Rabu, Januari 28, 2009

KOMUNIKASI PEGAWAI: SARANA PENCAPAIAN EFEKTIVITAS KINERJA ORGANISASI

Komunikasi dalam suatu organisasi merupakan aktivitas yang selalu hadir (tidak pernah absen), conditio sinne quanon, karena komunikasi adalah sarana yang digunakan para pegawai, baik secara formal maupun informal, untuk berdiskusi, bertukar pikiran, membuat laporan kepada atasan, memberikan arahan kepada bawahan dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hicks dan Gullet (1987) bahwa organisasi disusun untuk mengerjakan tugas dalam rangka mencapai tujuan yang mana di dalamnya para manajer, para bawahan, rekan-rekan yang setaraf, serta lingkungan eksternal perlu dihubungkan oleh proses-proses komunikasi. Komunikasi merupakan suatu faktor yang utama dalam organisasi. Hampir tidak ada aspek organisasi yang tidak melibatkan komunikasi.

Azas Komunikasi

Komunikasi, sebagaimana yang didefinisikan oleh banyak pakar, adalah suatu proses penyampaian (transfer) informasi dari satu orang kepada orang lain untuk menghasilkan pengertian yang sama. Dengan komunikasi orang dapat menyampaikan gagasan, fakta, pikiran, perasaan dan nilai kepada orang lain. Komunikasi dapat diibaratkan sebagai sebuah jembatan makna di antara orang-orang sehingga mereka dapat berbagi hal-hal yang mereka rasakan dan ketahui. Dengan demikian, sungai kesalahpahaman yang memisahkan orang-orang dapat diseberangi atau dilalui dengan selamat dengan menggunakan jembatan komunikasi ini.

Azas penting dalam komunikasi yang perlu diketahui adalah bahwa makna terletak pada orang bukan pada pesan yang disampaikan (Berlo, 1960; Mulyana, 2001). Orang memberikan makna pada pesan yang sampai padanya. Pesan tidak akan memiliki arti apapun apabila orang yang menerima pesan tersebut tidak melekatkan makna pada pesan tersebut. Dengan demikian, setiap orang yang terlibat dalam proses komunikasi harus berorientasi pada lawan bicaranya (receiver oriented).

Proses komunikasi melibatkan individu-individu yang pada kenyataannya memiliki frame of reference (paduan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang) yang berbeda satu dengan lainnya. Frame of reference tersebut akan mempengaruhi proses penerimaan atau pemaknaan informasi (persepsi) yang dikirimkan. Sebuah informasi akan diinterpretasi atau dimaknai tidak persis sama oleh masing-masing individu. Bahkan oleh orang yang sama, apabila informasi yang diberikan dalam waktu yang berbeda maka belum tentu persis sama dimaknai oleh orang tersebut. Jadi pada intinya dalam berkomunikasi perlu diperhatikan bagaimana agar informasi yang dikirimkan oleh si pengirim (komunikator) maknanya tersampaikan atau relatif sama dengan apa yang diterjemahkan oleh si penerima (komunikan), sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan miscommunication, misunderstanding, misperception, dan lain sebagainya. Seorang pimpinan organisasi dapat saja menyampaikan ratusan informasi atau pengumuman, tetapi tidak akan terjadi komunikasi hingga setiap informasi tersebut diterima, dibaca, dan dipahami. Kesimpulannya, bahwa komunikasi adalah apa yang dipahami penerima, bukan apa yang dikatakan oleh sipengirim. Oleh karena itu, menurut Berlo (1960) dalam rangka mengirimkan pesan kepada seseorang sehingga pesan tersebut dimaknai relatif sama dengan yang diinginkan, komunikator perlu menselaraskan pesan yang disampaikan dengan frame of reference penerima pesan.

Pentingnya Komunikasi Pegawai dalam Organisasi

Komunikasi bagi organisasi sama pentingnya seperti aliran darah dalam tubuh manusia. Apabila manusia mengalami gangguan pada pembuluh darahnya (menyempit atau melebar) maka akan mengganggu efisiensi peredaran darah, begitu juga halnya dengan organisasi apabila terjadi gangguan dalam aktivitas komunikasinya maka akan mengakibatkan terganggunya efisiensi organisasi tersebut.

Pentingnya komunikasi dalam organisasi ditegaskan oleh Koehler et al. (1976) bahwa dalam organisasi, komunikasi merupakan perekat yang mengeratkan hubungan antara pimpinan dan bawahan. Komunikasi merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan organisasi. Komunikasi dapat disamakan dengan oksigen atau sesuatu yang vital bagi kehidupan.

