Minggu, Februari 15, 2009

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan


Undang Undang No. 41 Tahun 1999, menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Dengan demikian hutan hendaknya diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga dan dipertahankan kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Hal tersebut tertuang dalam bentuk visi pembangunan kehutanan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Pengelolaan hutan pada masa lalu lebih banyak diserahkan kepada para pemilik modal besar (perusahaan). Perusahaan tersebut mendapat legitimasi dari pemerintah dengan diberikannya Hak Penguasaan Hutan (HPH). Namun sayangnya pengawasan terhadap jalannya proses pengelolaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang HPH ini tidak taat azas, sehingga terjadilah degradasi hutan yang dilakukan secara sistematis. Disamping itu, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang aktivitas hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan oleh para pemegang HPH hanya dijadikan penonton, tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan tersebut. Bahkan terkadang keberadaan perusahaan pemegang HPH hanya menjadikan mereka sebagai kaum marjinal.

Pada saat belum adanya perusahaan, masyarakat sekitar hutan sudah terbiasa mengelola hutan secara tradisional dan masih bisa mengandalkan hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, namun setelah muncul perusahaan, akses mereka dibatasi bahkan diputus. Akibatnya, kondisi kehidupan masyarakat tersebut semakin terpuruk yang semakin melemahkan kapabilitas mereka dalam menunjukkan perannya dalam pengelolaan sumber daya hutan. Akibatnya, masyarakat merasa tidak diperdulikan dan tidak dihargai sehingga pada gilirannya dalam diri mereka hilang sense of belonging dan sense of responsibility terhadap hutan.

Lahirnya era reformasi telah membuat banyak perusahaan pemegang HPH yang berhenti beroperasi. Perusahaan-perusahaan tersebut dilikuidasi oleh pemerintah baru, karena terbukti telah mengeksploitasi hutan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah sustainability. Perusahan-perusahaan pemegang HPH tersebut telah mengeksploitasi hutan secara tidak bertanggung jawab atau tidak sesuai dengan wewenang yang telah diberikan kepada mereka.

Sepeninggalan HPH, masyarakat sekitar hutan merasa terbebas dari tekanan yang sebelumnya menghimpit mereka. Mereka merasa tidak ada lagi pihak yang menghalangi mereka untuk memanfaatkan hutan. Apabila pemanfaatan ini tidak dilakukan dengan mengedepankan asas kelestarian hutan, maka kerusakan hutan yang sebelumnya dilakukan oleh persahaan.akan berlanjut, dengan berganti pelaku, yaitu masyarakat. Hal ini mungkin dapat dipahami, karena sebagai akibat pola memarjinalkan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH, masyarakat sekitar hutan tersebut memiliki kapasitas/kemampuan yang lemah dalam pengelolaan hutan, serta telah memudarnya sense of belonging dan sense of responsibility. Fenomena seperti ini menampak di berbagai wilayah di Indonesia.

Pada saat ini, pemerintah telah menyadari pentingnya eksistensi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan lestari. Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi ujung tombak bagi kelestarian hutan. Perilaku mereka dalam berinteraksi dengan hutan dapat diarahkan pada terciptanya hutan lestari. Oleh karena itu, berbagai program pembangunan kehutanan yang diluncurkan pada saat ini menegdepankan pendekatan resource based management yang berbasis pada forest community based development. Paradigma baru ini merupakan model pembangunan yang berpusat pada rakyat atau masyarakat sekitar hutan. Model pembangunan ini mengajak masyarakat sekitar hutan berperan serta dalam pengelolaan hutan, dengan mengedepankan prakarsa dan kekhasan masyarakat. Bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat diperlukan agar aspek kelestarian hutan tetap terjaga namun kesejahteraan masyarakat tercapai. Namun demikian, lemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan menyebabkan mereka masih belum mampu secara optimal berperan serta dalam pengelolaan hutan, oleh karena itu oleh pemerintah dan pihak lain yang peduli akan kondisi masyarakat sekitar hutan telah melakukan berbagai upaya pemberdayaan pada mereka.

Berbagai bentuk upaya pemberdayaan telah diluncurkan pemerintah dalam bentuk program-program berbasis masyarakat seperti program social forestry, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, dan lain sebagainya Kegiatan-kegiatan tersebut pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan mengikutsrtakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satu alasan penting kenapa diperlukan, tidak hanya pandangan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut berarti memberikan kesempatan penduduk lokal memperoleh manfaat dari hutan, tetapi lebih kepada menciptakan dan memelihara sistem praktek kehutanan yang berkelanjutan secara ekologi dan secara ekonomi.

Dalam prakteknya, masih banyak program berbasis masyarakat dijalankan atas dasar konsep/pemahaman yang belum taat azas sehingga pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi tidak tepat, akibatnya anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi berdaya dan belum mampu menjadi partisipan aktif pembangunan kehutanan. Kebanyakan yang terjadi adalah masyarakat hanya diajak untuk melegitimasi suatu program tanpa mengetahui persis apa yang dilakukan dan hasil apa yang telah dicapai. Program pemberdayaan harus mengedepankan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai tahap penilaian kegiatan yang dikembangkan oleh dan untuk mereka. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan positip, di mana kesadaran kritis dan kapasitas masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat mengelola dan melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan.


Tidak ada komentar: