Jumat, Januari 30, 2009

DUA PELAJARAN HIDUP DARI PERILAKU SEMUT

Segala fenomena yang ada di bumi ini merupakan gudang ilmu bagi manusia yang berakal. Sebagaimana firman Allah “Tidaklah Aku ciptakan sesuatu dengan Sia-sia”. Hal tersebut berarti bahwa, manusia diminta untuk selalu merenung dan memikirkan tentang ciptaan Allah, semua itu mengandung pelajaran yang sangat mendalam untuk digunakan sebagai kompas kehidupan. Salah satu fenomena alam (fauna) yang dapat kita ambil hikmahnya adalah perilaku SEMUT. Pernahkan kita memperhatikan dan kemudian merenungkan hikmah yang ada dibalik perilaku semut? Berikut akan dipaparkan sebuah perilaku semut, dan fakta yang terjadi. Dari fakta tersebut kita kemudian mengambil hikmah atau pelajaran.

Pernahkah kita perhatikan, seekor semut yang berjuang merangkak naik ke atas sebuah batu besar atau sebuah pohon? Terdapat dua hikmah/pelajaran yang dapat kita petik dari jawaban pertanyaan tersebut, yaitu:

Pelajaran Pertama

Fakta: Semut yang sedang merangkak naik ke atas batu besar atau sebuah pohon terkadang terjatuh, namun perhatikanlah bahwa semut tersebut kemudian akan merangkak lagi, dan bila jatuh kembali maka ia akan bangun lagi untuk merangkak kembali, lalu terjatuh lagi. Hal ini terjadi sampai berulangkali, namun si semut tetap berusaha dan berusaha, sehingga akhirnya ia berhasil sampai ke atas batu besar atau naik ke atas pohon yang diinginkan dan mendapatkan apa yang dicari tanpa merasa lelah dan bosan.

Pelajaran yang dapat dipetik: Siapa saja yang ingin sukses dalam pekerjaannya, ingin sukses dalam hidupnya, dan ingin sukses dalam mencapai tujuan yang hendak dicapainya, harus memiliki tekad atau semangat juang dan kesabaran yang tinggi. Orang tidak boleh gampang menyerah dan mudah putus asa. Ia harus selalu berusaha secara berulang-ulang dan terus menerus, sampai ia berhasil menggapai tujuan yang diinginkan.

Pelajaran Kedua

Fakta: Perhatikanlah, apabila jalan yang akan dilalui semut untuk naik ke atas batu atau pohon terhalang, maka semut akan berusaha lewat dari arah kanan dan kiri, namun jika ia tetap kesulitan untuk berjalan maju, maka semut tersebut akan berhenti sebentar, kemudian kembali lagi dengan sebuah tenaga yang jauh lebih kuat dibanding yang pertama. Mungkin ia akan menjauhi jalan pertamanya yang sulit karena ada beberapa rintangan, namun ia akan tetap kembali berjalan menuju arah yang sama dengan mencari jalan lain.

Pelajaran yang dapat dipetik: Banyak hambatan yang akan dihadapi dalam mencapai kesuksesan hidup, namun hambatan bukan berarti kegagalan. Hambatan mengharuskan manusia mampu berpikir dengan cerdik dan menggunakan akalnya untuk mencoba mencari jalan keluar atau melewati hambatan tersebut. Berbagai kemungkinan alternatif pemecahan masalah dan strategi pemecahan masalah harus disusun untuk kemudian dipilih mana yang terbaik. Hal ini harus dilakukan dengan keuletan, kesabaran, tekad kuat, sikap pantang menyerah dan berusaha tanpa mengenal kata lelah dan bosan.

Kesimpulan

Fakta: Hewan semut memiliki kekuatan yang luar biasa di dalam merealisasikan tekadnya untuk meraih apa yang diinginkan, ia tidak pernah memiliki rasa bosan dan putus asa.

Pelajaran hidup yang dapat dipetik: Cari dan raih apa yang menjadi harapan dan tujuan hidup kita, dengan tekad juang yang tinggi dan berpikir cerdik. Jangan pernah berkeluh kesah dan bosan dari usaha meraih apa yang kita inginkan atau harapkan. Karena penyakit orang yang ingin mencari dan meraih sesuatu adalah rasa bosan.

Apa "TUHAN" itu ada..........????

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri Paman Sam kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untk mencarikan seorang Guru Agama, Kyai, atau siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya, orang tua pemuda itu mendapat orang tersebut.

Pemuda: Anda siapa? Dan apakah anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?

Kyai: Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.

Pemuda: Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.

Kyai: Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.

Pemuda: Saya punya 3 pertanyaan
1. Kalau memang Tuhan ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya.
2. Apakah yang dinamakan takdir?
3. Kalau syetan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke dalam neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syetan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berpikir sejauh itu?

Tiba-tiba Kyai tersebut menampar pipi si pemuda dengan keras.

Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya

Kyai: Saya tidak Marah......Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.

Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti !!

Kyai: Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit.

Kyai: Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?

Pemuda: Ya....

Kyai: Tunjukkan pada saya wujud sakit itu !

Pemuda: Saya tidak bisa !

Kyai: Itulah jawaban pertanyaan pertama. Kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.

Kyai: Apa tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?

Pemuda: Tidak....

Kyai: Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah amparan dari saya hari ini?

Pemuda: Tidak.....

Kyai: Itulah yang dinamakan Takdir.

Kyai: Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar Anda?

Pemuda: Kulit dan daging.

Kyai: Terbuat dari apa pipi Anda?

Pemuda: Kulit dan daging.

Kyai: Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda: Sakit....

Kyai: Walaupun syetan terbuat dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan berkehendak maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syetan.


Sumber: Majalah SILVIKA edisi 42/XII/2004, Pusdiklathut

Kamis, Januari 29, 2009

Program Pembangunan Masyarakat, Sudahkah Taat Azas?

Pada saat ini banyak program pembangunan diluncurkan oleh pemerintah dengan slogan berbasis masyarakat. Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dimaksud dengan berbasis masyarakat? Apakah kegitan-kegiatan dalam program tersebut "katanya" diperuntukan bagi masyarakat namun peran masyarakat hanya sebagai pelengkap penderita dimana segala kegiatan program atau dominan kegiatan dilakukan oleh pemerintah, ataukah kegiatan-kegiatan tersebut menempatkan masyarakat sebagai subyek aktif yang turut serta dalam kegiatan-kegiatan program mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan mengevaluasi kegiatan?

Pada konteks yang pertama masyarakat dianggap sebagai objek. Kegiatan yang dilakukan cenderung ditekankan pada upaya work for people. Sedangkan pada konteks yang kedua penekanannya pada upaya work with people, di mana masyarakat ditempatkan sebagai mitra, ditempatlan sebagai pelaku utama pembangunan.

Paradigma work for people akan menyebabkan masyarakat terbiasa menerima bantuan, segala sesuatu dikerjakan oleh luar masyarakat (pemerintah). Walaupun tujuannya untuk mensejahterakan dan membangun masyarakat namun proses pencapaiannya tidak memberdayakan potensi masyarakat atau tidak memandirikan masyarakat. Pada konteks ini, masyarakat diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki kemampuan apa-apa, sehingga perlu dibantu. Apabila program pembangunan seperti ini dilanjutkan, maka yang akan terjadi adalah terbentuknya masyarakat yang ”malas”, masyarakat yang selalu bergantung pada bantuan, masyarakat yang tidak memiliki kapasitas, masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk terlepas dari belenggu masalah yang melilitnya.

Paradigma work with people menempatkan masyarakat sebagai subjek aktif. Masyarakat dilibatkan sebagai mitra kerja dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Masyarakat diajak duduk bersama, berdialog, dan sama-sama memikirkan upaya-upaya perbaikan kualitas kehidupannya serta bekerja bersama melalui berbagai program pembangunan yang ada. Program pembangunan masyarakat dengan basis work with people akan melahirkan masyarakat yang mampu menganalisis potensi dan masalah yang ada disekitarnya, serta mampu mencari alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah yang ada berdasarkan potensi yang dimilikinya.

Pertanyaan yang muncul berikutnya: berdasarkan paradigma yang mana program pembangunan berbasis masyarakat yang dikedepankan oleh pemerintah kita? Untuk menjawabnya, paling tidak ada tiga prinsip penting yang perlu diketahui bahwa suatu program disebut sebagai program pembangunan masyarakat (community development) atau berbasis masyarakat: yaitu:

  1. Berorientasi pada self help masyarakat. Program pembangunan harus di arahkan pada upaya bagaimana masyarakat dapat mandiri, bagaimana masyarakat mampu menolong dirinya sendiri dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi. Artinya, bahwa program pembangunan masyarakat harus di arahkan pada upaya pemberdayaan, harus di arahkan pada upaya membangun kapasitas masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengelola potensi yang dimilikinya menjadi suatu kekuatan yang dapat digunakan untuk mencari berbagai alternatif pemecahan masalah dan mampu membuat keputusan yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
  2. Berdasarkan pada felt need masyarakat. Program pembangunan masyarakat harus bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat akan terlibat aktif dalam program tersebut apabila program yang diluncurkan menyentuh kebutuhan mereka. Program-program pembangunan yang tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat biasanya tidak akan berjalan dengan optimal. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi kebutuhan sebelum sebuah program diluncurkan. Hal ini perlu melibatkan masyarakat untu menyampaikan kebutuhannya. Atau apabila ada sesuatu hal yang sebenarnya menjadi kebutuhan tapi belum dirasakan oleh masyarakat, maka agen pembangunan harus mampu membuat masyarakat merasakan atau membangkitkan perasaan masyarakat bahwa hal tersebut merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi.
  3. Program pembangunan harus dilaksanakan secara terintegrasi atau terpadu yang meliputi dimensi atau aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan, serta personal dan spritual. Program pembangunan yang hanya mengacu pada satu aspek saja akan berjalan timpang atau tidak optimal. Oleh karenanya, keenam aspek tersebut harus selalu ada dalam kegiatan pembangunan masyarakat, walaupun mungkin penekanannya akan berbeda-beda di setiap daerah tergantung pada tingkat urgensinya.
Suatu program dikatakan pembangunan masyarakat jika ketiga prinsip ini diterapkan, jika tidak, maka program tersebut memang untuk membangun masyarakat (development of communities) namun bukan pembangunan masyarakat (community development). Dengan demikian, dari ketiga prinsip di atas dapat ditarik benang merah bahwa pembangunan berbasis masyarakat atau pembangunan masyarakat harus didasarkan pada upaya work with people.

Mengulang pertanyaan sebelumnya: apakah program-program pembangunan masyarakat yang diluncurkan pemerintah saat ini sudah taat azas atau telah sesuai dengan tiga prinsip yang telah disebutkan di atas sehingga dapat dikatakan sebagai community development?????!!!!.........

