Rabu, April 18, 2012

Manajemen Konflik (4)

LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KONFLIK

Suatu konflik atau masalah yang dihadapi jika dibiarkan dan tidak segera diselesaikan bisa berubah menjadi suatu krisis dan menghambat kemajuan kelompok, organisasi, atau masyarakat. Terdapat beberapa tahapan atau langkah penyelesaian konflik yang harus dilalui oleh pihak yang berkonflik. Langkah-langkah tersebut meliputi:

1. Mengakui Adanya Konflik
Langkah ini merupakan langkah awal untuk penyelesaian konflik, tanpa diakui adanya konflik maka masalah tidak akan terpecahkan. Setiap pihak yang terlibat dalam suatu kerjasama atau kelompok perlu mencermati dan menyadari serta membahas secara dini jika timbul masalah, kendala yang mengarah pada munculnya konflik sehingga tidak merupakan penghalang bagi keberhasilan bersama. Untuk itu diperlukan kearifan dan kaktifan dari semua pihak.

2. Mengidentifikasi Konflik Secara Sebenarnya
Langkah ini dalam kegiatan penelitian sering disebut dengan identifikasi masalah. Kegiatan ini sangat diperlukan dan memerlukan keahlian khusus. Konflik dapat muncul dari akar masalah, tetapi juga karena masalah emosi, perlu memilah antara masalah inti dengan emosi. Masalah inti adalah masalah yang mendasari suatu konflik, misalkan ketidaksepakatan
adanya tugas, sedangkan isu emosional merupakan masalah yang akan memperumit masalah tersebut, sehingga apabila terjadi hal yang demikian disarankan agar masalah inti diselesaikan terlebih dahulu.

3. Dengar Semua Pendapat
Lakukan kegiatan sumbang saran dengan melibatkan mereka yang terlibat konflik guna mengungkapkan pendapatnya, hindarilah pendapat benar dan salah. Bahas juga mengenai dampak konflik terhadap kelompok serta kinerja kelompok. Fokus pembicaraan pada fakta dan perilaku bukan pada perasaan atau unsur pribadi. Hindari mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi temukan mana yang terbaik jika dipandang dari sisi positif.

4. Bersama Mencari Cara Penyelesaian Konflik
Dalam kegiatan ini diskusi terbuka sangat diharapkan karena dengan diskusi terbuka bisa memperluas informasi dan alternatif serta bisa mengarahkan pada rasa percaya dan hubungan yang sehat diantara yang terlibat. Dalam sebuah kerjasama kelompok atau tim yang efektif tidak seluruh anggota kelompok menyukai satu sama lain, terkadang ada anggota yang tidak menyukai anggota lain, tetapi yang utama adalah mampu bekerja sama secara efektif.

5. Mendapatkan Kesepakatan Dan Tanggung Jawab Untuk Menemukan Solusi
Memaksakan kesepakatan akan berakibat fatal, oleh karena itu doronglah anggota kelompok untuk bekerja sama memecahkan masalah secara terbuka dan kekeluargaan. Berusaha seluruh anggota kelompok menyenangi solusi yang dihasilkan. Salah satu cara yang disarankan agar orang lain mau menerima saran yang diajukan adalah memposisikan dirinya pada peran orang lain, masing-masing anggota kelompok mempresentasikan pandangan orang lain.

6. Menjadwal Sesi tindak Lanjut Untuk Mengkaji Solusi
Pemberian tanggungjawab untuk melaksanakan komitmen sangat dihargai oleh anggota kelompok. Mengkaji resolusi sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat keefektifan resolusi yang telah diberikan.

Senin, April 16, 2012

Manajemen Konflik (3)

Gaya Tangggapan Konflik

Marshall (1995) mengkategorikan gaya penanganan konflik bersandar pada dua variabel, yaitu cooperativeness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingan pihak lain dan assertiveness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingannya sendiri). Perpaduan dua variabel tersebut menghasilkan lima gaya tanggapan konflik sebagai berikut:

















1. Pengabaian (Penghindaran)

Suatu tindakan untuk menghindari konflik yang dinilai akan menindas atau menciptakan konflik yang berkepanjangan. Cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Penghindaran/pengabaian bisanya dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan menilai bahwa pihak lain memiliki kekuatan yang tidak signifikan.

