…….atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
(Ebiet G. Ade)
(Ebiet G. Ade)
Potongan syair lagu di atas, mengekspresikan fenomena-fenomena alam yang akhir-akhir ini tengah terjadi. Alam sudah tidak ramah terhadap kita (manusia). Alam sudah tidak ingin bersahabat dengan kita, bahkan alam menunjukkan kemurkaannya. Tadi siang saya menyaksikan di salah satu stasiun televisi swasta yang memberitakan adanya tanah longsor di Karang Anyar, sungai Bengawan Solo yang meluap menyebabkan banjir bandang, serta adanya air bah dan tanah lonsor dari gunung ringgit yang menerpa warga Situbondo, dan banjir di Makassar, ditambah lagi dengan adanya kebakaran hutan yang masih berlangsung di Riau, dan masih banyak lagi yang merupakan wujud dari ketidakramahan, ketidak bersahabatan dan kemarahan alam. Tidak sedikit korban yang timbul, baik berupa harta maupun jiwa, akibat ketidak bersahabatan alam.
Siapakah yang salah, sehingga persahabatan kita dengan alam menjadi tidak seimbang? Seandainya rumput bisa bicara, maka pertanyaan yang kita tujukan pada rumput tersebut akan dijawabnya dengan lantang......MANUSIA..... MANUSIA yang salah.
Ya.....memang manusia yang salah. Manusia yang menyebabkan alam murka, manusia yang menyebabkan alam tidak lagi mau menunjukkan persahabatan. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia. Manusia merupakan khalifah di muka bumi, yang seharusnya dapat memberikan rahmatan lil ’alamin, memberikan kebaikan dan manfaat bagi segala makhluk yang ada di bumi ini. Namun karena keserakahan, sebagian dari mereka menjadi makhluk yang tidak memberikan manfaat, bahkan menimbulkann deteriorasi pada alam ini. Mereka mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan kemampuan daya dukung alam tersebut, terjadilah degradasi lahan, deforestrasi, polusi udara dan air, akibatnya manusia itu sendiri yang menuai dampaknya seperti suhu bumi yang semakin meningkat (efek rumah kaca), tanah longsor, kekurangan air (kekeringan) di musim kemarau dan banjir di musim hujan.
Sebenarnya, sumber daya alam yang tersedia di bumi ini CUKUP untuk SEMUA ORANG, bila dikelola dengan baik, tetapi ternyata tidak pernah cukup untuk SATU orang yang SERAKAH. Seandainya saja, semua manusia di muka bumi ini bersifat serakah niscaya kehancuran total yang terjadi. Untungnya, prosentase manusia-manusia yang serakah tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan manusia yang masih memiliki nurani dan kepedulian terhadap alam. Masih ada manusia-manusia yang peduli terhadap lingkungannya. Pertanyaannya sekarang adalah, dimanakah posisi atau keberadaan kita?
BELAJARLAH DARI KEJADIAN
Manusia yang cerdas dan bijak adalah manusia yang mau belajar dari apa yang terjadi, dan dapat mengambil hikmah dari kejadian-kejadian tersebut untuk kemudian dijadikan bahan analisis dan intropeksi diri demi perbaikan di masa depan. Ketidak bersabatan alam harus disikapi dengan pikiran terbuka dan jujur, bahwa, kita,manusia yang sebenarnya kurang bijak dalam berinteraksi dengan alam. Yang terpenting sekarang adalah memperbaiki hubungan tersebut, yaitu bagaimana agar alam kembali mau bersahabat.
Hubungan antara manusia dengan alam harus mengedepankan keseimbangan. Manusia diharapkan dapat memberikan kontribusi (manfaat) yang sebesar-besarnya kepada alam, karena pada hakekatnya manusia dalam hidupnya bergantung pada dan dipengaruhi oleh alam. Alam berhak diperlakukan dengan adil dan bijaksana, sehingga manusia akan memperoleh manfaat positip dari alam sebagai implikasi dari perlakuan adil dan bijaknya kepada alam. Artinya, kontribusi manusia kepada alam dan perlakuan adil itu (hak) diperlukan agar manusia berbahagia dan hidup dengan mutu/nilai hidup yang setinggi mungkin.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam merupakan aset utama bagi kelangsungan hidup manusia. Disadari bahwa, karena kepentingan hidup manusia tersebut maka sumber daya alam dieksploitasi. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, pada dasarnya sumber daya alam yang ada di bumi ini mempunyai daya dukung yang terbatas, baik dalam dimensi waktu maupun ruang. Oleh karena itu dalam pengeksplotasian sumber daya alam ini perlu diperhatikan kelestariannya demi kemaslahatan umat manusia di masa datang. Yakin (1997) menyatakan perlu dilakukan alokasi dinamis dari waktu ke waktu terhadap sumber daya alam untuk menjamin alokasi sumber daya alam yang sustainable. Artinya, kegiatan eksploitasi sumber daya alam ini perlu diikuti dengan kegiatan perbaikan, peremajaan, pertumbuhan, dan pemeliharaan dengan mempertimbangkan waktu dan ruang pelaksanaannya. Kerusakan yang sekarang telah terjadi sebaiknya segera diperbaiki, kegiatan eksploitasi yang berlebihan segera dihentikan sehingga bencana atau kemurkaan alam tidak berlanjut.