Rabu, Januari 28, 2009

Mengembangkan Kompetensi Profesional Widyaiswara

Globalisasi telah membuat lingkungan selalu bergelombang bagaikan kerasnya ombak di samudra, yang selalu mengguncang dan menggoyang perahu yang berada ditengah samudra tersebut, dan terus-menerus berubah serta mempengaruhi kelangsungan hidup apa saja baik yang berada di atas samudra, maupun yang berada di dalam perahu tersebut. Dalam konteks organisasi, globalisasi telah menciptakan lingkungan vertikal di mana berbagai organisasi harus bertanding/berkompetisi di atas perahu yang terus bergoyang dengan keras dan kencang.


Era globalisasi yang bercirikan persaingan tersebut akan ditentukan oleh kualitas SDM. Kalau kita boleh sepakat bahwa kualitas bangsa ini akan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Demian pula dalam konteks organisasi, maka kualitas dan kompetensi para SDM yang menjadi asset organisasi, termasuk SDM organisasi pemeritah yaitu PNS perlu terus ditingkatkan. Lembaga diklat merupakan salah satu pintu utama untuk memasukinya. Human investment melalui diklat bermutu, akan melahirkan SDM aparatur bermutu yang pada akhirnya diharapkan akan membawa Indonesia untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain.



Salah satu komponen diklat yang mempunyai peranan penting adalah pengajar atau widyaiswara. Widyaiswara memiliki tugas pokok, sebagaimana tercantum dalam Peraturan MENPAN No. PER/66/M.PAN/6/2005, yaitu mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS. Artinya, selain pada peserta pelatihan itu sendiri, keberhasilan peserta pelatihan dalam menyerap, mengerti dan memahami materi yang disampaikan dalam sebuah kegiatan pelatihan sebagian besar terletak di pundak widyaiswara.



Semua profesi dituntut profesionalis di bidangnya. Artinya bekerja menurut kaidah profesi. Tuntutan tersebut merupakan sebuah keniscayaan dalam birokrasi ketika tuntutan pelayan birokrasi semakin meningkat dalam kerangka good governance (Fanggidae, 2008). Dengan demikian, kesuksesan suatu program pengajaran diklat juga akan sangat ditentukan oleh profesionalisme yang dimiliki oleh widyaiswara. Widyaiswara yang profesional akan memiliki kompetensi atau kemampuan mengajar dan kemampuan memfasilitasi yang unggul dalam suatu proses pembelajaran/pelatihan. Widyaiswara yang kompeten akan lebih mampu membawa dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif serta akan lebih mampu mengelola kelasnya dan membawa peserta diklat pada pencapaian hasil belajar yang optimal. Seandainya diklat dapat diasosiasikan sebagai sebatang pohon yang indah maka WI lebih tepat diibaratkan sebagai akar pohon tersebut. Kekuatan dan kesuburan “pohon diklat” amat tergantung kepada kualitas akarnya.



Pertanyaan yang muncul sekarang adalah sudah profesionalkah kita sebagai widyaiswara? Apakah kita sebagai WI telah menjadi akar yang kuat bagi pohon diklat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, widyaiswara perlu lagi menjawab pertanyaan berikut, yaitu: sudahkah kita sebagai widyaiswara mau dan mampu untuk meningkatkan profesionalisme dimana didalamnya terdapat upaya untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi profesi?


Kompetensi dan Profesionalisme WI


Kata kompetensi merupakan saduran dari bahasa Inggris ‘Competence’ yang berarti kemampuan atau kecakapan. Menurut Susanto (2003) definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Kompetensi merupakan karakteristik diri yang menjadi pembeda antara performance yang sangat baik dengan performance yang biasa dalam suatu pekerjaan atau organisasi. Ife (1995) menyatakan bahwa secara umum kompetensi dimaknai sama dengan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh seseorang (skills) untuk melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan, Mendiknas dalam Surat Keputusan No. 045/U/2002 menyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu.

Istilah “profesional” berarti a vocation in which professional knowledge of some department a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it (Usman, 1997). Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini, ternyata pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya.

Dari kedua pengertian di atas, terdapat benang merah antara kompetensi dan profesionalisme widyaiswara. Artinya, dalam membahas kompetensi profesi widyaiswara berarti membahas profesionalisme widyaiswara. Untuk melakukan suatu kompetensi, seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, dan sikap. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Ada kompetensi yang lebih tergantung kepada pengetahuan, ada yang lebih tergantung pada proses. Untuk profesi WI, menurut penulis kompetensi harus ditekankan pada kedua kedua wilayah tersebut, artinya WI dituntut untuk berpengetahuan yang up to date serta mampu menciptakan proses pembelajaran yang kondusif dan humanis.

Selanjutnya, untuk mampu mengerjakan pekerjaan yang profesional diperlukan pengenalan terhadap profesinya. Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya karena suatu profesi memerlukan special competence yaitu kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Makin kompleks, kreatif, atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkannya cara yang berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang sama. Oleh karenanya, WI harus benar-benar kompeten dalam menjalankan profesinya. Widyaiswara professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang kewidyaiswaraan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai widyaiswara dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, widyaiswara profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.

Dengan demikian widyaiswara “wajib” mengetahui bagaimana seharusnya mereka mengajar atau memfasilitasi, selain itu widyaiswara harus berupaya secara terus menerus untuk mengembangkan dirinya. Tanggung jawab dalam mengembangkan profesi harus menjadi tuntutan kebutuhan pribadi widyaiswara, karena tanggung jawab mempertahankan dan mengembangkan profesi tidak dapat dilakukan oleh orang lain kecuali oleh widyaiswara itu sendiri.

