pemerintahan. Aparat penegak hukum harus mampu menjalankan kewajibannya secara bertanggungjawab dengan mengedepankan etika keramahtamahan, kasih sayang, dan rasa menghargai terhadap sesama, jangan memberi contoh sebagaimana yang sering kita saksikan dari media massa. Dengan demikian, semua elemen bangsa harus sadar dan bangkit dari keterpurukan mental dan moral menuju pada kebaikan dan kesantunan sehingga mampu menjadi bangsa yang dapat membawa nama baik bangsa dan negara Indonesia ke seluruh pelosok dunia, bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah bukan bangsa ”barbar”.....