Apabila tidak ada komunikasi, tidak mungkin ada koordinasi dan kerja sama. Koordinasi dan kerjasama tidak mungkin dilakukan karena para pegawai tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan rekan sekerjanya, atasan tidak dapat menerima informasi dan memberikan arahan serta instruksi. Kerja sama menjadi sesuatu yang mustahil tanpa komunikasi, karena para pegawai tidak dapat menyampaikan kebutuhan dan perasaan mereka kepada rekan sekerja ataupun atasan. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan organisasi menjadi labil dan akhirnya runtuh (collaps). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap aktivitas komunikasi, dengan cara-cara tertentu, akan mempengaruhi organisasi.

Komunikasi yang efektif akan mendorong timbulnya prestasi kerja yang lebih baik dan meningkatkan kepuasan kerja para pegawai, karena pegawai yang mengerti dan memahami pekerjaannya akan lebih dapat bekerja dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan kerja mereka. Sedemikian pentingnya komunikasi yang efektif bagi suatu organisasi, oleh karena itu para pelaku komunikasi dalam organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan berkomunikasi mereka. Muhammad (1992) menyatakan dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi maka organisasi dapat macet atau berantakan.

Conrad dalam Tubbs dan Moss (2001) mengidentifikasikan tiga fungsi komunikasi dalam organisasi. Fungsi-fungsi tersebut adalah:

1. Fungsi Perintah

Melalui komunikasi para pegawai diberikan kesempatan untuk membicarakan, menerima, menafsirkan dan bertindak atas suatu perintah. Dua jenis komunikasi yang mendukung pelaksanaan fungsi ini adalah pengarahan dan umpan balik, dan tujuannya adalah berhasil mempengaruhi pegawai/bawahan. Hasil fungsi perintah adalah terjadinya koordinasi di antara sejumlah pegawai yang saling bergantung dalam organisasi tersebut.

2. Fungsi Relasional

Melalui komunikasi pegawai diberikan kesempatan untuk menciptakan dan mempertahankan produktivitas dan hubungan personal dengan pegawai lainnya. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kinerja pekerjaan (job perfomance) dalam berbagai cara, misalnya, kepuasan kerja, aliran komunikasi ke bawah maupun ke atas dalam hirarki organisasional, dan tingkat pelaksanaan perintah. Pentingnya keterampilan dalam hubungan antarpersona yang baik lebih terasa dalam pekerjaan, ketika ternyata bahwa banyak hubungan yang perlu dilakukan tidak dapat dipilih, tetapi diharuskan oleh lingkungan organisasi, sehingga hubungan menjadi kurang stabil, lebih memacu konflik, kurang ditaati, dan sebagainya.

3. Fungsi Manajemen Ambigu

Pilihan dalam situasi organisasi sering dibuat atau terjadi dalam keadaan sangat ambigu. Misalnya, motivasi berganda muncul karena pilihan yang diambil akan mempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri; tujuan organisasi tidak jelas, dan konteks yang mengharuskan adanya pilihan tersebut tidak jelas. Komunikasi adalah alat yang digunakan untuk mengatasi dan mengurangi ketidakjelasan (ambiguity) yang melekat dalam organisasi.

Iklim Komunikasi Organisasi

Komunikasi yang terjadi antara para pegawai akan menciptakan suatu iklim komunikasi. Iklim komunikasi organisasi merupakan suasana komunikasi yang tercipta oleh pola hubungan antarpribadi yang berlaku dalam organisasi. Dalam berkomunikasi, orang-orang selalu melibatkan persepsinya. Iklim komunikasi merupakan salah satu dimensi penting dalam organisasi karena ia merupakan persepsi keseluruhan pegawai atas sifat-sifat komunikasi dalam organisasi. Karena iklim komunikasi merupakan refleksi kolektif suasana perasaan pegawai, maka kondisi ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh, baik terhadap peningkatan kemampuan kerja masing-masing individu maupun terhadap efisiensi kerja di lingkungan instansi secara keseluruhan. Pace dan Faules (2001) menyebutkan bahwa iklim komunikasi sebuah organisasi dapat mempengaruhi cara hidup pegawai, kepada siapa pegawai bicara, siapa yang disukainya, bagaimana perasaannya, bagaimana kegiatan pekerjaannya, bagaimana perkembangannya, apa yang ingin dicapai dan bagaimana caranya menyesuaikan diri dengan organisasi.

Iklim komunikasi yang suportif akan mendorong para pegawai berpartisipasi, berkomunikasi secara terbuka (memiliki perasaan bebas dalam tukar menukar informasi dan berkomunikasi), rileks, ramah-tamah dengan pegawai lainnya. Iklim komunikasi yang suportif akan berimplikasi pada meningkatnya perasaan pegawai bahwa mereka adalah bagian dari organisasi, menciptakan perasaan bahwa diri mereka berharga. Kondisi tersebut akan sangat kuat mempengaruhi penghargaan diri (self esteem), komitmen terhadap organisasi dan perilaku yang kooperatif. Iklim yang sehat juga mencerminkan kemampuan organisasi dalam mengantisipasi terjadinya konflik.

Sedangkan, organisasi dengan iklim yang defensif akan menyebabkan pegawai tidak berani berkomunikasi secara terbuka, cenderung bersikap tertutup dalam menyampaikan informasi, tidak merasa bebas berkomunikasi, berhati-hati atau takut-takut dalam mengeluarkan pendapat atau pernyataan. Kondisi seperti ini, pada akhirnya, dapat menurunkan moral kerja pegawai.

Gibb (dalam Muhammad 1995), Costigan dan Schmeidler (2004) menyatakan bahwa terdapat enam karakteristik iklim komunikasi yang suportif, dan hal ini perlu untuk diciptakan dan terus dikembangkan oleh para pegawai khususnya oleh pimpinan organisasi, yaitu:

1. Provisionalism
Pimpinan memperbolehkan bawahan untuk bersikap kreatif, eksperimental dan fleksibel atau tidak kaku, sehingga para pegawai dapat menyesuaikan diri pada situasi komunikasi yang berbeda-beda.

2. Empati
Pimpinan berusaha untuk memahami dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi serta menghargai perasaan serta nilai-nilai yang dianut oleh bawahan. Di samping itu juga, para pegawai saling memperlihatkan perhatian dan pengertian terhadap pegawai lainnya.

3. Kesamaan
Pimpinan tidak berusaha membuat pegawai merasa rendah, tidak menggunakan statusnya untuk mengendalikan, serta menghargai posisi orang lain. Pegawai memperlakukan pegawai lainnya sebagai teman dan tidak menekankan kepada kedudukan dan kekuasaan.

4. Spontanitas
Komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan bersifat jujur dan bebas dari motif tersembunyi. Para pegawai dapat dengan bebas menyampaikan pendapatnya serta berkomunikasi dengan sopan dalam berespons terhadap situasi yang terjadi, jujur, dan terus terang.

5. Orientasi masalah
Pimpinan lebih banyak mendefinisikan masalah daripada memberikan pemecahan. Masalah didiskusikan dan dipecahkan bersama dengan para pegawai. Pimpinan tidak memaksakan pendapatnya kepada para pegawai. Dengan demikian, para pegawai memfokuskan komunikasi mereka kepada pemecahan kesulitan secara bersama.

6. Deskripsi
Komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan harus jelas, menggambarkan situasi yang terjadi apa adanya atau jujur, dan memberikan pendapatnya tanpa bermaksud merubah situasi tersebut. Para pegawai memfokuskan pesan mereka kepada kejadian yang dapat diamati daripada evaluasi secara subyektif atau emosional.

Sedangkan, Pace dan Faules (2001) menyatakan terdapat enam faktor iklim komunikasi yang perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu:

1. Kepercayaan

Pegawai di semua tingkat atau seksi harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang di dalamnya kepercayaan, keyakinan, dan kredibilitas didukung oleh pernyataan dan tindakan.

2. Pembuat keputusan bersama

Pegawai di semua tingkat atau seksi diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan para pegawai tersebut. Para pegawai tersebut harus diberi kesempatan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pimpinan di atasnya agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan.

3. Kejujuran/Keterusterangan

Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan apa yang ada dalam pikiran tanpa dibebani oleh perasaan cemas atau khawatir dengan siapa mereka berbicara, apakah dengan teman sejawat, bawahan , atau atasan.

4. Keterbukaan dalam komunikasi ke bawah

Para pegawai mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas dan yang berhubungan luas dengan organisasi. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan pegawai untuk mengkoordinasikan pekerjaan dengan orang-orang atau bagian-bagian (seksi-seksi) lainnya, dan pihak-pihak yang .berhubungan dengan pekerjaan mereka.

5. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas

Pimpinan harus mendengarkan saran-saran atau laporan-laporan masalah yang dikemukakan oleh bawahan, secara berkesinambungan dan dengan pikiran terbuka. Informasi dari bawahan harus dipandang cukup penting untuk dilaksanakan kecuali ada petunjuk yang berlawanan.

6. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi

Para pegawai harus menunjukkan komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi-produktivitas tinggi, kualitas tinggi, dan biaya rendah.

Beranjak dari hal-hal di atas, oleh karena itu, iklim komunikasi perlu mendapat perhatian yang serius dari para pelaku komunikasi di dalam suatu organisasi (termasuk pula instansi-insatansi pemerintah). Apabila iklim komunikasi tidak mendapat perhatian, maka diduga akan membawa dampak yang tidak baik bagi masing-masing individu (pegawai) maupun pada organisasi tempat individu tersebut bekerja. Dengan kata lain apabila iklim komunikasi organisasi tidak mendapat perhatian yang serius diduga akan menyebabkan menurunnya motivasi dan moral kerja pegawai, yang akan berujung pada sulitnya pencapaian efektivitas organisasi.

Tidak ada komentar: