Minggu, Oktober 25, 2009

SEJARAH PARTISIPASI

Partisipasi masyarakat bukan merupakan konsep yang sama sekali baru. Konsep Partisipasi dirumuskan pada pertengahan tahun 1970 an, ditengah-tengan tumbuhnya kesadaran bahwa upaya-upaya pembangunan pada saat itu tidak terlalu berdampak pada pengentasan kemiskinan. Paradigma pembangunan di tahun 1960 an dan 1970 an merupakan peninggalan dari aturan kolonial/penjajah, khususnya pada sistem perencanaan di akhir tahun 1930 an dan setelah periode PD II. Konsepnya bersifat ”top down (dari atas ke bawah)” yaitu pembangunan diartikan sebagai upaya pemerintah melakukan sesuatu untuk rakyat/masyarakat, dan terlihat kental penggunaan bahasa-bahasa yang bernuansa militer-birokratis yang mengacu pada literatur manajemen Amerika Serikat keluaran PD II seperti: ”tujuan (objectves), sasaran (targets), strategi (strategies), kapabilitas (capability). Penggunaan metode ilmiah sosial di akhir tahun 1950 an yang dikombinasikan dengan penggunaan mesin menghasilkan mutu yang semu, dan terjadi pengeluaran biaya yang besar. Hanya sedikit stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan ”pembangunan” tersebut. Kondisi ini merupakan penyebab tertinggi gagalnya pembangunan di negara-negara berkembang dalam meningkatkan kehidupan masyarakat miskin. Pembangunan partisipatif lahir sebagai reaksi atas kegagalan pembangunan tersebut, dipopulerkan oleh Gordon Conway dan Robert Chambers (1992), kemudian dikembangkan oleh David Korten (1996).

Partisipasi masyarakat pada pembangunan pedesaan dirumuskan pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARRD), yang diselenggarakan di Roma pada tahun 1979. WCARRD mendeklarasikan bahwa partisipasi masyarakat desa merupakan hak masyarakat untuk menyusun pranata-pranata sehingga dapat menentukan kehidupannya sendiri, ditegaskan bahwa partisipasi merupakan hak asasi manusia. Konferensi mengemukakan bahwa masyarakat desa yang pada umumnya merupakan pihak yang kurang beruntung harus diorganisasikan dan dan secara aktif dilibatkan dalam merancang kebijakan dan program, dan diberi kesempatan untuk mengendalikan pranata sosial ekonomi. WCARRD melihat adanya hubungan yang erat antara partisipasi dan kesukarelaan, antara kekuasaan/otonomi dan organisasi yang mewakili pihak terabaikan (pihak miskin). Lembaga-lembaga atau agen-agen pembangunan hendaknya melakukan kegiatan kooperatif dengan organisasi-organisasi tersebut, dan menyarankan agar bantuan yang ada disalurkan pada petani kecil dan kelompok tani. Sejak saat itu partisipasi masyarakat telah mendapat perhatian dari berbagai pemerintah, lembaga-lembaga donor, dan organisai internasional lainnya, dan banyak program partisipatif yang kemudian dikembang diberbagai negara.

Selasa, Oktober 13, 2009

JABATAN BASAH DAN JABATAN KERING

“SI A… sekarang ...enak ya…..ia menduduki jabatan basah”, sedangkan si “B biasa-biasa aja padahal eselonnya sama”. “Payah...jabatan yang ada sekarang adalah jabatan kering”. “Kalau mau dapat jabatan basah, harus berani berkorban”. Dan masih banyak lainnya pernyataan-pernyataan yang sering terlontar dari para “pemburu jabatan”dalam struktur lingkup birokrasi atau organisasi lainnya.

Jabatan basah dan jabatan kering, apa sich bedanya?

Bila ditinjau dari struktur organisasi birokrasi manapun maka tidak ada yang namanya jabatan basah dan jabatan kering. Semua posisi atau jabatan sudah ada aturan mainnya, semuanya sudah tercantum jelas dalam adiminstrasi kepegawaian, bahwa setiap eselon yang tingkatannya sama memiliki pendapatan, tunjangan yang sama besar selain ditinjau dari masa kerja. Lalu apa yang dimaksud dengan jabatan basah?

Jabatan basah adalah istilah bagi para oknum birokrat ”pemburu harta”. Ada jabatan tertentu yang melekat pada jabatannya atau posisi tersebut tugas mengurus dan mengelola berbagai sarana, prasarana dan kegiatan pembangunan dengan dana yang cukup besar, bahkan sangat besar. Bagi oknum-oknum birokrat, ”hal inilah” yang dianggap basah. Basah karena bisa memberikan peluang untuk dimanipulasi penggunaannnya. Basah karena dari sebagain dana atau sarana/prasarana yang dikelolannya ”secara bertanggungjawab” dapat mempertebal kocek pribadinya. Sering kita lihat adanya manipulasi harga pembelian (mark up) namun secara adminitrasi dapat dipertanggungjawabkan. Ada lagi dana perjalanan yang ternyata kegiatannya tidak begitu penting, hanya sekedar jalan-jalan menyenangkan diri serta mendapatkan dana tranportasi dan akomodasi gratis yang pertanggungjawabannyapun terkadang dimanipulasi, dan masih banyak lagi seperti adanya upeti dari pihak tertentu bagi pejabat tersebut agar dapat memenangkan tender/proyek, serta lainnya. Sedangkan jabatan kering kondisinya merupakan kebalikan dari jabatan basah tadi. Banyak oknum birokrat yang menghindar apabila ditawari jabatan ini, karena di benaknya adalah tidak menguntungkan walaupun menduduki jabatan, yang diutamakan bukannya pengabdian pada tugas tapi keuntungan yang akan diperoleh yang dipikirkan.

Karena keenakan menduduki jabatan basah ini banyak sudah oknum-oknum tersebut yang pada akhirnya menginap di Hotel Prodeo, terganjal masalah KKN. Namun, sepertinya tetap saja jabatan basah tersebut menjadi incaran. Kalau kita mau jujur, sampai saat ini yang ”katanya” jaman reformasi istilah jabatan basah dan jabatan kering masih saja terdengar. Kita banyak saksikan oknum-oknum yang menduduki ”jabatan basah” yang kalau dikalkulasi secara jujur pendapatan mereka seharusnya tidak lebih banyak dari kebanyakan orang, padahal sumber pendapatan mereka hanya berasal dari gaji dan tunjangan, namun mereka mampu hidup mewah...anak sekolah di Universitas Swasta yang bonafid, mampu beli mobil mahal, punya rekening bank yang di dalamnya duit melimpah. Karena secara adminitrasi mereka aman dari sentuhan ”Hukum yang katanya Adil”.

Tulisan ini hanyalah kritik bagi kita semua, bahwa dalam mengelola jabatan terdapat domain abu-abu yang harus kita waspadai terlebih lagi pada domain yang hitam, seharusnya kita hindari.

Selasa, Agustus 25, 2009

Buah Kejujuran

Setiap muslim diperintahkan untuk berlaku amanah dan memiliki akhlak yang baik serta sifat yang terpuji. Barang-siapa yang melakukan sifat-sifat tersebut, niscaya ia diberi balasan yang baik, di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa yang meninggalkan khianat dan menipu karena Allah dengan segenap kejujuran dan keikhlasan, niscaya Allah mengganti hal tersebut dengan kebaikan yang banyak Abu Hurairah radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ada seorang laki-laki yang membeli tanah perkebunan dari orang lain. Tiba-tiba orang yang membeli tanah perkebunan tersebut menemukan sebuah guci yang di dalamnya terdapat emas. Maka ia berkata kepada penjualnya, 'Ambillah emasmu dariku, sebab aku hanya membeli tanah perkebunan, tidak membeli emas!' Orang yang memiliki tanah itu pun menjawab, 'Aku menjual tanah itu berikut apa yang ada di dalamnya'. Lalu keduanya meminta keputusan hukum kepada orang lain. Orang itu berkata,'Apakah kalian berdua memiliki anak?' Salah seorang dari mereka berkata, 'Aku memiliki seorang anak laki-laki'. Yang lain berkata, 'Aku memiliki seorang puteri'. Orang itu lalu berkata, 'Nikahkanlah anak lakilaki(mu) dengan puteri(nya) dan nafkahkanlah kepada keduanya dari emas itu dan bersedekahlah kalian dari padanya!'." (HR. Al-Bukhari dalam Akhbar Bani Israil, dan Muslim).

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwasanya beliau menyebutkan seorang laki-laki dari Bani Israil yang meminta orang Bani Israil lainnya agar memberinya hutang sebesar 1000 dinar. Lalu orang yang menghutanginya berkata, 'Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan (hutangmu ini)'. Ia menjawab, 'Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!' Orang itu berkata, 'Datangkanlah seseorang yang menjamin(mu)!' Ia menjawab, 'Cukuplah Allah yang menjaminku!' Orang yang akan menghutanginya pun lalu berkata, 'Engkau benar!' Maka uang itu diberikan kepadanya (untuk dibayar) pada waktu yang telah ditentukan.

(Setelah lama) orang yang berhutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluannya. Lalu ia mencari kapal yang bisa mengantarnya karena hutangnya telah jatuh tempo, tetapi ia tidak mendapatkan kapal tersebut. Maka ia pun mengambil kayu yang kemudian ia lubangi, dan dimasukkannya uang 1000 dinar di dalamnya berikut surat kepada pemiliknya. Lalu ia meratakan dan memperbaiki letaknya. Selanjutnya ia menuju ke laut seraya berkata, 'Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada si fulan sebanyak 1000 dinar. Ia memintaku seorang penjamin, maka aku katakan cukuplah Allah sebagai penjamin, dan ia pun rela dengannya.

Ia juga meminta kepadaku saksi, maka aku katakan, cukuplah Allah sebagai saksi, dan ia pun rela dengannya. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan kapal untuk mengirimkan kepadanya uang yang telah diberikannya kepadaku, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu, aku titipkan ia kepadaMu'. Lalu ia melemparnya ke laut sehingga terapung-apung, lalu ia pulang.

Adapun orang yang memberi hutang itu, maka ia mencari kapal yang datang ke negerinya. Maka ia pun keluar rumah untuk melihat-lihat barangkali ada kapal yang membawa titipan uangnya. Tetapi tiba-tiba ia menemukan kayu yang di dalamnya terdapat uang. Ia lalu mengambilnya sebagai kayu bakar untuk isterinya. Namun, ketika ia membelah kayu tersebut, ia mendapatkan uang berikut sepucuk surat. Setelah itu, datanglah orang yang berhutang kepadanya. Ia membawa uang 1000 dinar seraya berkata, 'Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu dengan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang!'.

Orang yang menghutanginya berkata, 'Bukankah engkau telah mengirimkan uang itu dengan sesuatu?' Ia menjawab, 'Bukankah aku telah beritahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang?' Orang yang menghutanginya mengabarkan, 'Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Karena itu bawalah uang 1000 dinarmu kembali dengan beruntung!'

Sumber:
http://www.jilbab.or.id

Jumat, Juli 10, 2009

Hidup Adalah Memilih (Membuat Keputusan)

Di sepanjang kehidupan, kita selalu dihadapkan oleh berbagai kenyataan atau peristiwa, baik disadari atau tidak disadari, suka atau tidak suka, yang mengharuskan kita untuk memilih dan kemudian membuat keputusan. Contoh sederhana saja, ketika seorang ibu akan berbelanja ke pasar maka ia akan melakukan plihan akan belanja apakah hari ini untuk kemudian di masak menjadi menu hari ini. Berbagai altenatif belanjaan ada dibenaknya, yang kemudian akan diputuskan untuk memilih salah satu yang dianggapnya tepat untuk menu hari ini. Contoh lain adalah seorang anak yang baru saja lulus dari bangku SMA. Di depannya ada banyak alternatif mau ke mana dia selanjutnya, bekerja atau meneruskan pendidikan atau menganggur, yang harus dipilihnya. Itulah hidup. Dalam hidup, manusia tidak akan pernah lepas dari pilihan-pilihan yang harus dibuatnya. Dalam konteks membuat keputusan, seseorang yang tidak memilih, sebenarnya sudah membuat pilihan atau mengambil kepurtusan, yaitu ia memilih untuk tidak melakukan pilihan.

Pilihan yang diambil, secara relatif, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu baik dan tidak baik. Di katakan relatif karena tergantung pada situasi dan kondisi serta siapa yang melihat atau menilai putusan tersebut serta bergantung pada kematangan dan kesiapan kita menghadapi konsekuensi dari keputusan yang diambil. Saya kemudian mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Pilihan yang diambil menurut saya baik, namun menurut orang lain dan/atau lingkungan tidak baik.
2. Pilihan yang diambil menurut saya tidak baik, tetapi menurut orang lain dan/atau lingkungan baik.
3. Pilihan yang diambil menurut saya tidak baik , dan menurut orang lain dan/atau lingkungan juga tidak baik.
4. Pilihan yang diambil menurut saya baik, dan menurut orang lain dan/atau lingkungan juga baik.

Dengan demikian, pilihan mana yang kita ambil sebenarnya tergantung pada berbagai konteks kebutuhan atau keinginan yang melingkari kita seperti keinginan pribadi kita, kebutuhan norma sosial dan agama, keinginan orang lain, tuntutan lingkungan, di mana setiap pilihan yang diambil mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu.

Konsekuensi-konsekuensi yang timbul tersebut akan mempengaruhi pola kehidupan seseorang di masa depan. Seseorang harus menyiapkan diri sehingga mampu beradaptasi dengan konsekuensi yang timbul sebagai akibat pilihan yang diambilnya. Terkadang konsekuensi yang terjadi bisa menjadi beban yang sangat berat dikemudian hari menjadikan seseorang menjadi down, namun ada juga konsekuensi yang menjadikan seseorang terlepas dari permasalahan yang dihadapi bahkan menghasilkan sesuatu yang produktif. Sebagaimana contoh di atas seorang yang baru lulus SMA yang kemudian memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan. Lulusan tersebut mungkin mempunyai pertimbangan tersendiri untuk tidak meneruskan sekolah. Bagi dia keputusannya tersebut merupakan hal yang baik, namun belum tentu dalam pandangan orang lain. Konsekuensi atas keputusan yang diambilnya dapat beragam bisa positip dan bisa negatip. Dari sisi lulusan itu sendiri, mungkin ia sudah memiliki persiapan diri untuk beradaptasi dengan konsekuensi dari pilihannya. Ia harus mampu menghadapi tantangan hidup yang ada di depannya, misalnya mencari pekerjaan. Bagi pandangan orang lain bisa saja mencibir misalnya mau kerja apa bila hanya lulusan SMA, atau bisa saja mendukung misalnya pandangan bahwa mungkin dia mau bekerja dulu untuk kemudian bila dana terkumpul bisa melanjutkan sekolah sambil bekerja.

Minggu, Juni 28, 2009

KOMPETENSI

Kompetensi merupakan salah satu syarat untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik. Seseorang yang memiliki kompetensi yang memadai akan memiliki rasa percaya diri, dan biasanya mampu memotivasi dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya dengan baik. Pertanyaannya, apakah kompetensi itu?

Menurut Susanto (2003) definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin.

Mendiknas melalui Surat Keputusan No. 045/U/2002 menyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa elemen-elemen kompetensi meliputi:

1. Landasan kepribadian
2. Penguasaan ilmu dan keterampilan
3. Kemampuan berkarya
4. Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai
5. Pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya

Menurut Johnson (Usman, 1997), kompetensi merupakan kinerja (perfomance) yang rasional yang secara memuaskan memenuhi tujuan tertentu sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Sedangkan Ife (1995) menyatakan bahwa secara umum kompetensi dimaknai sama dengan keterampilan-keterampilan (skills) yang dimiliki oleh seseorang.

Mirabile (Kismiyati, 2004) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan dan keterampilan yang dituntut untuk melaksanakan dan/atau untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan, yang merupakan dasar bagi penciptaan nilai dalam suatu organisasi. Menurut definisi ini, faktor-faktor kompetensi yang sangat penting bagi perseorangan maupun organisasi untuk mencapai keberhasilan, meliputi: pengetahuan teknis, pengkoordinasian pekerjaan, penyelesaian dan pemecahan masalah, komunikasi dan layanan, dan akuntabilitas.

Selanjutnya, Sedarmayanti (2003) mengemukakan beberapa pengertian kompetensi, yaitu:

1. Konsep luas, membuat kemampuan, mentrasfer keahlian dan kemampuan kepada situasi baru dalam wilayah kerja.
2. Kemampuan dan kemauan untuk melakukan pekerjaan.
3. Dimensi perilaku yang memengaruhi kinerja.
4. Karakteristik individu yang dapat dihitung dan diukur secara konsisten, dapat dibuktikan untuk membedakan secara nyata antara kinerja yang efektif dengan yang tidak efektif.
5. Kemampuan dasar dan kualitas kinerja yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik.
6. Bakat, sifat dan keahlian individu yang dapat dibuktikan, dapat dihubungkan dengan kinerja yang efektif dan baik sekali.

Sedarmayanti (2003) kemudian membagi kompetensi menjadi tiga macam sebagai berikut:


1. Kompetensi teknis, yaitu pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif baru.
2. Kompetensi konseptual, yaitu kemampuan melihat gambar besar (imajinatif), untuk menguji berbagai pengandaian, dan mengubah perspektif.
3. Kompetensi untuk hidup dalam ketergantungan, yaitu kemampuan yang diperlukan guna berinteraksi efektif dengan orang lain, termasuk kemampuan mendengar, berkomunikasi, mendapat alternatif lain, menciptakan kesepakatan menang-menang, dan beroperasi secara efektif dalam sistem.

Sedangkan Soesarsono (2002) menyatakan bahwa secara umum kompetensi di bagi menjadi tiga hal, yaitu:


1. Kompetensi personal yaitu kemampuan seseorang yang dihubungkan dengan kepribadian, sifat-sifat atau karakter yang dimilikinya.
2. Kompetensi sosial yaitu kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, berinteraksi dan membangun hubungan dan jaringan dengan orang lain.
3. Kompetensi profesional yaitu seperangkat kemampuan khusus yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan profesinya atau melaksanakan tugas tertentu.

Spencer dan Spencer (1993) menyatakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik mendalam dan terukur pada diri seseorang yang menunjukan cara berperilaku atau berpikir dalam situasi dan tugas kerja tertentu yang bertahan dalam waktu lama pada diri orang tersebut. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah:

1. Motif, yaitu segala hal yang secara konsisten diinginkan atau dipikirkan oleh seseorang yang mendorongnya untuk bertindak.
2. Sifat-sifat fisik, yaitu karakteristik fisik dan respons yang konsisten terhadap suatu situasi tertentu dan informasi
3. Konsep diri, yaitu sikap dan nilai serta pandangan seseorang terhadap identitas dan kepribadiannya sendiri.
4. Pengetahuan, kemampuan intelektual berupa segala informasi ang dimiliki oleh seseorang yang dapat dimanfaatkan dalam tugas/ pekerjaan tertentu.
5. Keterampilan, yaitu kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan fisik dan mental dengan baik.

Lebih lanjut Spencer dan Spencer (1993) membagi kompetensi menjadi dua, yaitu:

1. Kompetensi ambang batas (threshold competency)
Kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Dikatakan minimal karena sekedar terpenuhinya standard kerja minimal yang dipersyaratkan, tidak lebih, sehingga dapat melakukan pekerjaanya dengan baik.
2. Kompetensi yang membedakan (differentiating competency)
Kompetensi yang dapat membedakan apakah seseorang memiliki kinerja superior atau tidak. Dikatakan superior, apabila kinerja seseorang berada di atas rata-rata kebanyakan orang.

Pengkategorian kompetensi yang lebih fundamental dinyatakan oleh UNESCO (2005) bahwa terdapat empat kompetensi dasar yang perlu dimiliki oleh individu untuk menghadapi tantangan yang muncul di dalam hidupnya dan yang muncul didalam masyarakatnya. Empat kompetensi tersebut adalah:

1. Competency Learning tobe - Personal Competency
Kompetensi personal merupakan potensi individu yang terkait dengan konsep diri, yaitu cara bagaimana individu memandang dirinya sendiri. Kompetensi personal membuat setiap individu berbeda satu dengan lainnya. Dengan kompetensi personal, seseorang mampu untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari individu lainnya.

2. Competency Learning to live together – Social/Relational Competency
Kompetensi yang memungkinkan individu membangun kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain (interpersonal competency) dan masyarakat lainnya (social competency).

3. Competency Learning to know – Cognitive Competency
Kompetensi dalam menggunakan, meningkatkan dan mendayagunakan kemampuan intelektual. Terdapat tiga instrumen untuk mengembangkan kompetensi ini yaitu belajar tentang cara belajar (learning how to learn), mengajar tentang cara mengajar (teaching how to teach), dan mengetahui tentang cara mengetahui (knowing how to know).

4. Competency Learning to do – Productive Competency
Kompetetensi yang terkait dengan upaya individu membangun dirinya menjadi individu yang produktif, kreatif, dan inovatif. Kompetensi produktif terekspresi dalam bentuk kemampuan mengarahkan (directing), mengelola (managing), koordinasi/kerjasama (coordinating), pengawasan dan evaluasi terhadap produksi sendiri (self-management), produksi kelompok sendiri (co-management), atau produksi kelompok lain (group management). Kompetensi ini dapat menciptakan ruang enterpreneur bagi individu.

Dari berbagai penjelasan di atas dapat ditarik sebuah benang merah bahwa kompetensi merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan oleh individu untuk mampu melaksanakan tugas tertentu dengan baik, yang terekspresi dalam bentuk tindakan. Dengan demikian seseorang yang berkompeten adalah seseorang yang penuh percaya diri karena menguasai pengetahuan dalam bidangnya, memiliki keterampilan serta sikap positip dalam mengerjakan hal-hal yang terkait dengan bidang itu sesuai dengan tata nilai atau ketentuan yang dipersyaratkan. Dengan kata lain, kompetensi merupakan faktor mendasar yang perlu dimiliki seseorang, sehingga memimiliki kemampuan lebih dan membuatnya berbeda dengan seseorang yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa saja

Sabtu, Juni 27, 2009

Sedikit Ulasan Tentang Peran Penyuluh Kehutanan

Kegiatan penyuluhan kehutanan merupakan salah satu ujung tombak pembangunan kehutanan di lapangan. Pada kegiatan tersebut, penyuluh kehutanan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam membimbing, mendidik, dan mengajak masyarakat sekitar hutan agar mau dan mampu ikut terlibat di dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Darusman (2002) yang menyatakan bahwa peranan kegiatan penyuluhan di bidang kehutanan menjadi semakin penting terkait dengan kebijakan kehutanan yang semakin mengutamakan peran serta masyarakat, dan bahkan memberi kesempatan kepada masyarakat (rakyat banyak) untuk menjadi pelaku ekonomi kehutanan. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) bahwa peranan agen penyuluhan adalah membantu petani membentuk pendapat yang sehat dan membuat keputusan efektif. Petani didorong untuk mengembangkan kebebasan yang luas di dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengandung makna bahwa melalui kegiatan penyuluhan, masyarakat diajak, diarahkan, dibimbing, dan dididik agar secara sadar mau belajar secara terus-menerus sehingga mampu menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang dihadapinya, dan dapat mengelola potensi yang dimilikinya tersebut, baik potensi personal maupun sumberdaya alam, menjadi sebuah kekuatan aktif yang dapat digunakan dalam upaya-upaya memecahkan persoalan hidupnya serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan, serta tetap peduli pada kelestarian wilayahnya. Dengan demikian, melalui kegiatan penyuluhan diharapkan akan dapat dikembangkan lebih jauh pola pikir masyarakat yang kritis dan sistematis.

Soekanto (2006) menegaskan bahwa peranan adalah pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang terkait dengan kedudukannya di masyarakat. Dengan demikian, peranan merupakan fungsi, penyesuaian diri, dan suatu proses dari suatu kedudukan. Artinya bahwa peranan akan mengatur perilaku seseorang. Peranan menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan peranan merupakan bentuk pelaksanaan tanggung jawab terhadap pekerjaan atau tugas. Menurut Beebe dan Masterson (1989) peranan yang ditampilkan seseorang muncul sebagai akibat: (1) adanya harapan pribadi untuk menampilkan perilaku tertentu (self konsep), (2) adanya persepsi orang lain atau kelompok berkaitan dengan kedudukan orang tersebut, dan (3) interaksi yang terjadi dengan orang lain.

Lebih lanjut, Lioberger dan Gwin (1982) menyebutkan beberapa peran yang dapat ditampilkan oleh penyuluh, termasuk didalamnya penyuluh kehutanan adalah: pendengar yang baik, motivator, fasilitator proses, penghubung, pengembang kemampuan, pengajar keterampilan, pembantu pekerjaan, administrator program, pembantu kelompok, penjaga pagar, promotor, pemimpin lokal, konselor, pelindung, dan pembangun kelembagaan. Pendapat lain dinyatakan oleh Ife (1995) bahwa terdapat empat peranan dari pekerja pengembangan masyarakat, yang juga dapat menjadi peran dari penyuluh kehutanan, yaitu: fasilitator, pendidik/educator, representative, dan teknikal. Sedangkan menurut Adi (2003) peranan pekerja pengembangan masyarakat meliputi: pemercepat perubahan, perantara, pendidik, tenaga ahli, perencana sosial, advokat, dan aktivis.

Kamis, Juni 11, 2009

ILMU FILSAFAT DAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENYULUHAN

Filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosopia”. Philein artinya “cinta” dan “sophia” artinya “kebijaksanaan”. Dengan demikian philosopia atau filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang kuat atau yang bersungguh-sungguh, sedangkan kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini berarti orang yang berfilsafat adalah orang yang memiliki keinginan untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat akan dijadikan pegangan atau pedoman untuk mencari kebenaran. Dengan kata lain, filsafat adalah pandangan hidup dan landasan pemikiran yang bersumber pada kebijakan moral yang digunakan untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis sesuatu fenomena alam maupun sosial untuk memperoleh jawaban yang benar atas fenomena tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap masyarakat, bangsa, dan negara memiliki filsafatnya sendiri-sendiri yang mempengaruhi gerak kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun demikian filsafat saja tidak cukup untuk memecahkan berbagai masalah yang ada dalam masyarakat, bangsa, dan negara, misalnya masalah pendidikan. Maka muncullah filsafat pendidikan dan penyuluhan sebagai komplemen dari ilmu filsafat. Filsafat pendidikan dan penyuluhan merupakan ilmu filsafat yang diterapkan dalam bidang pendidikan dan penyuluhan, dengan maksud untuk memecahkan masalah-masalah di bidang pendidikan dan penyuluhan. Perlunya filsafat diterapkan di bidang pendidikan dan penyuluhan yang kemudian dikenal sebagai filsafat pendidikan dan penyuluhan, karena dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan dan penyuluhan diperlukan landasan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh sehingga dapat dihasilkan jawaban yang sungguh-sungguh benar. Dengan demikian hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan dan penyuluhan adalah filsafat yang dianut suatu bangsa akan mewarnai filsafat pendidikan dan penyuluhan dari masyarakat, bangsa, dan negara tersebut.

Filsafat pendidikan di Indonesia dengan demikian harus dilandasi oleh filsafat bangsa Indonesia yang berisi dengan nilai-nilai dan kebijaksanaan moral yang tinggi. Nilai-nilai psikologis dan sosial bangsa harus mewarnai dunia pendidikan kita, misalnya nilai-nilai moral bagaimana bersikap santun terhadap sesama. Walaupun demikian tidak semua nilai-nilai filsafat bangsa harus masuk ke dalam filsafat pendidikan. Kita harus tetap memilih dan memilah disesuaikan dengan kebutuhan dasar pendidikan. Misalnya nilai gotong royong jangan disalahartikan dengan bekerja sama untuk hal-hal yang negatip. Kebutuhan dasar pendidikan adalah bagaimana mengaktualisasikan potensi peserta didik baik potensi fisik, karsa, karya, dan cipta untuk dapat diterapkan dalam kehidupannya. Potensi ini perlu diarahkan, dibangkitkan, dikembangkan menjadi sebuah tenaga yang dapat memandirikan peserta didik. Bagaimana seorang pengajar dapat menjadi teladan, sehingga memotivasi peserta didik untuk bergerak maju merupakan hal yang penting. Begitu pula bagaimana seorang pengajar membimbing peserta didik, dan juga bagaimana pengajar mendorong peserta didik harus mewarnai filsafat pendidikan kita. Hal ini sejalan dengan filsafat yang diajukan oleh Ki Hadjar Dewantar yaitu: In Ngarso Sung Tulodo (yang di depan harus bisa menjadi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (yang di tengah harus membangunkan kemauan), Tut Wuri Handayani (yang di belakang harus bisa mendorong/ menyemangati).

Masih banyak nilai-nilai lainnya seperti: menghargai individu, membangun kebersamaan, yang dapat dijadikan nilai-nilai dalam filsafat pendidikan kita sehingga dapat memampukan dan memberdayakan peserta didik menjadi manusia yang berkualitas yang pada akhirnya dapat bermuara pada terciptanya daya saing yang lebih baik.

Rabu, Mei 13, 2009

Pemberdaya dan Yang Diberdayakan

Semua pihak perlu bahu membahu dalam membangun kekuatan swadaya bangsa. Kekuatan swadaya bangsa akan terbentuk apabila semua elemen bangsa mau dan mampu menumbuhkan dan memotivasi diri untuk bergerak ke arah peningkatan kapasitas sehingga tercipta keberdayaan di semua aspek (ekonomi, sosial, dan politik) dan terlibat aktif dalam kegiatan pembangunan bagi terapainya masa depan Indonesia yang lebih baik.

Partisipasi aktif dari semua elemen bangsa sangat diperlukan dalam pembangunan. Namun demikian sebagaimana diketahui kebijakan masa lalu tidak memberikan mereka peluang gerak yang luas untuk mengakses ruang pendidikan, ekonomi, dan politik sehingga pada saat ini sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam kondisi yang serba terbatas atau tidak berdaya atau tidak memiliki kapasitas yang memadai. Hanya terdapat segelintir orang atau kelompok orang yang hidupnya lebih baik dan berdaya. Karena keterbatasan kapasitas tersebut maka mereka belum mampu berperan serta secara aktif dan menyeluruh dalam pembangunan, kalaupun terlibat peran mereka hanyalah bersifat parsial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pemberdayaan.

Upaya pemberdayaan pada dasarnya akan melibatkan dua pihak yaitu pertama pihak yang melakukan pemberdayaan dan kedua adalah pihak yang diberdayakan. Dalam konteks pembangunan bangsa dan negara, yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pemberdayaan adalah pihak pengambil kebijakan di level pemerintah, sedangkan pihak-pihak yang diberdayakan adalah masyarakat pada umumnya, para pelaksana penyelenggara organisasi baik organisisasi pemerintahan/aparatur pemerintahan maupun organisasi non pemerintah. Dengan demikian, pemberdayaan tidak akan pernah terjadi dengan sendirinya, tanpa adanya kemauan dan kerja keras dari pihak pemberdaya dan pihak yang diberdayakan. Artinya, harus ada interaksi yang bersifat positip dari kedua pihak, harus ada komitmen yang kuat serta konsistensi dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan.

Pertanyaan yang timbul adalah harus dari mana aktivitas pemberdayaan dimulainya?. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa aktivitas pemberdayaan melibatkan dua pihak yaitu pemberdaya (aparatur pemerintah) dan pihak yang diberdayakan, oleh karena itu sudah seharusnya pemberdayaan itu dimulai dari aparatur pemerintah (Mullik, 2003). Artinya, aparatur pemerintah harus memiliki kapasitas yang memadai dan mengetahui dengan baik cara memberdayakan. Kapasitas yang dimaksud di sini harus meliputi kapasitas intelektual, kapasitas emosional/sosial, dan yang paling penting adalah kapasitas moral.

Peningkatan kapasitas intelektual para aparatur perlu dilakukan agar mereka mampu menjawab dan memecahkan setiap persoalan pemberdayaan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas, logis dan kreatif. Oleh karena itu para aparatur harus terus diupayakan agar lebih pintar (berpengetahuan), trampil, dan lebih mampu. Hal ini dapat dicapai melalui aktivitas pendidikan baik formal, maupun non formal.

Peningkatan kapasitas emosional pemberdaya, yaitu para aparatur selaku pemberdaya harus selalu diarahkan untuk mampu membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan sistem sosial (masyarakat) di mana aparatur tersebut berada. Ia harus memiliki kemampuan untuk memotivasi, mendorong dan menata masyarakat disekitarnya dan sanggup menerima amanah kepercayaan masyarakat. Dengan kapasitas emosional yang baik, para aparatur akan sanggup memahami dan berintraksi dengan masyarakat dengan segenap kemajemukan karakter sosial yang melekat pada masyarakat tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan saat ini masih terdapat aparatur pemerintah baik secara latent maupun manifest yang tetap melakukan praktek-praktek KKN. Oleh karena itu pembenahan dan peningkatan kapasitas moral dirasa sangat perlu dan mendesak. Aparatur pemerintah harus di arahkan agar mereka memiliki kemampuan mengendalikan diri, kemampuan menata karakter dan manajemen Qalbu, kemampuan mengembalikan dan menyandarkan semua urusan hanya kepada Sang Khalik. Dengan meningkatnya kapasitas moral, maka diharapkan dalam melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya sebagai pihak yang melakukan pemberdayaan, aparatur pemerintah akan menggunakan hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja SDM yang berada di atas rel atau jalan kebenaran yang “hakiki” yang akan berujung pada tercapainya efektivitas kinerja yang baik dan benar.

Bila ketiga kapasitas tersebut telah dimiliki oleh aparatur pemerintah, maka akan tercipta aparatur yang berdaya, kuat dan tegas, sehingga secara bertahap akan mampu secara bertanggung jawab menginisiasi, memotivasi, menggerakkan dan membantu mengelola potensi atau daya yang ada dalam masyarakat menjadi sebuah kekuatan swadaya bangsa. Namun demikian, agar ketiga komponen kapasitas itu dapat berjalan dan sebagai antisipasi timbulnya penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan, maka perlu seperangkat instrumen pengendali yang secara tegas mengatur aparatur pemerintah dalam melakukan aktivitas pemberdayaan. Muara dari instrumen ini adalah secara gradual terbangunnya kapasitas intelektual, kapasitas emosional, dan kapasitas moral yang baik sebagaimana diharapkan oleh hampir semua masyarakat Indonesia pada umumnya. Instrumen tersebut dapat berwujud aturan atau hukum yang di dalamnya terdapat ancaman dan sanksi bagi yang melanggar.

Setelah pembenahan terhadap aparatur dilakukan dan mereka telah memiliki ketiga kapasitas yang memadai maka pemberdayaan kepada masyarakat dapat dilakukan. Mullik (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu penyuluhan, pendampingan dan pelayanan (P3) Tujuan dari P3 adalah pertama, mendorong masyarakat untuk melihat peluang-peluang yang ada untuk merencanakan pembangunan hingga menikmati hasilnya. Kedua, mendorong masyarakat untuk menentukan program pembangunan pembangunan berasas lokal namun berorientasi global. Ketiga, mendorong masyarakat untuk mempunyai kemampuan dalam mengontrol masa depannya sendiri. Keempat, mendorong masyarakat untuk menguasai lingkungan sosialnya. Dengan demikian, penekanan dari kegiatan P3 adalah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat agar mereka mempunyai akses yang lebih luas di bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Masyarakat diajak, diarahkan, dibimbing, dan dididik agar secara sadar mau belajar secara terus-menerus sehingga dapat mengelola potensi yang dimilikinya menjadi sebuah kekuatan yang bermuara pada lahirnya masyarakat yang mandiri dalam upaya-upaya memecahkan persoalan hidupnya serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.

Dalam seluruh kegiatan pemberdayaan, pemberdaya berperan sebagai fasilitator. Peran sebagai fasilitator menggunakan falsafah doing with the community bukannya doing for the community. Falsafah kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, falsafah kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs dan felt needs. Falsafah kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar Ki Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia: Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani, yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan.Semakin lama kegiatan berjalan, peran sebagai fasilitator semakin dikurangi, dan pada akhirnya dapat dilepaskan apabila masyarakat telah mandiri dan telah mencapai keberdayaan pada aspek ekonomi, sosial dan politik. Pemunduran ini bukan satu tahap tetapi suatu proses yang dilakukan secara pelan-pelan. Dengan lain perkataan, peran aparatur atau pemberdaya akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya akan berhenti, untuk selanjutnya peran sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh anggota dalam masyarakat itu sendiri yang oleh anggota masyarakat lainnya dianggap mampu membawa ke arah keberdayaan yang lebih kokoh.

Senin, Maret 02, 2009

Memfasilitasi Masyarakat: Upaya Membangun Masyarakat

Paradigma pembangunan ”tempo doeloe” yang bersifat sentralistik ternyata telah menghasilkan ketidakberdayaan masyarakat. Pola top down yang menjadi ciri pembangunan yang sentralistik telah menciptakan bentuk interaksi yang timpang diantara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dalam paradigma ini ditempatkan sebagai obyek pembangunan dimana perannya hanya untuk melaksanakan program-program atau paket-paket pembangunan. Masyarakat hanya diitempatkan sebagai penerima, sebagai penderita, tanpa atau kalaupun ada hanya sedikit diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau mengemukakan pendapatnya. Hal ini pada akhirnya menimbulkan ketergantungan dari masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat menjadi tidak mandiri, masyarakat menjadi tidak peka terhadap problema yang ada disekitarnya karena memang tidak dirangsang untuk bersikap kritis. Sehingga mereka tidak mampu berinisiatif, kreatif, dan produktif dalam menghadapi dan memecahkan masalah mereka sendiri. Karena, segala sesuatu selalu datangnya dari atas. Selalu ada bantuan yang datang dari luar masyarakat.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan tidak lagi dominasi dan monopoli pusat tetapi bersifat lebih demokratis yang ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi. Kondisi ini telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk bangkit dari ketidakberdayaannya. Dengan desentralisasi maka keragaman dan kearifan lokal lebih dihargai dan diakui eksistensinya, sehingga dapat memicu dan memacu tumbuhnya inisatif dan kreativitas dari bawah.