Widyaiswara harus peka dan tanggap terhadap perubahan, pembaharuan serta IPTEK yang terus berkembang sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan pekembangan zaman. Disinilah tugas widyaiswara untuk berusaha meningkatkan wawasan ilmu pengetahuannya, meningkatkan kualitas pendidikannya (educational grade) sehingga dalam memfasilitasi dan menyampaikan materi kepada peserta diklat mampu mengikuti arus perkembangan atau tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman

Mengiringi perkembangan zaman dan kemajuan IPTEK, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka widyaiswara harus berupaya untuk terus meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kompetensi profesionalismenya. Harus disadari bahwa sebagai fasilitator diklat yang notabene pesertanya adalah orang dewasa (yang biasanya bersifat kritis), maka widyaiswara perlu membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan yang up to date. Terkadang, bahkan sering terjadi, para peserta lebih paham terhadap informasi atau pengetahuan yang sedang “in” (progressing information). Oleh karenanya, dengan selalu bertekad dan berupaya meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki, maka wawasan widyaiswara diharapkan lebih baik dibandingkan peserta diklat atau setidak-tidaknya relatif sama, sehingga kredibilitas widyaiswara itu sendiri dimata peserta diklat dapat terjaga bahkan bisa semakin meningkat.

Setiap individu widyaiswara hendaknya menyadari bahwa mereka dituntut untuk dapat secara mandiri mengembangkan dirinya, agar selalu belajar terus menerus dan berusaha agar dirinya dapat mencapai derajat profesionalisme mengingat tuntutan dan harapan masyarakat serta tantangan pekerjaan yang semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Dr. J. Basuki, M.Psi (ketika masih menjabat Kepala Direktorat Pembinaan Widyaiswara LAN) dalam majalah Interaktif IWI Volume 2, September 2005 bahwa perlu adanya pengembangan Individu widyaiswara yang meliputi: pengembangan wawasan, pengembangan intelektual, pengembangan content expert, pengembangan dan peningkatan kemampuan dan keterampilan transfer expert, dan sikap mental serta prilaku.

Apa yang disampaikan oleh Dr. Basuki tersebut hendaknya menjadi motivasi bagi para widyaiswara agar mereka mau dan mampu secara mandiri mengaplikasikannya artinya tidak perlu menunggu action yang dilakukan oleh lembaga atau intansi di mana widyaiswara tersebut bernaung. Sejalan dengan pendapat Ife (1995) bahwa kompetensi merupakan keterampilan-keterampilan yang perlu dimiliki oleh seseorang, Andrew Singh (dalam Suprayitno, 2006), seorang pakar manajemen dari Singapura, menyatakan bahwa sumberdaya manusia dikatakan berkualitas di era modern ini apabila memiliki enam keterampilan, yaitu: speaking skill, thinking skill interpersonal skill, network skill, growth, dan discipline. Mengadopsi pendapat pakar tersebut, menurut penulis keterampilan-keterampilan tersebut dapat pula diaplikasikan kedalam profesi widyaiswara sebagai berikut:

Speaking Skill (Keterampilan Menyampaikan Gagasan/Berbicara)

Sebagai pengajar, setiap widyaiswara diharapkan memiliki keterampilan berbicara, bagaimana mengungkapkan gagasan dan pendapat dengan baik, serta memberikan pengarahan dengan baik. Keterampilan ini dalam dunia kewidyaiswaraan merupakan kemampuan menyampaikan materi pelajaran dengan baik atau transfer expert. Dengan demikian widyaiswara diharapkan dapat berkomunikasi secara efektif. Untuk itu diperlukan penguasaan tidak hanya keterampilan berkomunikasi secara verbal, tetapi juga secara non verbal, agar dapat mengkomunikasikan ide dengan jelas dan sistematis, dan jika terpaksa melontarkan kritik tidak sampai menyinggung perasaan peserta diklat, serta mampu merangsang audience (peserta diklat) untuk menanggapi usul yang dikemukakan.


Thinking Skill (Keterampilan Berpikir/Intelektual)

Kemampuan untuk mendayagunakan otak dengan optimal. Berpikir merupakan sebuah proses memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan masalah (problem solving), untuk itu diperlukan kemampuan berpikir kreatif, sistematis, integratif, logis/rasional, jernih, dan kritis.

Dengan mengoptimalkan kemampuan berpikir maka para widyaiswara dalam melaksanakan tugasnya diharapkan dapat menjawab dan memecahkan setiap persoalan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas, logis dan kreatif. Para widyaiswara diharapkan mampu menelaah dan meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari suatu realitas eksternal maupun internal.

Interpersonal Skill (Keterampilan Menjaga Hubungan Antarpribadi)

Dalam berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan koordinasi antar widyaiswara dengan peserta diklat, widyaiswara dengan widyaiswara dan antar widyaiswara dengan penyelenggara diklat. Agar koordinasi dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan maka dibutuhkan adanya komunikasi. Dan agar komunikasi berjalan efektif dibutuhkan hubungan interpersonal yang baik. Taylor et. al (Rakhmat 2002) menyatakan bahwa banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara komunikan. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, dan paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan jelek.

Untuk mewujudkan terciptanya hubungan baik, para widyaiswara harus mampu mengembangkan sikap tenggang rasa, membangun kepercayaan antar widyaiswara dengan peserta diklat, widyaiswara dengan widyaiswara dan antar widyaiswara dengan penyelenggara diklat., saling membuka diri, tidak memaksakan kehendak diri sendiri, bersedia menolong dan ditolong, sedapat mungkin mampu meredam timbulnya bibit-bibit konflik dan apabila terjadi konflik mampu mengelola konflik dengan baik sehingga tidak berlarut dan meluas.

Network Skill (Keterampilan Mengembangkan, Membangun Jaringan atau Meluaskan Hubungan Kerja)

Widyaiswara diharapkan berjiwa kosmopolit, yaitu mampu membangun kontak dengan dunia luar organisasi kediklatan. Dengan membangun jaringan ke luar, maka akan bertambah wawasan, pandangan dan pola pikir. Para widyaiswara akan banyak terbantu dalam menyelesaikan berbagai persoalan tertentu dengan adanya informasi-informasi dari luar.

Growth (Keterampilan Mengembangkan Diri)

Para widyaiswara diharapkan, secara sadar, mau dan mampu untuk secara terus menerus mengembangkan diri ke arah yang lebih baik mampu memperlihatkan kemampuan diri secara optimal, dan mampu mendorong diri sendiri untuk mengembangkan kapasitas prestasi secara optimal. Perlu kesadaran yang timbul dari dalam diri untuk mau menjadi manusia pembelajar.


Dicipline (Disiplin)

Ketaatan dan kepatuhan serta kerelaan dalam menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap widyaiswara secara sadar dan sukarela harus taat pada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar nilai atau norma yang telah ditetapkan baik yang berlaku di lingkup organisasi, masyarakat, dan agama. Perasaan memiliki dan kecintaan terhadap pekerjaan harus dikembangkan dan menjadi komitmen dalam diri setiap widyaiswara, sehingga akan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi proses pembelajaran.


PENUTUP

Selain pengembangan profesi yang dapat dinilai angka kreditnya sebagaimana tercantum dalam Peraturan MENPAN No. PER/66/M.PAN/6/2005 (membuat karya tulis ilmiah, menerjemahkan/menyadur buku dan bahan lain, dan orasi ilmiah), maka apabila masing-masing individu widyaiswara mau dan mampu mengaplikasikan keenam unsur yang telah diulas di atas dalam pekerjaannya dan keseharian hidupnya, maka kualitas atau mutu profesionalisme widyaiswara akan selalu meningkatkan dan semakin baik. Namun demikian masih terdapat satu elemen lagi, yang sebenarnya merupakan Esensi atau inti dari semua keterampilan yang telah disebutkan di atas yaitu Spritual skill (keterampilan yang berhubungan dengan Sang Pencipta). Keterampilan ini akan menjadi pengontrol moral widyaiswara. Dengan ketrampilan spritual, maka para widyaiswara dalam melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya, akan menggunakan hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja yang berada di atas rel atau jalan kebenaran yang “hakiki” yang akan berujung pada tercapainya efektivitas kinerja widyaiswara yang baik dan benar.

KOMUNIKASI PEGAWAI: SARANA PENCAPAIAN EFEKTIVITAS KINERJA ORGANISASI

Komunikasi dalam suatu organisasi merupakan aktivitas yang selalu hadir (tidak pernah absen), conditio sinne quanon, karena komunikasi adalah sarana yang digunakan para pegawai, baik secara formal maupun informal, untuk berdiskusi, bertukar pikiran, membuat laporan kepada atasan, memberikan arahan kepada bawahan dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hicks dan Gullet (1987) bahwa organisasi disusun untuk mengerjakan tugas dalam rangka mencapai tujuan yang mana di dalamnya para manajer, para bawahan, rekan-rekan yang setaraf, serta lingkungan eksternal perlu dihubungkan oleh proses-proses komunikasi. Komunikasi merupakan suatu faktor yang utama dalam organisasi. Hampir tidak ada aspek organisasi yang tidak melibatkan komunikasi.

Azas Komunikasi

Komunikasi, sebagaimana yang didefinisikan oleh banyak pakar, adalah suatu proses penyampaian (transfer) informasi dari satu orang kepada orang lain untuk menghasilkan pengertian yang sama. Dengan komunikasi orang dapat menyampaikan gagasan, fakta, pikiran, perasaan dan nilai kepada orang lain. Komunikasi dapat diibaratkan sebagai sebuah jembatan makna di antara orang-orang sehingga mereka dapat berbagi hal-hal yang mereka rasakan dan ketahui. Dengan demikian, sungai kesalahpahaman yang memisahkan orang-orang dapat diseberangi atau dilalui dengan selamat dengan menggunakan jembatan komunikasi ini.

Azas penting dalam komunikasi yang perlu diketahui adalah bahwa makna terletak pada orang bukan pada pesan yang disampaikan (Berlo, 1960; Mulyana, 2001). Orang memberikan makna pada pesan yang sampai padanya. Pesan tidak akan memiliki arti apapun apabila orang yang menerima pesan tersebut tidak melekatkan makna pada pesan tersebut. Dengan demikian, setiap orang yang terlibat dalam proses komunikasi harus berorientasi pada lawan bicaranya (receiver oriented).

Proses komunikasi melibatkan individu-individu yang pada kenyataannya memiliki frame of reference (paduan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang) yang berbeda satu dengan lainnya. Frame of reference tersebut akan mempengaruhi proses penerimaan atau pemaknaan informasi (persepsi) yang dikirimkan. Sebuah informasi akan diinterpretasi atau dimaknai tidak persis sama oleh masing-masing individu. Bahkan oleh orang yang sama, apabila informasi yang diberikan dalam waktu yang berbeda maka belum tentu persis sama dimaknai oleh orang tersebut. Jadi pada intinya dalam berkomunikasi perlu diperhatikan bagaimana agar informasi yang dikirimkan oleh si pengirim (komunikator) maknanya tersampaikan atau relatif sama dengan apa yang diterjemahkan oleh si penerima (komunikan), sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan miscommunication, misunderstanding, misperception, dan lain sebagainya. Seorang pimpinan organisasi dapat saja menyampaikan ratusan informasi atau pengumuman, tetapi tidak akan terjadi komunikasi hingga setiap informasi tersebut diterima, dibaca, dan dipahami. Kesimpulannya, bahwa komunikasi adalah apa yang dipahami penerima, bukan apa yang dikatakan oleh sipengirim. Oleh karena itu, menurut Berlo (1960) dalam rangka mengirimkan pesan kepada seseorang sehingga pesan tersebut dimaknai relatif sama dengan yang diinginkan, komunikator perlu menselaraskan pesan yang disampaikan dengan frame of reference penerima pesan.

Pentingnya Komunikasi Pegawai dalam Organisasi

Komunikasi bagi organisasi sama pentingnya seperti aliran darah dalam tubuh manusia. Apabila manusia mengalami gangguan pada pembuluh darahnya (menyempit atau melebar) maka akan mengganggu efisiensi peredaran darah, begitu juga halnya dengan organisasi apabila terjadi gangguan dalam aktivitas komunikasinya maka akan mengakibatkan terganggunya efisiensi organisasi tersebut.

Pentingnya komunikasi dalam organisasi ditegaskan oleh Koehler et al. (1976) bahwa dalam organisasi, komunikasi merupakan perekat yang mengeratkan hubungan antara pimpinan dan bawahan. Komunikasi merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan organisasi. Komunikasi dapat disamakan dengan oksigen atau sesuatu yang vital bagi kehidupan.

Apabila tidak ada komunikasi, tidak mungkin ada koordinasi dan kerja sama. Koordinasi dan kerjasama tidak mungkin dilakukan karena para pegawai tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan rekan sekerjanya, atasan tidak dapat menerima informasi dan memberikan arahan serta instruksi. Kerja sama menjadi sesuatu yang mustahil tanpa komunikasi, karena para pegawai tidak dapat menyampaikan kebutuhan dan perasaan mereka kepada rekan sekerja ataupun atasan. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan organisasi menjadi labil dan akhirnya runtuh (collaps). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap aktivitas komunikasi, dengan cara-cara tertentu, akan mempengaruhi organisasi.

Komunikasi yang efektif akan mendorong timbulnya prestasi kerja yang lebih baik dan meningkatkan kepuasan kerja para pegawai, karena pegawai yang mengerti dan memahami pekerjaannya akan lebih dapat bekerja dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan kerja mereka. Sedemikian pentingnya komunikasi yang efektif bagi suatu organisasi, oleh karena itu para pelaku komunikasi dalam organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan berkomunikasi mereka. Muhammad (1992) menyatakan dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi maka organisasi dapat macet atau berantakan.

Conrad dalam Tubbs dan Moss (2001) mengidentifikasikan tiga fungsi komunikasi dalam organisasi. Fungsi-fungsi tersebut adalah:

1. Fungsi Perintah

Melalui komunikasi para pegawai diberikan kesempatan untuk membicarakan, menerima, menafsirkan dan bertindak atas suatu perintah. Dua jenis komunikasi yang mendukung pelaksanaan fungsi ini adalah pengarahan dan umpan balik, dan tujuannya adalah berhasil mempengaruhi pegawai/bawahan. Hasil fungsi perintah adalah terjadinya koordinasi di antara sejumlah pegawai yang saling bergantung dalam organisasi tersebut.

2. Fungsi Relasional

Melalui komunikasi pegawai diberikan kesempatan untuk menciptakan dan mempertahankan produktivitas dan hubungan personal dengan pegawai lainnya. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kinerja pekerjaan (job perfomance) dalam berbagai cara, misalnya, kepuasan kerja, aliran komunikasi ke bawah maupun ke atas dalam hirarki organisasional, dan tingkat pelaksanaan perintah. Pentingnya keterampilan dalam hubungan antarpersona yang baik lebih terasa dalam pekerjaan, ketika ternyata bahwa banyak hubungan yang perlu dilakukan tidak dapat dipilih, tetapi diharuskan oleh lingkungan organisasi, sehingga hubungan menjadi kurang stabil, lebih memacu konflik, kurang ditaati, dan sebagainya.

3. Fungsi Manajemen Ambigu

Pilihan dalam situasi organisasi sering dibuat atau terjadi dalam keadaan sangat ambigu. Misalnya, motivasi berganda muncul karena pilihan yang diambil akan mempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri; tujuan organisasi tidak jelas, dan konteks yang mengharuskan adanya pilihan tersebut tidak jelas. Komunikasi adalah alat yang digunakan untuk mengatasi dan mengurangi ketidakjelasan (ambiguity) yang melekat dalam organisasi.

Iklim Komunikasi Organisasi

Komunikasi yang terjadi antara para pegawai akan menciptakan suatu iklim komunikasi. Iklim komunikasi organisasi merupakan suasana komunikasi yang tercipta oleh pola hubungan antarpribadi yang berlaku dalam organisasi. Dalam berkomunikasi, orang-orang selalu melibatkan persepsinya. Iklim komunikasi merupakan salah satu dimensi penting dalam organisasi karena ia merupakan persepsi keseluruhan pegawai atas sifat-sifat komunikasi dalam organisasi. Karena iklim komunikasi merupakan refleksi kolektif suasana perasaan pegawai, maka kondisi ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh, baik terhadap peningkatan kemampuan kerja masing-masing individu maupun terhadap efisiensi kerja di lingkungan instansi secara keseluruhan. Pace dan Faules (2001) menyebutkan bahwa iklim komunikasi sebuah organisasi dapat mempengaruhi cara hidup pegawai, kepada siapa pegawai bicara, siapa yang disukainya, bagaimana perasaannya, bagaimana kegiatan pekerjaannya, bagaimana perkembangannya, apa yang ingin dicapai dan bagaimana caranya menyesuaikan diri dengan organisasi.

Iklim komunikasi yang suportif akan mendorong para pegawai berpartisipasi, berkomunikasi secara terbuka (memiliki perasaan bebas dalam tukar menukar informasi dan berkomunikasi), rileks, ramah-tamah dengan pegawai lainnya. Iklim komunikasi yang suportif akan berimplikasi pada meningkatnya perasaan pegawai bahwa mereka adalah bagian dari organisasi, menciptakan perasaan bahwa diri mereka berharga. Kondisi tersebut akan sangat kuat mempengaruhi penghargaan diri (self esteem), komitmen terhadap organisasi dan perilaku yang kooperatif. Iklim yang sehat juga mencerminkan kemampuan organisasi dalam mengantisipasi terjadinya konflik.

Sedangkan, organisasi dengan iklim yang defensif akan menyebabkan pegawai tidak berani berkomunikasi secara terbuka, cenderung bersikap tertutup dalam menyampaikan informasi, tidak merasa bebas berkomunikasi, berhati-hati atau takut-takut dalam mengeluarkan pendapat atau pernyataan. Kondisi seperti ini, pada akhirnya, dapat menurunkan moral kerja pegawai.

Gibb (dalam Muhammad 1995), Costigan dan Schmeidler (2004) menyatakan bahwa terdapat enam karakteristik iklim komunikasi yang suportif, dan hal ini perlu untuk diciptakan dan terus dikembangkan oleh para pegawai khususnya oleh pimpinan organisasi, yaitu:

1. Provisionalism
Pimpinan memperbolehkan bawahan untuk bersikap kreatif, eksperimental dan fleksibel atau tidak kaku, sehingga para pegawai dapat menyesuaikan diri pada situasi komunikasi yang berbeda-beda.

2. Empati
Pimpinan berusaha untuk memahami dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi serta menghargai perasaan serta nilai-nilai yang dianut oleh bawahan. Di samping itu juga, para pegawai saling memperlihatkan perhatian dan pengertian terhadap pegawai lainnya.

3. Kesamaan
Pimpinan tidak berusaha membuat pegawai merasa rendah, tidak menggunakan statusnya untuk mengendalikan, serta menghargai posisi orang lain. Pegawai memperlakukan pegawai lainnya sebagai teman dan tidak menekankan kepada kedudukan dan kekuasaan.

4. Spontanitas
Komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan bersifat jujur dan bebas dari motif tersembunyi. Para pegawai dapat dengan bebas menyampaikan pendapatnya serta berkomunikasi dengan sopan dalam berespons terhadap situasi yang terjadi, jujur, dan terus terang.

5. Orientasi masalah
Pimpinan lebih banyak mendefinisikan masalah daripada memberikan pemecahan. Masalah didiskusikan dan dipecahkan bersama dengan para pegawai. Pimpinan tidak memaksakan pendapatnya kepada para pegawai. Dengan demikian, para pegawai memfokuskan komunikasi mereka kepada pemecahan kesulitan secara bersama.

6. Deskripsi
Komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan harus jelas, menggambarkan situasi yang terjadi apa adanya atau jujur, dan memberikan pendapatnya tanpa bermaksud merubah situasi tersebut. Para pegawai memfokuskan pesan mereka kepada kejadian yang dapat diamati daripada evaluasi secara subyektif atau emosional.

Sedangkan, Pace dan Faules (2001) menyatakan terdapat enam faktor iklim komunikasi yang perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu:

1. Kepercayaan

Pegawai di semua tingkat atau seksi harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang di dalamnya kepercayaan, keyakinan, dan kredibilitas didukung oleh pernyataan dan tindakan.

2. Pembuat keputusan bersama

Pegawai di semua tingkat atau seksi diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan para pegawai tersebut. Para pegawai tersebut harus diberi kesempatan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pimpinan di atasnya agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan.

3. Kejujuran/Keterusterangan

Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan apa yang ada dalam pikiran tanpa dibebani oleh perasaan cemas atau khawatir dengan siapa mereka berbicara, apakah dengan teman sejawat, bawahan , atau atasan.

4. Keterbukaan dalam komunikasi ke bawah

Para pegawai mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas dan yang berhubungan luas dengan organisasi. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan pegawai untuk mengkoordinasikan pekerjaan dengan orang-orang atau bagian-bagian (seksi-seksi) lainnya, dan pihak-pihak yang .berhubungan dengan pekerjaan mereka.

5. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas

Pimpinan harus mendengarkan saran-saran atau laporan-laporan masalah yang dikemukakan oleh bawahan, secara berkesinambungan dan dengan pikiran terbuka. Informasi dari bawahan harus dipandang cukup penting untuk dilaksanakan kecuali ada petunjuk yang berlawanan.

6. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi

Para pegawai harus menunjukkan komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi-produktivitas tinggi, kualitas tinggi, dan biaya rendah.

Beranjak dari hal-hal di atas, oleh karena itu, iklim komunikasi perlu mendapat perhatian yang serius dari para pelaku komunikasi di dalam suatu organisasi (termasuk pula instansi-insatansi pemerintah). Apabila iklim komunikasi tidak mendapat perhatian, maka diduga akan membawa dampak yang tidak baik bagi masing-masing individu (pegawai) maupun pada organisasi tempat individu tersebut bekerja. Dengan kata lain apabila iklim komunikasi organisasi tidak mendapat perhatian yang serius diduga akan menyebabkan menurunnya motivasi dan moral kerja pegawai, yang akan berujung pada sulitnya pencapaian efektivitas organisasi.

Selasa, Januari 27, 2009

Penyuluhan: Kegiatan Yang Terpinggirkan

Kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa bukan ditentukan oleh akumulasi kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya, namun ditentukan oleh seberapa jauh keberdayaan rakyatnya, yang ditandai dengan adanya berbagai aktivitas kreatif dan produktif dalam mengelola sumberdaya alam tersebut......

Sayangnya sampai saat ini bangsa kita terlihat belum menuju ke arah itu....... Masih terdapat kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tepat sasaran, kemiskinan, dan pengangguran yang masih meluas. Sebenarnya semua itu bermuara pada satu titik: masyarakat belum berdaya.

Fenomena tersebut, perlu ditangani. Masyarakat harus diberdayakan. Keberdayaan ini tidak ditinjau dari aspek ekonomi belaka, namun harus dipandang secara terintegrasi yang juga meliputi dimensi politik, budaya, sosial, lingkungan, serta personal/spritual. Masyarakat harus memiliki kemampuan agar mereka mampu menjadi individu-individu yang dapat mengatasi masalah yang berada disekitanya.

Banyak masyarakat Indonesia di kalangan akar rumput yang kurang beruntung sehingga mereka tidak sempat mengenyam pendidikan yang memadai. Mereka ini yang pada umumnya berada pada kondisi yang kurang bahkan tidak berdaya. Mereka tidak memiliki akses informasi, akses ekonomi, akses politik, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, mereka memerlukan pendidikan non formal untuk meningkatkan keberdayaan/kapasitas diri mereka sehingga mampu berpartisipasi atau memberikan kontribusi yang positip bagi pembangunan bangsa dan negara ini.

Kegiatan penyuluhan pada hakekatnya merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, ujung tombak dari kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam konteks ini adalah para penyuluh. Mereka ini memiliki tugas mulia untuk membangun masyarakat-yang tidak sempat mengenyam pendidikan formal- agar masyarakat mampu mengelola potensi yang dimilikinya menjadi sebuah kekuatan yang dapat mendorong mereka keluar dari ketidakberdayaannya.

Sayangnya tugas mulia ini belum begitu mendapat perhatian penting dari pemerintah. Kebanyakan yang terjadi adalah kegiatan penyuluhan hanya dilihat sebagai beban anggaran, sehingga alokasi anggarannya pun terkesan marginal. Penyuluhan dianggap tidak dapat menghasilkan benefit, tidak dapat menghasilkan PAD, penyuluhan hanya membuang-buang anggaran karena hasilnya tidak terlihat nyata. Persepsi semacam ini yang menghambat terciptanya masyarakat yang kuat, masyarakat yang berdaya dan mandiri.

Seharusnya perlu disadari bahwa keuntungan yang dihasilkan dari penyuluhan bukan dalam jangka pendek namun jangka panjang. Kegiatan penyuluhan tidak dapat diukur hanya dalam program sekali jadi, karena penyuluhan berkaitan dengan bagaimana mengubah prilaku masyarakat ke arah yang lebih baik, oleh karenanya memerlukan waktu yang panjang step by step, yang pada suatu titik akan menghasilkan keberdayaan masyarakat. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu menyelesaikan masalahnya, masyarakat yang mampu membuat, memilih, dan memilah alternatif-alternatif yang kreatif dan produktif untuk menuju pada kehidupan yang lebih baik.

Bayangkan apabila, masyarakat tetap berada dalam kondisi yang tidak berdaya, maka mau tidak mau suka tidak suka, kondisi ini akan menjadi beban bagi negara, yang kalau dikalkulasi maka negara akan lebih merugi dibandingkan dengan apabila pemerintah mau mengeluarkan anggaran untuk mendidik masyarakat ke arah yang lebih baik melalui penyuluhan.

Penyuluh sebagai ujung tombak di lapangan, tidak akan berjalan dengan optimal apabila tidak didukung oleh sarana dan fasilitas yang memadai. Biaya operasional kegiatan, tunjangan kerja, dan insentif lainnya perlu dipertimbangkan, kalau perlu kegiatan penyuluhan masuk pula dalam anggaran pendidikan. Tugas penyuluh pada prinsipnya sama dengan tugas guru, dosen, atau pengajar lainnya, yaitu bertujuan membelajarkan masyarakat. Oleh karena itu penyuluh harus disejajarkan dengan dosen, guru, dan pengajar lainnya. Kalau mau dibandingkan secara kasat mata tugas penyuluh lebih kompleks dibandingkan pengajar pendidikan formal. Mereka memililiki tanggungf jawab yang lebih berat karena menyangkut skope yang lebih luas, seperti daerah binaan yang luas dengan topografi yang terkadang menyulitkan untuk didatangi, harus menghadapi anggota-anggota masyarakat yang memiliki karakter yang kompleks sehingga lebih sulit ditangani....

Untuk itu perlu, dilakukan pengkajian kembali tentang kegiatan penyuluhan dan profesi penyuluh agar kegiatan penyuluhan tidak lagi dipandang marginal, dan profesi penyuluh menjadi profesi yang bermartabat.........