PERLU PERUBAHAN MENTAL MANUSIA INDONESIA
Bila dikatakan bahwa manusia atau masyarakat Indonesia belum mengetahui pentingnya kelestarian alam, hal itu tidaklah benar. Yang benar adalah sebagian dari manusia Indonesia belum peduli akan pentingnya pelestarian alam. Mereka sebenarnya sudah tahu dan sadar akan dampak, apabila terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Namun demikian, walaupun mereka tahu bahwa tindakan tersebut keliru tetapi demi ”perjuangan hidup”, terjadilah apa yang disebut dengan double morale standart atau sifat ambivalen, yaitu tahu dan sadar bahwa mereka salah tetapi tetap saja praktek tidak peduli lingkungan dilanjutkan. Hal ini lebih diperparah dengan terlibatnya beberapa oknum birokrat. Karena merasa memiliki otoritas dalam pemberian ijin pengelolaan sumberdaya alam, oknum tersebut menyalahgunakan posisinya, dimana seharusnya mereka berfungsi dan berperilaku sebagai abdi/pelayan masyarakat ternyata berperilaku sebaliknya, yaitu “minta dilayani”. Bentuk keinginan untuk dilayani ini termanifestasi dalam wujud praktek suap, korupsi dan konspirasi, sehingga yang terjadi adalah pengeksloitasian sumberdaya alam oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab tanpa adanya kontrol yang tegas.
Dengan demikian, yang perlu disoroti dari aspek manusia adalah mentalnya. Perubahan mental manusia Indonesia sangatlah urgent pada saat ini. Perubahan mental atau merubah mental memang bukanlah pekerjaan yang sifatnya instant, namun dibangun melalui proses yang panjang dan berangkat dari good will/intention, good sense, dan good morale dari semua pihak.
Tidak semua orang memilki good will/intention, good sense, dan good morale, untuk itu perlu seperangkat instrumen pengendalian sosial yang secara tegas mengatur aktivitas kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan alam. Muara dari instrumen ini adalah secara gradual terbangunnya good will/intention, good sense, dan good morale masyarakat Indonesia. Instrumen tersebut dapat berwujud aturan atau hukum yang di dalamnya terdapat ancaman dan sanksi bagi yang melanggar, dan/atau berwujud pranata-pranata sosial yang dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Artinya, perlu pendekatan yang dilakukan dalam rangka merubah mental masyarakat baik secara preventif maupun represif. Pendekatan mana yang terbaik untuk diterapkan bergantung pada terhadap pihak mana pendekatan ini diberlakukan dan dalam keadaan yang bagaimana.
Upaya preventif yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang peduli lingkungan, terutama pemerintah, adalah dengan cara persuasif yaitu memberikan penyuluhan atau sosialisasi secara berkesinambungan dalam rangka menggugah kepedulian masyarakat agar mau berpartisipasi dalam menjaga keseimbangan interaksi antara manusia dengan alam. Perlu penggunaan teknik pengendalian sosial yang dikenal dengan terminologis pervasion, yaitu pesan pentingnya kelestarian alam diulang-ulang penyampaiannya sedemikian rupa, dengan harapan bahwa hal tersebut masuk dalam aspek bawah sadar seseorang. Dengan demikian orang tadi akan mengubah sikapnya, sehingga sesuai dengan maksud pesan yang ada dalam penyampaian yang diulang-ulang tersebut.
Upaya kedua adalah represif yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan akibat ulah manusia. Cara yang dapat dilakukan dengan pendekatan ini adalah dengan paksaan (coersive) seperti ancaman dan pemberian sanksi. Pada pendekatan ini, hukum positiplah yang berperan. Para penegak hukum harus obyektif dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, sehingga walaupun terkesan dipaksakan diharapkan akan terjadi perubahan pola sikap, perilaku atau mental masyarakat yang tidak lagi mengesampingkan kelestarian alam. Perlu dilakukan sosialisasi hukum yang berlaku, sehingga tercipta situasi dan kondisi compulsion (pemaksaan tidak langsung). Compulsion adalah upaya menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga seseorang terpaksa taat atau mengubah sikapnya, yang secara tidak langsung menghasilkan kepatuhan. Dengan mengetahui adanya ancaman dan sanksi hukum maka masyarakat tahu bahwa kerusakan alam yang sengaja dilakukan oleh mereka akan berdampak yuridis bagi diri mereka, sehingga masyarakat tidak berani melakukan hal-hal yang melanggar. Walaupun pada awalnya merupakan sebuah keterpaksaan, namun karena telah dikondisikan oleh aturan hukum seperti itu, maka lambat laun akan terjadi ketaatan yang diharapkan dapat terinternalisasi dalam diri masyarakat.
1 komentar:
kunjungan perdana
Posting Komentar