Namun sayangnya, dampak dari pola lama yang terlalu lama diterapkan sudah berakar kuat di jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah kalangan masyarakat bawah. Pembangunan pola lama yang sentralistik telah meninggalkan residu berupa kemiskinan, melemahnya nilai kearifan lokal, ketidakmampuan mengakses ruang publik, dan lain sebagainya yang berakibat pada terbentuknya masyarakat yang lemah karsa. Artinya pada saat terjadi perubahan paradigma pada umumnya masyarakat masih berada pada kondisi yang belum mandiri. Mereka belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menentukan masa depannya sendiri (self determination), belum mampu menolong dirinya sendiri (self help), belum mampu mengatur dirinya sendiri (self regulating), dan belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi hidupnya sendiri (self financing). Oleh karenanya, masyarakat masih memerlukan bantuan dari pihak luar agar memiliki semangat sehingga mampu bangkit dari ketidakberdayaan. Bantuan ini bukan bersifat charity namun lebih pada upaya memfasilitasi masyarakat agar terbangkit semangatnya untuk menjadi masyarakat pembelajar yang mandiri sehingga mampu memecahkan segala persoalan hidup yang dihadapi serta mampu membentuk masa depannya sendiri sesuai dengan yang diinginkan.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus berazaskan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, prinsip kegiatan pemberdayaan adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan pembangunan. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemberdayaan harus ditekankan pada partisipasi aktif masyarakat. Karena pada dasarnya yang mampu merubah nasib masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus tergugah kesadarannya, tertarik, dan berminat, serta memiliki komitmen untuk memperbaiki diri ke arah keberdayaan. Peran pemberdaya adalah sebagai fasilitator yang membangun kemampuan masyarakat melalui proses fasilitasi dalam bentuk menciptakan iklim atau situasi kondusif yang dapat membangun dan mendorong proses pembelajaran partisipatif sehingga tercipta learning by doing menuju pada learning society.

Minggu, Maret 01, 2009

Kekerasan: Jiwa Bangsa Indonesia-kah?


Kekerasan demi kekerasan terpampang di hadapan kita. Perkelahian antar anak sekolahan (SMA) di Kupang yang dilakukan oleh “gang wanita”, demo yang berujung kekerasan di Medan yang mengakibatkan tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara, senior polisi yang melakukan “salam perpisahan” kepada yuniornya di Palu, senior TNI AD di Kabupaten Bone yang juga melakukan “perbuatan yang katanya lumrah” kepada yuniornya, terakhir saya sempat menyimak di salah satu program media elektronik maling pupuk di Siak Riau di hakimi massa bahkan terlihat diinjak, ditelanjangi, disiram air sementara banyak yang menontonnya, termasuk pihak yang meliput kejadian tersebut, dan masih banyak lagi.

Miris dan sedih rasanya hati menyaksikan adegan-adengan tersebut. Kita bangsa Indonesia yang dulu terkenal ramah, santun, suka menolong, berjiwa toleransi, sekarang berubah menjadi preman, tukang pukul, tukang jagal. Apakah ini merupakan watak asli bangsa Indonesia? Di manakah kesantunan, keramahan, kespanan, rasa saling menghargai bangsa Indonesia yang dulu sangat terkenal? Apakah ini berarti bahwa kebaikan, kesopanan, kesantunan masa lalau hanya tampak dipermukaan atau sekedar kamuflase karena memang pada saat dulu sistem penegakan hukum bersifat sangat represif (otoriter) sehingga menciptakan kestabilan semu? Pemerintahan otoriter pun pada masa lalau sebenarnya merupakan cerminan kekuatan yang mengedepankan kekerasan walaupun atas nama menjaga keamanan, kestabilan nasional, dalam arti bahwa pemerintah mempunyai hak melakukan kekerasan yang berlebihan. Ataukah karena sistem sosial bangsa Indonesia telah berubah dalam bentu euporia yang kebablasan?

Terlepas dari semua itu, kalau kita kembali pada fithrahnya, bahwa manusia itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Sebagai sebaik-baiknya makhluk maka manusia seharusnya mampu memberikan kebaikan kepada seluruh yang ada di alam ini termasuk manusia itu sendiri. Dalam konteks perkembangan manusia Indonesia saat ini banyak faktor yang kemudian mempengaruhi pola perilaku manusia Indonesia, baik faktor eksternal maupun internal. Perubahan drastis dari orde baru ke orde reformasi membuat sebagian besar masyarakat Indonesia merasa terbebas dari kungkungan yang selama ini dirasakan sangat mengikat, ditambah dengan permasalahan sosial lainnya yang terus menggerus kehidupan masayarakat. Kondisi ini merupakan hal yang wajar, sepanjang kebebasan yang dirasakan kemudian diisi dan dijalankan secara proporsional dan bertanggungjawab, dan permasalahan sosial yang menerpa dihadapi dengan bijak. Namun menjadi kebablasan, apabila kemudian kebebasan ini disalahartikan, boleh bertindak semaunya. Demo dijalanan atau di tempat umum seenak perutnya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan umum, berkelahi di tempat umum karena menganggap bahwa hukum sekarang sudah lebih lunak, kekerasan boleh dilakukan dalam rangka memenangkan keinginan, dan lain sebagainya.

Kebebasan bagi setiap masyarakat memang mutlak diperlukan, namun kebebasan itu harus bertanggung jawab dan sejalan dengan aturan atau norma yang berlaku. Permasalahan sosial yang dihadapi oleh sebagian masyarakat Indonesia; kemiskinan, penganguran, dan sejenisnya harus segera dikelola oleh pemerintah untuk kemudian dicarikan soslusi yang bijak dan tepat. Norma-norma pengendalian sosial perlu ditegakkan dengan tegas agar bangsa ini bisa kembali imagenya menjadi bangsa yang santun. Manusia-manusia Indonesia hendaknya mampu berperilaku yang mengedepankan kebijakan dan kecerdasan emosi. Para pimpinan harus mampu menjadi panutan bagi rakyat dengan mengedepankan kesantunan, dan keramahan serta kebaikan dalam berpolitik dan menjalankan roda pemerintahan. Aparat penegak hukum harus mampu menjalankan kewajibannya secara bertanggungjawab dengan mengedepankan etika keramahtamahan, kasih sayang, dan rasa menghargai terhadap sesama, jangan memberi contoh sebagaimana yang sering kita saksikan dari media massa. Dengan demikian, semua elemen bangsa harus sadar dan bangkit dari keterpurukan mental dan moral menuju pada kebaikan dan kesantunan sehingga mampu menjadi bangsa yang dapat membawa nama baik bangsa dan negara Indonesia ke seluruh pelosok dunia, bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah bukan bangsa ”barbar”.....

Rabu, Februari 25, 2009

Baik dan Benar: Apakah Sama?


Dua kata sebagai mana title di atas sering kita dengar. Terkadang bila kita tanyakan kepada sebagian orang, ada yang menjawab bahwa maknanya sama. Memang kadangkala dalam percakapan informal sehari-hari terkadang dua kata ini oleh sebagian orang saling dipertukarkan. Coba kita simak cerita imajinasi tentang seorang yang berhati mulia namun berprofesi sebagai pencuri budiman; orang yang mencuri untuk membantu kalangan miskin. Akan muncul berbagai tanggapan dari orang lain atau pembaca terhadap perilaku tersebut dengan komentar ”perbuatan tersebut tidak baik” ada juga yang mengomentari ”perbuatan tersebut tidak benar”. Nah....dari komentar tersebut mana yang tepat?

Kata baik dan benar tidak hanya ada dalam interaksi informal saja. Dalam konteks formal, misalnya di lingkup kerja ataupun organisasi, sering dua kata ini menyertai atau terlabel dalam pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan. Banyak frase yang sering terdengar seperti ”kerjakanlah tugas anda dengan baik”, ”laksanakan tugas anda dengan benar”, ”buatlah laporan ini dengan baik”, ”selesaikan laporan ini dengan benar”, atau keduanya digunakan secara bersamaan seperti ”coba selesaikan apa yang menjadi tanggung jawab anda dengan baik dan benar”, dan masih banyak frase lainnya yang menggunakan dua kata di atas dapat muncul ketika berinteraksi dengan rekan kerja, bawahan, ataupun atasan. Misalnya, dalam suatu organiasai terdapat seorang atasan yang sangat ramah, murah senyum, tidak menonjolkan diri sebagai atasan, suka membantu bawahannya yang mendapat kesulitan baik dalam bentuk materi maupun arahan, di sisi lain dalam pengelolaan keuangan negara yang menjadi anggaran organisasi terjadi kegiatan KKN yang dilakukan oleh atasan tersebut. Coba kita simak lagi satu cerita yang dulu pernah saya simak dari sebuah media cetak (saya lupa nama rubriknya dan kapan saya membacanya) yang meliputi tentang fenomena sosial yang ada di masyarakat, di mana seorang anak dara/gadis merantau dengan tujuan mencari pekerjaan untuk membahagiakan orang tuanya, dan pada akhirnya berprofesi menjadi seorang PSK. Hasil dari ”profesinya” tersebut digunakan untuk membahagiakan orang tuanya. Nah...dari cerita-cerita tersebut tersirat dua kata baik dan benar; mana kira-kira yang baik dan mana yang benar?

Bennis dan Nanus, pakar organisasi dari negeri Paman Sam, pernah melontarkan terminologis ”do the right things” dan ”do the things right” bagi kegiatan dalam suatu organisasi. Kalau disimak keduanya mengandung makna yang berbeda. Apapun kegiatan kita akan mengandung kedua terminologis tersebut. Hal tersebut tergantung pada pilihan, mana yang akan kita pilih. Menurut saya yang terbaik adalah kombinasi dari kedua-duanya.

Menurut saya, Do the right things merujuk pada kata baik. Baik adalah sebuah kata mengenai suatu kondisi atau situasi yang mengekspresikan etika yang berkaitan dengan kesopanan, keindahan dan emosi/perasaan, yang bersandarkan pada nilai-nilai dan moral masyarakat, sosial dan agama, seperti bagaimana seseorang bersikap terhadap orang lain, bagaimana seseorang memperlakukan orang lain, dan lain sebagainya. Sedangkan do the things right merujuk pada kata benar. Benar adalah sebuah kata mengenai cara atau teknis. Sesuatu hal yang benar adalah apabila ia berjalan sesuai dengan cara yang sudah disepakati, sesuai dengan aturan yang ada. Terkadang yang benar ini belum tentu baik, misalnya saja pertanggungjawaban keuangan apabila secara administrasi sudah sesuai (benar) walaupun dalam pelaksanaannya tidak baik misalnya terjadi ”mark up” maka bisa dianggap bukan masalah, karena secara administrasi (bukti fisik) yang dikemukakan benar. Atau, seperti cerita di atas seorang anak yang ingin membahagiakan orang tua dengan cara menjadi PSK. Cara yang dilakukannya Tidak Benar namun tujuannya Baik agar orang tuanya bahagia. Dalam berbicara dengan orang tua, kita selalu santun (baik) namun apakah tatabahasa yang kita gunakan sudah benar? Belum tentu bukan!..... Nah...yang paling tepat apabila kita melaksanakan suatu pekerjaan diharapkan kedua-duanya yaitu baik dan benar terpenuhi.

Senin, Februari 23, 2009

Komunikasi dalam Proses Pembelajaran pada Kegiatan Diklat


Diklat, ditinjau dari prosesnya, dapat dikatakan sebagai aktivitas komunikasi. Dalam proses tersebut melibatkan komponen-komponen komunikasi yaitu fasilitator/widyaiswara (WI) sebagai komunikator dan peserta diklat sebagai komunikan, pesan atau materi pengajaran, saluran yang digunakan (bisa saluran interpersonal atau saluran lainnya), serta adanya efek/reaksi yaitu perubahan tingkah laku peserta diklat. Oleh karena itu, agar tercapai interaksi perlu adanya komunikasi yang jelas antara WI dengan peserta diklat, sehingga terpadunya dua kegiatan, yakni kegiatan memfasilitasi (usaha WI) dengan kegiatan belajar (tugas peserta diklat) yang berdaya guna dalam mencapai tujuan diklat. Kegiatan memfasilitasi yang dilakukan WI dan kegiatan belajar yang dilakukan peserta diklat merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi WI dengan peserta diklat, peserta diklat dengan peserta diklat pada saat proses pembelajaran berlangsung.

Sering terjadi kegagalan mencapai tujuan program diklat disebabkan lemahnya sistem komunikasi. Untuk itulah para WI perlu mengembangkan pola komunikasi yang efektif dalam proses belajar mengajar.

Menurut Sudjana (1991), terdapat tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis dalam suatu proses pembelajaran, yaitu:
  1. Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah. Dalam komunikasi ini WI berperan sebagai pemberi aksi dan peserta diklat sebagai penerima aksi. WI aktif peserta diklat pasif. Metode mengajar ceramah pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. Namun komunikasi jenis ini kurang menghidupkan semangat peserta diklat untuk belajar.
  2. Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah. Pada komunikasi ini WI dan peserta diklat dapat berperan sama, yaitu pemberi aksi dan penerima aksi. Keduanya dapat saling memberi dan saling menerima. Komunikasi ini lebih baik daripada yang pertama, sebab kegiatan WI dan kegiatan peserta diklat relatif sama.
  3. Komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah. Yakni komunikasi yang tidak hanya melibakan interaksi dinamis antara WI dan peserta diklat tetapi juga melibatkan interaksi dinamis antara peserta diklat yang satu dengan peserta diklat lainnya. Proses belajar mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada kepada proses pembelajaran yang mengembangkan kegiatan peserta diklat yang optimal, sehingga menumbuhkan peserta diklat belajar aktif.
Penerapan dari ketiga pola di atas dalam proses pembelajaran dimanifestasikan dalam bentuk metode yang digunakan WI ketika mengadakan hubungan dengan peserta diklat pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Metode yang digunakan WI memiliki peranan yang sangat penting dalam menciptakan iklim pembelajaran yang supportif dan kondusif. Dengan metode yang efektif akan tumbuh berbagai kegiatan kegiatan belajar peserta diklat sehubungan dengan kegiatan memfasilitasi WI. Proses pembelajaran yang baik, hendaknya mempergunakan berbagai pola komunikasi atau metode pembelajaran secara bergantian atau saling bahu membahu satu sama lain.

Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran, seorang WI yang baik harus telah mempersiapkan materi yang akan disampaikannya. Bahan/materi atau pesan harus disusun sedemikan rupa agar dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajatan diklat. Bahan/,ateri pembelajaran adalah isi yang diberikan kepada peserta diklat pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Melalui materi yang telah dipersiapkan, peserta diklat diantarkan kepada tujuan pembelajaran diklat.

Menurut Schramm (dalam Effendy, 1993), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan pesan, sehingga mudah dimengerti oleh pihak komunikan, yaitu:
  1. Pesan (dalam hal ini materi pembelajaran) harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian pihak komunikan (peserta diklat).
  2. Pesan harus menggunakan sibol-simbol yang didasarkan pada pengalaman yang sama antara pihak komunikator (WI) dengan pihak komunikan (peserta diklat), sehingga sama-sama mengerti.
  3. Pesan harus dapat membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan (peserta diklat).
  4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi komunikan (peserta diklat) sehingga dapat membangkitkan respons yang dikehendaki.
Berdasarkan apa yang disampaikan Schramm di atas, WI dapat memodifikasinya sewaktu mempersiapkan bahan/materi pembelajaran sehingga dapat dengan mudah diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, seperti yang dinyatakan oleh Sudjana (2000), yaitu :
  1. Bahan harus sesuai dengan dan menunjang tercapainya tujuan.
  2. Bahan harus ditata serasi dengan urutan tujuan. Artinya, bahan yang ditulis pertama bersumber dari tujuan yang pertama, bahan yang ditulis kedua, bersumber dari tujuan yang kedua dan seterusnya.
  3. Urutan bahan hendaknya memperhatikan kesinambungan (kontinuitas). Kesinambungan mempunyai arti bahwa antara bahan yang satu dengan bahan berikutnya ada hubungan fungsional, bahan yang satu menjadi dasar bagi bahan berikut.
  4. Bahan disusun dari yang sederhana menuju ke yang kompleks, dari yang mudah menuju yang sulit, dari yang konkret menuju ke yang abstrak. Dengan cara ini peserta diklat akan mudah memahami.
Menetapkan bahan pembelajaran dalam sebuah perencanaan kegiatan diklat tidak akan banyak mendapat kesulitan, apabila tujuan pembelajaran dirumuskan dengan jelas dan terdapat sumber-sumber yang berkenaan dengan bahan tersebut. Yang sulit adalah mengorganisasi bahan dan membahasnya dalam proses pembelajaran sehingga dapat dipahami oleh peserta diklat. Organisasi bahan menyangkut bagaimana mengatur dan mensistematisasi serta menyajikan bahan agar menjadi satu kesatuan yang utuh dan berarti, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran.

Selain pada penyusunan dan pengorganisasian materi, efektivitas kegiatan belajar peserta diklat banyak dipengarui oleh kegiatan fasiltasi WI. Misalnya jika kegiatan fasilitasi yang dilakukan WI menuturkan bahan secara lisan pada peserta diklat (metode ceramah), maka kegiatan belajar peserta diklat tidak terlalu banyak. Mereka hanya mendengarkan uraian WI, dan kalau perlu mencatatnya. Namun seandainya kegiatan WI memfasilitasi dilaksanakan dengan cara bertanya atau melempar masalah untuk dipecahkan peserta diklat, maka kegiatan peserta diklat belajar akan lebih aktif, seperti diskusi, berdialog dengan teman sebangku dan lainnya. Ciri proses pembelajaran yang berhasil salah satu diantaranya dilihat dari kadar peserta diklat belajar. Makin tinggi kegiatan belajar peserta diklat, makin tinggi peluang berhasil atau tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini berarti bahwa WI harus mampu merangsang peserta diklat melakukan berbagai kegiatan belajar. Untuk itu diperlukan keterampilan WI dalam memilih berbagai metode pembelajaran dan pola komunikasi yang akan digunakan dalam proses pembelajaran tersebut.

Sabtu, Februari 21, 2009

Syukurnya Seorang Buta

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu alaihi wa salam pernah bercerita: ''Dahulu ada tiga orang Bani Israil yang masing-masing menderita suatu penyakit. Orang pertama diserang penyakit kudis disekujur tubuhnya, orang kedua tidak memiliki sehelai rambut pun di kepalanya (botak) dan orang ketiga menderita cacat pada matanya sehingga tidak bisa melihat (buta). Allah ingin menguji mereka dengan mengutus malaikat-Nya.

Malaikatpun mendatangi orang pertama seraya bertanya: ''Apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Warna dan kulit yang indah serta hilangnya seluruh cacat di tubuhku yang membuat manusia menjauhiku.'' Malaikat lalu mengusapnya sehingga segala cacat di kulitnya hilang dan berganti warna kulit yang indah. Malaikat lalu bertanya lagi: ''Binatang (ternak) apa yang anda inginkan?'' Jawabnya: ''Unta...-atau sapi-'' (perawi ragu). Lantas diapun diberi unta yang sedang bunting dan malaikat berdoa: ''Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu''.

Selanjutnya malaikat mendatangi orang yang botak dan bertanya: ''Apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Rambut yang indah serta hilangnya seluruh cacat yang membuat manusia lari dariku.'' Malaikat lalu mengusapnya sehingga cacat di kepalanya hilang dan diberi rambut yang indah. Malaikat lalu bertanya lagi: ''Binatang apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Sapi''. Lantas diapun diberi seekor sapi bunting dan malaikat berdoa: ''Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu.''

Kemudian malaikat mendatangi orang ketiga (si buta) dengan pertanyaan yang sama: ''Apakah sesuatu yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Semoga Allah menyembuhkan mataku hingga aku dapat melihat.'' Malaikat lalu mengusapnya sehingga dia dapat melihat. Malaikat lalu bertanya lagi: ''Binatang apa yang paling anda inginkan?'' Jawabnya: ''Kambing''. Lantas diapun diberi kambing bunting dan malaikat berdoa: ''Semoga Allah memberkahimu dengan binatang itu.''

Waktu terus berputar, hari datang silih berganti, bulan terus berganti dan tahun demi tahun pun berlalu. Ternak mereka makin berkembang biak dan bertambah banyak, hingga masing-masing mempunyai sebuah lembah yang mereka pergunakan untuk menggembala ternaknya masing-masing. Lembah unta, lembah sapi, dan lembah kambing.Tibalah saatnya bagi Allah untuk menguji mereka.

Malaikat kembali mendatangi orang pertama yang kini adalah orang kaya dan tidak lagi berkudis. Malaikat tersebut datang dengan wujud dan keadaan orang tersebut sebelum jadi kaya, yaitu seorang miskin lagi berkudis. Kemudian mengatakan: ''Saya seorang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalanan, hari ini tiada yang dapat menolong diri saya kecuali Allah kemudian tuan. Saya memohon kepada tuan yang telah dikaruniai kulit yang indah untuk berkenan kiranya memberikan sedikit harta demi kelangsungan perjalanan saya''. Si kudis menjawab: ''Tidak, kebutuhanku yang lain masih banyak.'' Malaikat berkata: ''Sepertinya dulu saya pernah mengenal tuan. Bukankah dahulunya tuan adalah seorang yang berkudis lalu Allah sembuhkan? Dan dahulu tuan adalah seorang fakir lalu Allah cukupkan?'' Dia menjawab: ''Harta ini adalah warisan nenek moyang sejak dulu''. Kata Malaikat: ''Jikalau engkau dusta maka Allah akan merubah tuan seperti keadaan semula''.

Berikutnya malaikat mendatangi orang kedua. Malaikat menyerupai wujudnya ketika masih miskin dan botak dahulu seraya mengajukan permintaan yang serupa dengan orang kedua tadi. Jawaban yang diperoleh pun tak berbeda dengan jawaban orang pertama. Akhirnya malaikat berkata: ''Jikalau engkau dusta, maka Allah akan merubah tuan seperti semula''.

Malaikat kemudian mendatangi orang ketiga dengan rupa seorang buta yang miskin seraya mengatakan: ''Saya orang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalanan. hari ini tiada yang dapat menolong diri saya kecuali Allah, kemudian tuan. Saya memohon kepada tuan yang telah disembuhkan oleh Allah untuk berkenan kiranya memberi saya sedikit harta demi kelangsungan perjalanan saya ini''. Jawab si buta: ''Dahulu aku adalah seorang buta, kemudian Allah menyembuhkanku. Maka ambillah apa saja dan berapapun yang anda mau dan tinggalkan yang anda tidak suka. Demi Allah, saya tidak merasa keberatan bila anda mengambil sesuatu untuk Allah''. Malaikat menjawab: ''Tahanlah hartamu, ambillah kembali. Sesungguhnya kalian sedang diuji. Allah telah meridhoimu dan murka kepada saudaramu''.

Si Buta dengan ikhlas hati memberikan hartanya kepada malaikat tersebut yang dalam pandangannya adalah seorang yang membutuhkan bantuan. Maka Allah memberkahinya dan dia tetap memiliki hartanya. Berbeda halnya dengan kedua rekannya terdahulu yang ternyata dia berubah menjadi seorang bakhil. Setelah berubah menjadi orang kaya dan berharta, keduanya lupa akan kewajibannya, yaitu bersyukur kepada Allah dan memberikan hak orang lain yang juga membutuhkan uluran tangannya. Maka dikembalikanlah keadaan mereka sebagaimana semula.

Dari kisah di atas kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran yang sangat berharga. Di antaranya:

  1. Wajibnya bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah.
  2. Syukur nikmat merupakan sebab keridhaan Allah.
  3. Jujur dan dermawan merupakan sifat yang mulia sebagaimana sifat si buta di atas.
  4. Harta yang sedikit tapi disyukuri itu lebih baik daripada banyak tapi tidak disyukuri, sebagaimana harta si buta yang hanya kambing dibanding harta si kudis dan si botak yaitu unta dan sapi.
  5. Keutamaan shadaqah dan belas kasih terhadap fakir miskin.

Sumber: Majalah Al Furqon edisi 1 tahun II
http://www.jilbab.or.id [20 Juni 2005]

Kamis, Februari 19, 2009

Hubungan Penyuluhan dan Pemberdayaan


Kegiatan penyuluhan tidak efektif bila sasaran suluh sekedar mengetahui adanya inovasi (new practice) yang diperkenalkan atau ditawarkan oleh penyuluh namun tidak diikuti dengan perubahan perilaku. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh hendaknya jangan sekedar mempresentasikan adanya inovasi saja namun perlu diikuti oleh program atau kegiatan partisipasi yaitu kegiatan yang diarahkan untuk mengajak sasaran suluh agar mau terlibat dalam kegiatan tersebut. Artinya, bahwa kegiatan penyuluhan jangan hanya merupakan kegiatan yang sifatnya sekali jalan namun harus menjadi kegiatan yang sifatnya berkelanjutan. Kegiatan lanjutan ini bertujuan untuk melihat dan membuktikan apakah telah terjadi perubahan perilaku pada sasaran suluh. Terdapat enam tahapan dalam proses perubahan yang akan dilalui sasaran suluh dalam mengadopsi suatu keterampilan baru, yaitu tahap pra perenungan, perenungan, pengumpulan informasi, tindakan, adopsi dan internalisasi.

Walaupun tujuan akhir kegiatan penyuluhan adalah perubahan perilaku sasaran suluh yang ditandai dengan diadopsinya inovasi, namun perlu diperhatikan bahwa setiap tahapan yang dilewati menandakan telah terjadinya perubahan pada diri sasaran suluh. Oleh karena itu setiap tahapan yang dilalui oleh sasaran suluh perlu dipantau dan didokumentasikan oleh penyuluh, agar nantinya para penyuluh dapat menyediakan berbagai informasi, dukungan dan pelayanan yang dibutuhkan oleh sasaran suluh dalam setiap tahapan yang dilaluinya sehingga tercapai tahapan akhir dari proses perubahan tersebut.

Agar keseluruhan tahapan tersebut yang merupakan tujuan dari kegiatan penyuluhan dapat tercapai, maka sebelum melaksanakan kegiatan penyuluhan baik penyuluh maupun lembaga penyuluhan perlu melakukan persiapan dengan merancang suatu program penyuluhan yang tepat sasaran, tepat waktu dan taat asas. Perlu juga diperhatikan bahwa perubahan perilaku tidak muncul begitu saja, namun bergantung pada kapasitas atau power (daya) yang dimiliki oleh sasaran suluh. Oleh karena itu, para penyuluh perlu memahami dan menyadari bahwa pada hakekatnya setiap orang atau sasaran suluh mempunyai kapasitas, namun pada umumnya kapasitas tersebut belum diberdayakan dan dikembangkan.

Dengan kesadaran ini maka yang perlu dilakukan oleh penyuluh adalah bagaimana mengelola kapasitas yang sudah dimiliki sasaran suluh tetapi belum dikembangkan untuk menjadi suatu kekuatan, menjadi energi yang besar sehingga sasaran suluh mampu mengatasi masalah yang mereka hadapi. dan mampu mengontrol hidupnya sendiri. Proses pengembangan kapasitas sasaran suluh dikenal dengan pemberdayaan. Proses pengembangan kapasitas ini dimulai dari lingkup individu yang kemudian diharapkan menyebar menjadi lingkup yang lebih luas yaitu peningkatan kapasitas masyarakat. Dalam aktivitas pemberdayaan, masyarakat diberikan peluang atau kesempatan dan dukungan serta sumberdaya agar secara mandiri mampu mengontrol dirinya sendiri.

Rabu, Februari 18, 2009

Berbagai Peran Penyuluh


Penyuluhan adalah sistem pendidikan untuk mengubah perilaku masyarakat, di mana pelaksanaannya dilakukan oleh penyuluh. Terdapat beberapa aspek yang harus dilakukan atau diperankan oleh penyuluh untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam memberikan bantuan pada masyarakat, apapun spesialisasi atau bidang tugas dari penyuluh tersebut. Beragam dimensi atau aspek tersebut, secara ringkas, terdiri dari sembilan hal berikut, yaitu:

  1. Melakukan diagnosa terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Penyuluh harus mampu menjawab dua pertanyaan, yaitu apa masalah yang dihadapi masyarakat? dan apa yang menjadi penyebab dari masalah tersebut. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut harus mampu didiagnosa oleh penyuluh
  2. Melakukan perkiraan terhadap motivasi dan kapasitas masyarakat untuk melakukan perubahan. Tingkat dan kualitas perubahan yang akan dicapai oleh masyarakat sangat bergantung pada seberapa besar energi dan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu melakukan penaksiran atas kesiapan masyarakat untuk berubah, dan harus mampu menentukan apakah masyarakat memiliki motivasi yang cukup dan kapasitas untuk mempertahankan proses perubahan tersebut
  3. Melakukan penaksiran terhadap motivasi dan sumberdaya yang dimilikinya. Untuk mendukung keberhasilan tugas dan tanggungjawabnya, penyuluh harus memiliki dan mempertegas motivasinya dalam membantu masyarakat, serta mempertimbangkan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk digunakan dalam memberikan bantuan pada masyarakat
  4. Memilih tujuan perubahan yang tepat dan sesuai dengan keadaan masyarakat. penyuluh harus mampu memilih dan menetapkan tujuan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat bersama-sama menganalisis dan menetapkan tujuan perubahan
  5. Memilih peran yang tepat untuk membantu masyarakat. Penyuluh harus mampu memilih peranan yang tepat sehingga ia dapat memberikan bantuannya kepada masyarakat selama berlangsungnya proses perubahan. Bantuan atau peranan yang dilakukan oleh penyuluh meliputi: 1) memediasi dan merangsang timbulnya hubungan-hubungan yang baru di dalam sistem masyarakat, 2) menyajikan pengetahuan dan keahlian dalam bentuk prosedur/cara kerja, 3) menyediakan kekuatan dari dalam sistem masyarakat, 4) menciptakan lingkungan yang kondusif, 4) memberikan dorongan selama berlangsungnya proses perubahan
  6. Membangun dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Keberlangsungan proses perubahan sangat ditentukan oleh hubungan antara penyuluh dengan masyarakat. Oleh karena itu hubungan antara penyuluh dan masyarakat perlu dijaga. Pemeliharaan hubungan ini meliputi perencanaan bersama, berbagi pengalaman, dan harapan-harapan yang saling menguntungkan yang telah dibangun oleh penyuluh dan masyarakat selama berlangsungnya proses perubahan
  7. Mengakui dan membimbing masyarakat. Perubahan pada masyarakat akan tercapai bila penyuluh memperhatikan hal-hal berikut, yaitu: 1) adanya kebutuhan untuk berubah dari masyarakat, 2) membangun hubungan baik antara penyuluh dengan masyarakat, 3) mengidentifikasi dan menetapkan masalah, 4) menetapkan tujuan perubahan, 5) melakukan tindakan perubahan, 6) mempertahankan dan menstabilkan berlangsungnya proses perubahan, dan 7) hubungan saling bantu berakhir karena tercapainya tujuan perubahan, atau menetapkan hubungan saling bantu yang baru
  8. Memilih teknik tertentu dan pola perilaku yang sesuai. Penyuluh harus menggunakan kriteria atau teknik yang sebelumnya telah ia tetapkan disesuaikan dengan pola perilaku masyarakat
  9. Mengembangkan profesionalisme melalui penelitian dan konseptualisasi. Penyuluh harus mampu secara terus menerus mengembangkan kemampuan dirinya dalam membantu masyarakat. Upaya pengembangan diri ini dapat dilakukan dalam bentuk penelitian, atau melalui kegiatan observasi untuk membantu masyarakat, dan kemudian merefleksikan dan melaporkan hasil kegiatan tersebut

Selasa, Februari 17, 2009

Fenomena PONARI dan “BATU SAKTI”-nya


Pada saat ini semua stasiun Televisi menyiarkan tentang “kesaktian” Ponari. Ponari bocah cilik yang lugu dari jombang tiba-tiba menjadi ”selebritis” dadakan. Ponari oleh sebagian orang dianggap sebagai ”dewa penyembuh” atas berbagai penyakit. Banyak orang yang berbondong-bondong datang dan rela antri berjam-jam, tidak peduli dengan situasi berdesak-desakan, agar dapat berjumpa dengan Ponari dan mendapat celupan batu yang kononnya sakti mandraguna. Bahkan walaupun sudah terjadi korban jiwa sebagai akibat desak-desakan tersebut, toh......tetap saja orang berjubel-jubel datang dan tetap berdesak-desakan. Mereka tidak peduli akan kejadian tersebut, karena ”keinginan yang kuat untuk sembuh” begitu kata beberapa orang yang diwawancarai oleh stasiun-stasiun swasta. Fenomena apa ini sebenarnya? Dan Bagaimana seharusnya pemerintah menyikapinya?

Salah satu ciri masyarakat Indonesia, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Koentjoroningrat, adalah percaya pada tahayul. Kepercayaan ini sudah melekat kuat pada diri sebagian besar masyarakat Indonesia. Keyakinan akan adanya kekuatan-kekuatan supranatural ini kemudian berlebihan sehingga tejadi hal-hal yang bersifat irrasional, terjadi pengkultusan terhadap materi atau peristiwa yang dianggap mampu menunjukkan ”kesaktiannya”, seperti pohon keramat, batu bertuah, jimat, dan lain sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal yang ghaib itu ada, namun harus ditempatkan secara proporsional sesuai dengan tuntunan agama. Kemampuan intelektual disertai kekuatan iman menjadi faktor penentu bagi terciptanya keyakinan yang rasional. Dan banyak pula faktor yang dapat memengaruhi kekuatan intelektual dan kekuatan iman seseorang. Fenomena Ponari, memperlihatkan bahwa kekuatan intelektual dan iman sebagian masyarakat Indonesia belum mampu untuk melakukan pertimbangan yang rasional, sehingga lebih percaya pada hal-hal yang berbau klenik. Selain itu, ketidakpastian jaminan pelayanan kesehatan, kondisi ekonomi yang rendah, dan keinginan sembuh secara instan juga menjadi faktor timbulnya fenomena Ponari.


Belajar dari fenomena Ponari, sudah saatnya mulai sekarang Pemerintah memperbaiki dan meningkatkan kekuatan intelektual dan iman masyarakat Indonesia. Kekuatan intelektual dan iman masyarakat Indonesia secara terus-menerus perlu untuk ditumbuhkembangkan. Perlu adanya proses perubahan perilaku masyarakat, yang dapat dilakukan melalui upaya-upaya pemberdayaan, upaya-upaya pendidikan, serta mengembangkan situasi dan kondisi lingkungan yang kondusif bagi terciptanya efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran tersebut. Pemerintah harus lebih memperhatiakan kebutuhan rakyatnya. Pemerintah harus mampu memberikan jaminan pelayanan kesehatan, harus mampu mendidik masyarakat menjadi masyarakat byang membangun dan mandiri serta rasional.

Terkait dengan batu yang kononnya sakti milik Ponari, seharusnya oleh pihak terkait perlu dilakukan penelitian atau kajian secara ilmiah. Segala sesuatu yang ada di alam ini pada dasarnya mengandung energi, ada yang bermanfaat ada pula yang merusak. Seperti contoh uranium adalah sejenis batu yang memiliki energi yang bila berada di tempat gelap akan terlihat seperti menyala, dan energi ini dapat dimanfaatkan oleh manusia. Ada juga batu yang memiliki energi seperti magnet sehingga dapat melekatkan benda-benda yang berunsur logam, batu bara yang memiliki energi panas, dan masih banyak contoh lainnya. Pada Zaman dahulu sebelum adanya kajian ilmiah mungkin saja batu-batu tersebut akan dikultuskan juga.

Oleh karenanya, untuk mendapat kepastian apa sebenarnya batu yang dimiliki Ponari, dan apa yang dikandung oleh batu tersebut perlu dilakukan kajian-kajian ilmiah. Agar tidak terjadi spekulasi atas ”kehebatan” batu tersebut. Apakah orang-orang yang sembuh memang betul-betul sembuh atau sekedar merasa sembuh (placebo effect); sembuh semu sebagai akibat sugesti yang mendalam terhadap ”kesaktian” batu tersebut. Kalau memang betul-betul sembuh maka dengan kajian ilmiah dapat diupayakan untuk mencari tahu unsur-unsur apa yang dikandung batu tersebut, sehingga suatu saat apabila ditemukan kandungan unsur-unsur yang memang berguna bagi kemaslahatan manusia, maka dapat diperbanyak atau direplikasi yang nantinya dapat digunakan sebagai obat baru atau penemuan baru di bidang medis......who knows???.

Senin, Februari 16, 2009

Proses Pembelajaran dalam Penyuluhan


Penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan yang bersifat non formal. Pendidikan itu sendiri adalah suatu proses atau usaha/kegiatan yang ditujukan untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) manusia. Sebagai suatu sistem pendidikan maka proses yang terjadi dalam kegiatan penyuluhan adalah proses pembelajaran.

Dalam proses pembelajaran pada kegiatan penyuluhan, yang menjadi peserta didik adalah orang dewasa. Sehingga agar kegiatan penyuluhan dapat berjalan dengan efisien dan efektif, diperlukan pemahaman tentang orang dewasa. Penyuluh harus mampu memahami teori pendidikan orang dewasa. Terdapat beberapa prinsip yang perlu dikedepankan dalam sebuah proses belajar pada kegiatan penyuluhan yang terkait dengan pendidikan orang dewasa, antara lain:

  1. Penyuluh harus dapat berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai guru. Sebagai mana makna fasilitator yang berasal dari kata bahasa inggris to facilitate yang artinya membuat mudah (memudahkan), maka seorang fasilitator memiliki peranan membantu sasaran suluh agar mudah belajar. Penyuluh berperan sebagai pembimbing atau pihak yang mempermudah jalannya proses belajar. Disini penyuluh dapat menjadi motivator, katalisator, dan konsultan
  2. Materi penyuluhan harus berdasarkan pada kebutuhan belajar yang dirasakan oleh sasaran suluh. Sasaran suluh yang notabene adalah orang dewasa pada umumnya melihat pendidikan sebagai proses peningkatan ketrampilan yang akan segera bermanfaat dalam kehidupan sesuai fungsinya dalam masyarakat. Sehingga pendidikan orang dewasa lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan materi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.yang mereka hadapi. Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan materi yang dibutuhkan oleh sasaran suluh adalah secara teknis dapat dilakukan, secara ekonomis dapat memberikan keuntungan, dan tidak bertentangan dengan nilai sosial dan budaya sasaran suluh.
  3. Efektivitas proses belajar, bukan diukur dari banyaknya “knowledge transfered”, namun lebih pada tumbuh dan berlangsungnya proses dialog/diskusi dan sharing informasi/pengalaman antar peserta kegiatan penyuluhan, lebih pada terjadinya upaya pembelajaran bersama di antara sasaran penyuluhan, dengan kata lain proses belajar harus bersifat partisipatif. Suasana belajar diupayakan bersifat informal dan mendorong masing-masing pesertanya untuk saling menghargai kerjasama
  4. Perlu memperhatikan perbedaan individu atau karakteristik sasarn suluh. Sasaran suluh adalah orang dewasa di mana masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara lain berpengalaman atau belum berpengalaman, usia muda atau tua, emosional atau kalem, bugar atau kurang bugar, berpendidikan atau kurang berpendidikan, dan lain sebagainya.
  5. Penggunaan media menekankan pada keterlibatan panca indera sasaran suluh secara optimal pada proses pembelajaran. Pembelajaran akan lebih efektif apabila didukung dengan peragaan-peragaan (media pembelajaran) yang konkret. Dengan peragaan maka pemahaman sasaran suluh akan lebih dalam. Peragaan yang dilakukan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sasaran suluh tidak hanya memahami sesuatu hanya terbatas pada luarnya saja, tetapi juga harus sampai pada macam seginya, dianalisis, disusun, dikomparasi sehingga dapat memperoleh gambaran yang lengkap.
  6. Tempat atau lingkungan belajar merupakan segala sesuatu yang dapat mendukung proses pembelajaran. Lingkungan pembelajaran dapat berfungsi sebagai sumber pembelajaran atau sumber belajar. Oleh karena itu, dalam kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus dapat membawa, mengatur atau menciptakan lingkungan sebaik-baiknya sehingga tercipta lingkungan sebagai komponen pembelajaran yang penting kedudukannya secara baik dan memenuhi syarat.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keberhasilan proses pembelajaran pada kegiatan penyuluhan sangat bergantung pada kemampuan penyuluh mengelola kegiatan tersebut. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip pembelajaran, yang di antaranya telah disebutkan di atas, merupakan salah satu modal dasar bagi penyuluh agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan efektif.

Minggu, Februari 15, 2009

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan


Undang Undang No. 41 Tahun 1999, menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Dengan demikian hutan hendaknya diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga dan dipertahankan kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Hal tersebut tertuang dalam bentuk visi pembangunan kehutanan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Pengelolaan hutan pada masa lalu lebih banyak diserahkan kepada para pemilik modal besar (perusahaan). Perusahaan tersebut mendapat legitimasi dari pemerintah dengan diberikannya Hak Penguasaan Hutan (HPH). Namun sayangnya pengawasan terhadap jalannya proses pengelolaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang HPH ini tidak taat azas, sehingga terjadilah degradasi hutan yang dilakukan secara sistematis. Disamping itu, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang aktivitas hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan oleh para pemegang HPH hanya dijadikan penonton, tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan tersebut. Bahkan terkadang keberadaan perusahaan pemegang HPH hanya menjadikan mereka sebagai kaum marjinal.

Pada saat belum adanya perusahaan, masyarakat sekitar hutan sudah terbiasa mengelola hutan secara tradisional dan masih bisa mengandalkan hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, namun setelah muncul perusahaan, akses mereka dibatasi bahkan diputus. Akibatnya, kondisi kehidupan masyarakat tersebut semakin terpuruk yang semakin melemahkan kapabilitas mereka dalam menunjukkan perannya dalam pengelolaan sumber daya hutan. Akibatnya, masyarakat merasa tidak diperdulikan dan tidak dihargai sehingga pada gilirannya dalam diri mereka hilang sense of belonging dan sense of responsibility terhadap hutan.

Lahirnya era reformasi telah membuat banyak perusahaan pemegang HPH yang berhenti beroperasi. Perusahaan-perusahaan tersebut dilikuidasi oleh pemerintah baru, karena terbukti telah mengeksploitasi hutan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah sustainability. Perusahan-perusahaan pemegang HPH tersebut telah mengeksploitasi hutan secara tidak bertanggung jawab atau tidak sesuai dengan wewenang yang telah diberikan kepada mereka.

Sepeninggalan HPH, masyarakat sekitar hutan merasa terbebas dari tekanan yang sebelumnya menghimpit mereka. Mereka merasa tidak ada lagi pihak yang menghalangi mereka untuk memanfaatkan hutan. Apabila pemanfaatan ini tidak dilakukan dengan mengedepankan asas kelestarian hutan, maka kerusakan hutan yang sebelumnya dilakukan oleh persahaan.akan berlanjut, dengan berganti pelaku, yaitu masyarakat. Hal ini mungkin dapat dipahami, karena sebagai akibat pola memarjinalkan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH, masyarakat sekitar hutan tersebut memiliki kapasitas/kemampuan yang lemah dalam pengelolaan hutan, serta telah memudarnya sense of belonging dan sense of responsibility. Fenomena seperti ini menampak di berbagai wilayah di Indonesia.

Pada saat ini, pemerintah telah menyadari pentingnya eksistensi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan lestari. Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi ujung tombak bagi kelestarian hutan. Perilaku mereka dalam berinteraksi dengan hutan dapat diarahkan pada terciptanya hutan lestari. Oleh karena itu, berbagai program pembangunan kehutanan yang diluncurkan pada saat ini menegdepankan pendekatan resource based management yang berbasis pada forest community based development. Paradigma baru ini merupakan model pembangunan yang berpusat pada rakyat atau masyarakat sekitar hutan. Model pembangunan ini mengajak masyarakat sekitar hutan berperan serta dalam pengelolaan hutan, dengan mengedepankan prakarsa dan kekhasan masyarakat. Bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat diperlukan agar aspek kelestarian hutan tetap terjaga namun kesejahteraan masyarakat tercapai. Namun demikian, lemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan menyebabkan mereka masih belum mampu secara optimal berperan serta dalam pengelolaan hutan, oleh karena itu oleh pemerintah dan pihak lain yang peduli akan kondisi masyarakat sekitar hutan telah melakukan berbagai upaya pemberdayaan pada mereka.

Berbagai bentuk upaya pemberdayaan telah diluncurkan pemerintah dalam bentuk program-program berbasis masyarakat seperti program social forestry, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, dan lain sebagainya Kegiatan-kegiatan tersebut pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan mengikutsrtakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satu alasan penting kenapa diperlukan, tidak hanya pandangan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut berarti memberikan kesempatan penduduk lokal memperoleh manfaat dari hutan, tetapi lebih kepada menciptakan dan memelihara sistem praktek kehutanan yang berkelanjutan secara ekologi dan secara ekonomi.

Dalam prakteknya, masih banyak program berbasis masyarakat dijalankan atas dasar konsep/pemahaman yang belum taat azas sehingga pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi tidak tepat, akibatnya anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi berdaya dan belum mampu menjadi partisipan aktif pembangunan kehutanan. Kebanyakan yang terjadi adalah masyarakat hanya diajak untuk melegitimasi suatu program tanpa mengetahui persis apa yang dilakukan dan hasil apa yang telah dicapai. Program pemberdayaan harus mengedepankan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai tahap penilaian kegiatan yang dikembangkan oleh dan untuk mereka. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan positip, di mana kesadaran kritis dan kapasitas masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat mengelola dan melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan.


Sabtu, Februari 14, 2009

Program Komunikasi untuk Perubahan Sosial

Program komunikasi bagi perubahan sosial biasanya ditekankan pada bagaimana informasi-informasi ditransmisikan, bagaimana informasi menyebar dan terbagi, bagaimana upaya untuk memperoleh informasi dipacu, bagaimana kepercayaan dibangun di antara anggota masyarakat dan oleh anggota masyarakat. Bentuk-bentuk tersebut merupakan sebuah proses yang dinamis, dan multi-faced yang harus dapat menjamin bahwa ide-ide dan gagasan-gagasan dapat disuarakan dan didengar oleh setiap pihak. Pesan yang diciptakan, dikirim, diterima dan direspon oleh masyarakat, hendaknya merupakan bagian dari sebuah proses mendengarkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jawaban atas kebutuhan masyarakat dalam bentuk pesan komunikasi yang diciptakan akan mampu menggerakan perilaku dan atau sikap, membangkitkan kesadaran dan pemahaman atas isu yang ada dalam masyarakat, menciptakan kesadaran sosial, menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama untuk memajukan kualitas hidup orang per orang dan juga masyarakat.secara keseluruhan.

Artinya, program komunikasi bagi perubahan sosial harus bersifat altruistic (mementingkan orang lain), mempromosikan hal-hal sosial yang baik, bermanfaat, dan berorientasi pada pelayanan publik. Namun demikian, program komunikasi bagi perubahan sosial harus lebih dari sekedar pelayanan public semata yang hanya berfokus pada “telling (menceritakan)” dan pendistribusian informasi di mana kebutuhan akan informasi tersebut ditentukan oleh orang-orang yang berasal dari luar komunitas. Sering terjadi pesan komunikasi datangnya dari “atas”, di mana pemahaman tentang realitas yang ada di ”tingkat bawah (ground)” sangat terbatas.

Oleh karena itu, implementasi program komunikasi dalam perubahan sosial fokusnya harus diletakan pada proses bukan pada outcome (hasil). Hal ini berarti, komunikasi bagi perubahan sosial memerlukan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk mengidentifikasi siapa yang perlu mendapatkan pesan komunikasi, dan untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan pesan-pesan tertentu.

Dengan demikian, implementasi program-program komunikasi untuk perubahan sosial harus diciptakan dan dikembangkan serta diarahkan pada upaya memberdayakan dan memberikan kebebasan yang bertanggung jawa bagi masyarakat untuk belajar dan menyampaikan gagasan. Komunikasi hendaknya memungkinkan anggota-anggota masyarakat untuk dapat menciptakan cara dalam berbagi infomasi Dengan sifat yang demikian, maka komunikasi dapat menciptakan perubahan sosial atau kemajuan bagi kehidupan masyarakat dan diharapkan dapat bersifat jangka panjang.

Jumat, Februari 13, 2009

Motivasi Kerja

Dalam keseharian sering kita mendengar kata motivasi diucapkan orang, misalnya: Si A sangat termotivasi untuk ikut bertanding. Si B kurang motivasi kerjanya. Motivasi si C tinggi sekali. SI D harus dimotivasi agar lebih tekun bekerja, dan masih banyak lainnya.

Sering juga kita melihat seseorang (misal: A) sangat antusias dalam melaksanakan pekerjaannya sementara di pihak lain di bidang pekerjaan yang sama ada orang (misal: B) yang bekerja biasa-biasa saja bahkan terkadang seadanya. Apa yang menyebabkan keduanya berbeda dalam mencurahkan tenaga dan pikiran pada pekerjaan yang sama? Motivasinya berbeda. Kita boleh saja mengatakan bahwa factor motivasi adalah penyebab mengapa keduanya bekerja secara berbeda. Kita boleh mengatakan bahwa si A memiliki motivasi tinggi, sedangkan si B hanya memiliki cukup motivasi atau bahkan mungkin rendah.

Lalu apa sebenarnya motivasi kerja itu?

Sudah banyak pakar mendefinisikan motivasi yang dapat kita jumpai di berbagai literatur. Benang merah dari definisi-definisi motivasi yang telah dinyatakan oleh banyak pakar tersebut adalah bahwa motivasi merujuk pada adanya kondisi yang mendorong tindakan individu. Individu yang mempunyai motivasi akan bersedia mencurahkan energi fisik dan mentalnya untuk melakukan pekerjaan. Motivasi dapat juga dirumuskan sebagai perilaku yang mengarah pada tujuan. Hal ini berarti motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan.

Secara matematis motivasi dapat diformulasikan sebagai fungsi dari motif, harapan, dan insentif.

Motivasi = f (motif, harapan, insentif)

Dengan formula di atas kita dapat memprediksi motivasi seseorang, dan juga kita dapat memotivasi seseorang dengan cara memanipulasi dimensi-dimensi motivasi, yaitu motif, harapan, dan insentif. Motivasi berbanding lurus dengan motif, harapan, dan insentif. Motivasi seseorang merupakan interaksi antara motif yang ada dalam dirinya, adanya harapan untuk mencapainya, dan insentif yang disediakan dari lingkungan. Artinya apabila ketiga dimensi ini meningkat maka meningkat pula motivasi individu.

Motif adalah daya atau kekuatan yang ada dalam diri (inner potential) seseorang. Daya inilah yang mengarahkan dan mempertahankan perilaku orang dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Motif merupakan daya penggerak dari dalam individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Dengan demikian dapat dikatakatan bahwa motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motif. Motif ini yang menyebabkan mengapa seseorang berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Motif ini pula yang menyebabkan seseorang berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan, dan yang menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut.

Harapan adalah peluang yang diperkirakan seseorang bahwa kegiatan yang akan dilakukannya dapat mencapai hasil yang diinginkan. Artinya, seseorang akan termotivasi apabila ia menilai pekerjaan yang akan dilakukan memiliki peluang untuk dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat baginya.

Insentif adalah imbalan yang didapat oleh seseorang sebagai balas jasa dari hasil pekerjaan yang telah dilaksanakannya. Apabila seseorang menilai bahwa imbalan tersebut sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab yang telah dilakukannya maka ia akan semakin antusias dalam bekerja. Bentuk insentif bisa berbentuk materi dan juga non materi.

Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki keinginan kuat (motif) untuk mencapai sesuatu, dan terdapat kegiatan atau jalan untuk mencapainya besar (harapan), serta tersedia imbalan (insentif) atas kegiatan yang dilakukan, maka dapat diduga motivasi kerja orang tersebut akan tinggi.

Rabu, Februari 11, 2009

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan (empowerment) adalah kata benda, sedangkan action-nya adalah kata kerja yaitu memberdayakan atau empowering. Kalau ditilik lebih jauh lagi, pemberdayaan atau lebih tepatnya disebut sebagai empowerment merupakan konsep yang lahir dari perkembangan pemikiran dan budaya barat. Substansi dari konsep empowerment adalah emansipasi dan liberalisasi serta penguasaan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan (Pranarka & Moeljarto, 1996).

Implikasi dari adanya emansipasi dan liberalisasi ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pembebasan yakni pembebasan manusia dari sebuah kungkungan kekuasaan yang melingkupinya melalui proses empowerment of the powerless. Dalam konteks ini memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Ini berarti bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemberdayaan masyarakat itu salah satunya adalah bagaimana merubah mind set seseorang dari perasaan tidak mampu, tidak bisa dan tidak mungkin menjadi merasa mampu, bisa dan sangat mungkin untuk melakukan perubahan. Adanya pencerahan pada masyarakat akan kekuatan dan potensi yang dimiliki dapat memberikan kesadaran bersama bahwa perubahan menuju kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan.

Dengan demikian pemberdayaan dapat dilihat sebagai proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin. Sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan mandiri dalam melaksanakan kehidupan. Berdasarkan beberapa hal di atas dapat dimaknai bahwa setelah munculnya kesadaran atas potensi dan kemampuan untuk meningkatkan derajat maka tumbuhlah semangat untuk melakukan perubahan, mengingat perubahan ini adalah sebuah proses sekaligus sebuah tujuan.

Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat

Upaya memberdayakan masyarakat pada prinsipnya dapat dilakukan dengan empat pendekatan utama, yaitu komunikasi, informasi, edukasi (KIE) dan advokasi. Komunikasi adalah upaya membangun hubungan relasional dua arah yang setara dengan masyarakat yang akan diberdayakan sehingga masyarakat yang diberdayakan menjadi lebih terbuka dan mampu mengekspresikan apa yang dirasakannya, mampu mengungkapkan pendapatnya, mampu berkreasi dan berinovasi. Informasi adalah penyediaan berbagai berita dan keterangan serta informasi penting yang dibutuhkan masyarakat untuk membangun kapasitas diri mereka. Edukasi adalah berbagai bentuk upaya pendidikan baik formal dan non formal yang diperlukan oleh masyarakat yang diberdayakan sehingga mereka memiliki kapasitas yang memadai untuk membangun dirinya dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. KIE dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya melalui penyuluhan, penerangan, pelayanan. Media massa dan berbagai teknologi informasi dapat berperan secara efektif sebagai sarana KIE. Sedangkan, advokasi berarti membela atau mendampingi masyarakat yang tidak atau belum berdaya, dan juga bersama-sama dengan mereka melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara sistematis dan strategis.

Elemen-Elemen Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Bartle (2007) terdapat 16 (enam belas) elemen yang harus dikedepankan dan menjadi tujuan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat, yaitu:

  1. Mendahulukan kepentingan umum (Altruisme). Tingkat kesiapan individu mengorbankan kepentingan sendiri untuk kepentingan seluruh masyarakat (seperti kedermawanan, rasa kemanusiaan, kebanggaan sebagai anggota masyarakat, saling mendukung, perduli, persahabatan, persaudaraan).
  2. Nilai bersama (Common Values): Tingkatan dimana anggota masyarakat berbagi nilai, terutama ide-ide atau nilai untuk kepentingan bersama sebagai pengganti kepentingan anggota per anggota masyarakat.
  3. Layanan masyarakat (Communal Service): Penyediaan fasilitas dan layanan (seperti jalan, pasar, air minum, pendidikan, layanan kesehatan), pemeliharaan dan perbaikan, kesinambungan, dan kemudahan bagi semua anggota masyarakat untuk mengakses fasilitas dan layanan yang tersedia.
  4. Komunikasi (Communications): Adanya komunikasi yang baik di antara anggota masyarakat, dan diantara anggota masyarakat dengan lingkungan luarnya. Dimensi komunikasi meliputi adanya jalan, metode elektronika (seperti telefon, radio, tv, internet), media cetak (Koran, majalah, buku), jaringan kerja, bahasa yang dapat dimengerti, kemampuan tulis baca dan keinginan dan kemampuan berkomunikasi (yang dinyatakan secara bijaksana, diplomasi,kemauan untuk mendengarkan dan membicarakan).
  5. Percaya diri (Confidence): Meskipun diekspresikan secara individual, rasa percaya diri harus tersebar diantara semua anggota masyarakat. Masyarakat yang penuh rasa percaya diri tidak akan bergantung pada pihak luar, tidak pasrah, tidak masa bodoh, mampu memperjuangkan haknya dan memiliki visi.
  6. Kontekstual (Politik dan Administrasi); Context (Political and Administrative): Masyarakat akan semakin kuat, berdaya dan mampu mempertahankan dirinya apabila didukung oleh lingkungan dan situasi yang mampu memberikan penguatan tersebut. Lingkungan dan situasi yang mendukung tersebut meliputi lingkungan dan situasi politis (termasuk nilai dan sikap pemimpin nasional, hukum dan legislative) dan lingkungan administrasi (sikap dari pegawai/pelayan publik, peraturan dan prosedur serta kebijakan pemerintah).
  7. Informasi (Information): Tidak sekedar memiliki dan menerima informasi, namun yang lebih penting adalah kemampuan untuk mengolah dan menganalisa informasi, adanya kesadaran/kepedulian, pengetahuan dan kebijaksanaan yang terdapat diantara tokoh-tokoh kunci masyarakat dan dalam kelompok secara keseluruhan. Jika informasi dapat menjadi lebih efektif dan berguna, tidak hanya sekedar banyaknya saja, maka masyarakat dapat menjadi lebih kuat dan berdaya.
  8. Intervensi (Intervention): Pola intervensi yang dilakukan harus ditujukan untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas masyarakat, harus menantang masyarakat agar dapat menjadi lebih kuat, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Intervensi sedapat mengkin harus melepaskan diri dari tujuan charity, karena charity pada umumnya menciptakan ketergantungan.
  9. Kepemimpinan (Leadership): Seorang pemimpin dalam suatu masyarakat memiliki kekuatan, pengaruh, dan kemampuan untuk menggerakkan anggota-angota masyarakat. Pemimpin harus memiliki keahlian, kemauan, kejujuran dan beberapa karisma. Pemimpin harus dapat mendengarkan dan mengakomodasi keinginan masyarakat secara keseluruhan. Semakin efektif kepemimpinan seseorang maka semakin kuat masyarakatnya.
  10. Jaringan kerja (Networking): Hal ini berkaitan dengan Tidak hanya “apa yang anda ketahui” tetapi yang lebih penting adalah “siapa yang anda ketahui” dapat menjadi sebuah sumber untuk menguatkan dan memberdatakan masyarakat. Anggota-anggota masyarakat diharap mampu untuk membangun hubungan yang bermanfaat antar angota masyarakat dan dengan pihak lain di luar masyarakat, yang dapat membuat mereka berdaya. Jalina kerja yang efektif dapat menjadi sumber semangat yang akan memperkuat masyarakat secara keseluruhan.
  11. Organisasi (Organization): Tingkatan dimana para anggota masyarakat memandang dan mengorganisasikan dirinya sebagai individu-individu yang memiliki peran dalam mendukung keseluruhan masyarakat. Elemen ini meliputi bagaimana membangun integritas organisasi, struktur, prosedur, proses pengambilan keputusan, efektifitas, pembagian tenaga kerja dan kelengkapan peran dan fungsi.
  12. Kekuatan politik (Political Power): Tingkatan dimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan baik di tingkat desa, regional maupun nasional. Setiap individu memiliki kekuatan-kekuatan yang beragam yang saling melengkapi dalam suatu suatu masyarakat yang pada akhirnya mewarnai kekuatan politik masyarakat tersebut dan hal ini dapat memengaruhi dan memberikan warna bagi daerah dan nasional. Semakin sering kekuatan dan pengaruh yang ada dimasyarakat diterapkan maka akan semakin kuat masyarakat tersebut.
  13. Keterampilan (Skills): Kemampuan yang ada pada individu akan memberikan sumbangan yang signifikan bagi masyarakat. Dengan adanya kemampuan ini masyarakat akan mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Kemampuan ini meliputi: kemampuan teknis, kemampuan manajemen, kemampuan berorganisasi, kemampuan mengerahkan. Semakin banyak keterampilan (baik individu maupun kelompok) yang diperoleh dan dimanfaatkan oleh masyarakat, maka semakin berdaya masyarakat tersebut.
  14. Kepercayaan (Trust): Tingkat kepercayaan dari masing-masing anggota masyarakat tehadap sesamanya, khususnya pemimpin dan pelayan-pelayan masyarakat (public servants). Tingkat kepercayaan ini akan merefleksikan tingkat integritas (kejujuran, ketergantungan, keterbukaan, transparansi, kepercayaan dan penghargaan) yang ada dalam suatu masyarakat.
  15. Kesatuan (Unity): Perasaan bersama dan berbagi sebagai suatu entitas masyarakat. Meskipun dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan (agama, kelas, status, penghasilan, usia, jenis kelamin, adat, suku), masyarakat saling memberikan toleransi dan menghargai atas perbedaan tersebut dan memiliki kemauan untuk saling bekerjasama dan bekerja bersama-sama karena adanya suatu rasa kesamaan tujuan atau visi, dan adanya nilai bersama.
  16. Kesejahteraan (Wealth): Tingkat dimana masyarakat secara keseluruhan memiliki kontrol terhadap sumber daya potensial dan sumber daya actual, dan terhadap produksi serta penyaluran barang dan jasa yang bermanfaat, memiliki akses terhadap lembaga-lembaga keuangan dan non keuangan. Semakin sejahtera/kaya suatu masyarakat, maka akan semakin kuat atau berdaya masyarakat tersebut.