Atau bisa juga karena kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Satu pihak tidak memaksakan keinginannya pada pihak lain dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain.

Cara ini sebetulnya hanya bisa dilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan individu dan kelompok, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.

2. Akomodasi

Suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini lazim diambil oleh pihak yang lebih lemah dalam situasi konflik. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan kalah sedangkan pihak lain menang. Ini berarti pihak yang bersangkutan berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain.

Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi demi menciptakan suasana yang memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan pihak lain sehingga selanjutnya pihak-pihak yangb berkonflik dapat bersama bisa menuju ke arah kolaborasi.

3. Kompetisi (Menang/Kalah)

Tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memuaskan kepentingannya tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kepentingan pihak lain, dengan kata lain satu pihak memastikan bahwa dia yang memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Keputusan berkompetisi ini lazimnya muncul jika: (a) pihak yang bersangkutan menilai bahwa dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kompetisi. (b) pihak yang bersangkutan menilai bahwa pihak lain akan bersikap sama dengan dirinya.

Pihak yang bersangkutan menggunakan kekuasaan atau pengaruhnya untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut ia yang keluar sebagai pemenang. Dalam konteks diskusi kelompok, biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak.

Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.

4. Kompromi

Tindakan bersama yang bersifat mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Dalam tindakan ini, tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam tindakan kompromi kepuasan yang sejati biasanya tidak tercapai.

5. Kolaborasi (Penyelesaian Masalah)

Tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan kolaborasi dilakukan melalui proses klarifikasi perbedaan dan bukan sekedar mengakomodasi kepentingan. Kolaborasi merupakan tindakan: “menang-menang”. Dengan demikian, tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya.

Tindakan kolaborasi lazimnya dilakukan pada kondisi tidak memungkinkan untuk berkompetisi, karena kompetisi akan lebih merugikan pihak yang terlibat, dan intensitas konfliknya sudah mencapai tahap yang tidak mungkin dihindari.

Jumat, April 13, 2012

Manajemen Konflik (2)

RESPON TERHADAP KONFLIK

Respon adalah tingkah laku balasan (reaksi) terhadap stimulus/rangsangan yang datang pada individu. Bentuk reaksi balas atau jawaban ini bergantung pada stimulus atau merupakan hasil stimulus tersebut. Respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif (Azwar, 1988). Apabila dikaitkan dengan konflik sebagai stimulusnya, terdapat beberapa cara individu merespon konflik tersebut, yaitu:

1. Konfrontasi agresif

Reaksi yang bersifat emosional berupa perilaku menantang dan menentang secara terang-terangan, terbuka, berhadap-hadapan dan memiliki kecenderungan menyerang pihak lain yang dianggap sebagai lawan atau musuh. Respon seperti ini pada suatu saat dapat membahayakan pihak lain. Dalam konteks diskusi dalam kelompok, respon terlihat dalam bentuk pernyataan dan pendapat yang saling menyerang. Pihak-pihak dalam suatu forum diskusi secara langsung satu sama lain saling menyatakan pendapat dan menyerang pendapat pihak lain dengan tujuan menjatuhkan atau mengeliminasi pendapat lawan.

2. Melakukan manuver negatif

Respon ini mirip dengan respon sebelumnya yaitu adanya upaya menantang dan menentang, bedanya respon ini dilakukan secara tidak secara terang-terangan atau berhadap-hadapan melainkan dalam bentuk gerakan-gerakan, kegiatan atau perilaku lain yang bersifat memberontak dan mengganggu yang pada intinya menunjukkan ketidaksukaan terhadap lawan. Dalam konteks diskusi, respon ini dapat berupa kegiatan tidak memperhatikan topik yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara, membuat gaduh/rebut, dan kegiatan atau perilaku negatif lainnya.

3. Penundaan terus menerus

Reaksi yang dilakukan oleh individu dengan cara berdiam diri, tidak memperlihatkan respon yang bersifat nyata (kasat mata). Respon ini dilakukan karena konflik yang muncul cenderung belum mengarah pada kerugian yang berarti pada pihak yang bersangkutan. Selama konflik masih terlihat wajar dan belum merugikan maka penundaan terus dilakukan. Penundaan ini bertujuan untuk melihat perkembangan konflik sambil menunggu adanya kesempatan atau celah untuk bereaksi secara nyata.

4. Bertempur secara pasif.

Respon ini dianalogikan dengan berperang tanpa senjata. Bertempur tanpa menyerang. Wujud dari respon ini dalam suatu diskusi termanisfestasi dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang “pada hakekatnya” tidak menyetujui atas pendapat lawan namun disampaikan secara halus atau tersirat, sehingga lawan tidak merasa diserang. Atau dapat dilakukan dengan cara menggalang dukungan dari berbagai pihak lain agar pihak-pihak lain tersebut tidak sejalan dengan pihak yang yang menjadi lawan. Pihak-pihak lain tersebut yang selanjutnya melakukan serangan terhadap lawan.

Ada pula anggota kelompok yang merespon konflik dari segi positif. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi sepanjang tidak mengarah pada sesuatu yang bersifat destruktif, bahkan konflik dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengarahkan pada integrasi kelompok dan meningkatkan efektivitas kelompok, apabila dikelola dengan baik. Apabila hal ini yang terjadi maka pemecahan konflik mengarah ke hal yang positif, radar untuk respon tersebut adalah mengarahkan energi secara sehat dan langsung untuk memecahkan masalah atau tidak ada reaksi secara emosional, melakukan upaya yang menanggapinya dengan cara rasional. Respon yang tepat ini akan memperkuat kelompok kerja dan melancarkan jalan untuk mengatasi konflik.

Kamis, April 12, 2012

Manajemen Konflik

“Hal yang terpenting bukanlah terjadi atau tidaknya konflik, tetapi bagaimana konflik tersebut dihadapi dan dikelola untuk dapat diselesaikan dan diarahkan pada terciptanya perubahan yang lebih baik”

Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Masyarakat desa pun tidak terlepas dari libatan fenomena tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sajogyo dan Sajogyo (1995) bahwa di masyarakat desa sering muncul peluang terjadinya pertengkaran dan peledakan peristiwa yang disebabkan oleh masalah-masalah tanah, kedudukan dan gengsi, sekitar hal perkawinan, perbedaan paham antara kaum tua dengan kaum muda tentang adat, dan perbedaan antara pria dan wanita.

Mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.

Menangani konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagaimana memelihara konflik agar tetap berada pada kadar tertentu yang tidak membahayakan semua elemen. Oleh karena itu, seorang fasilitator/pendamping diharapkan mampu mencermati potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dapat diarahkan kepada hal-hal yang bersifat konstruktif. Konflik yang sudah terjadi diharapkan dengan bantuan fasilitator dapat diselesaikan sehingga tidak terjadi hal-hal yang bersifat anarkis atau destruktif. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman manajemen konflik untuk kemudian dapat diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya sebagai fasilitator/ pendamping masyarakat. Manajemen konflik adalah suatu penanganan proses pembentukan (kemunculan) konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masyarakat atau organisasi.

A. Pengertian Konflik

Berbagai pengertian konflik telah dinyatakan oleh banyak pakar yang berasal dari kalangan akademisi, sosiolog, pengamat sosial serta praktisi/pekerja sosial/pendamping masyarakat. Berikut ini beberapa pengertian tentang konflik:

1. Hubungan antara dua pihak atau lebih/individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2001).

2. Pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang fihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan (Soekanto, 1996).

3. konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih, yang dapat terjadi pada konteks antarindividu, antarkelompok kecil bahkan antabangsa dan negara (Sarwono, 2005)

4. Konflik merupakan suatu situasi dimana tindakan salah satu fihak bersifat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan fihak lain. Konflik dapat menjadikan kita sadar tentang adanya suatu persoalan yang perlu dipecahkan dalam hubungan dengan individu lain, sehingga menyadarkan dan mendorong kita untuk melakukan perubahan dalam diri kita dan memecahkan persoalan yang kita tidak sadari (Johnson dalam Edhar, 2003).

5. Konflik timbul saat beberapa fihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih bersama-sama, atau merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan atau kepentingan mereka. Dan sengaja menggunakan kekuasaan mereka dalam usaha saling menyingkirkan atau mengubah untuk melindungi atau mengatakan kepentingan mereka dalam interaksi ini (Anstey, 1997).

6. Pertentangan kekuatan yang berlawanan yang meliputi gagasan, sumberdaya, kepentingan, harapan atau motivasi (Smith dan Berg, 1987).

7. Ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perbedaan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan (Mill, 2002).

Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya konflik terjadi karena adanya perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kepentingan, ide, pemaknaan simbol maupun penyebab lainnnya. Perbedaan tersebut kemudian dipertentangkan.

B. Jenis-Jenis Konflik

Terjadi perbedaan tinjauan dari para ahli mengenai jenis konflik. Perbedaan ini disebabkan sudut pandang atau titik tolak pengkajian mengenai konflik tersebut berbeda-beda, yang dilatarbelakangi oleh bidang keilmuwan yang berbeda-beda dari masing-masing pakar tersebut. Berikut diberikan beberapa jenis konflik berasarkan pandangan dari beberapa pakar, yaitu:

Pada dasarnya konflik sosial dapat dibagi menjadi dua jenis ( Surata dan Taufik, 2001), yaitu:

1. Konflik Sosial Vertikal

Konflik yang terjadi antara masyarakat dan negara.

2. Konflik Sosial Horizontal

Konflik sosial horizontal, yaitu konflik yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat interaksi-interaksi sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Konflik horizantal ini dapat terjadi antar individu dalam kelompok, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok bahkan secara lebih luas antar negara. Konflik horizantal ini terwujud dalam bentuk konflik antaretnis, suku, golongan (agama) atau antar kelompok masyarakat (antarkampung, antarpemuda dan lain-lain). Konflik horizontal, khususnya antar etnik, terjadi bisa disebabkan oleh adanya kecemburuan sosial.

Soetrisno (2003), menyebutkan bahwa terdapat dua jenis konflik berdasarkan sifatnya, yaitu:

1. Konflik yang bersifat destruktif /disfungsional

Konflik yang dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh didalam diri individu atau kelompok yang masing terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu disebabkan berbagai hal. Salah satu sebab adalah adanya kecemburuan sosial. Konflik ini biasanya mengarah pada anarkisme.

2. Konflik yang fungsional

Konflik yang menghasilkan suatu perubahan atau konsensus/kesepakatan baru yang berakhir pada perbaikan. Konflik ini biasanya disebabkan hanya karena adanya perbedaan pendapat dalam memandang suatu masalah yang sama-sama dihadapi.

Beebe dan Masterson (1989), mengidentifikasi tiga jenis konflik interpersonal yang terjadi dalam suatu kelompok kecil, yaitu::

1. Pseudo conflict atau konflik palsu

Yaitu konflik yang terjadi karena adanya salah pengertian/misunderstanding. Sebenarnya. keduabelah pihak sama-sama setuju atau mempunyai pandangan dan pendapat yang sama terhadap suatu masalah, namun terjadi salah pengertian sehingga yang terlihat atau yang nampak adalah ketidaksamaan.

2. Simple conflict atau konflik yang sesungguhnya

Konflik yang terjadi karena keduabelah pihak “benar-benar” mempunyai tujuan, kepentingan dan pandangan yang berbeda. Keduanya saling mencegah atau menghalangi dalam pencapaian tujuan masing-masing.

3. Ego conflict atau konflik ego

Konflik ini terjadi karena seseorang, secara emosional, bersikap dan berprilaku defensif karena menganggap bahwa posisinya akan tergeser atau terganggu oleh orang lain.

Menurut Mastenbroek (1982) bahwa konflik dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu :

1. Konflik instrumental

Yang merupakan masalah dalam konflik ini adalah tujuan-tujuan dan cara-cara juga penentuan struktur dan prosedur-prosedur dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Konflik ini tidak bersifat pribadi dan mengarah pada tugas, namun dapat mempunyai banyak bentuk: prioritas-prioritas yang tak jelas atau priotas-priotas yang tidak hanya cukup dengan mufakat saja, salah pengertian, penggunaan bahasa yang berbeda, kemampuan berkomunikasi yang minim, adanya prosedur-prosedur yang tak memadai dalam menangani masalah-asalah, kurangnya saling bertukar pendapat dan saling menyesuaikan diri.

2. Konflik sosial emosional

Konflik ini muncul jika identitas diri menjadi masalah. Konflik ini berkaitan dengan citra diri yang dimiliki seseorang , prasangka, masalah kepercayaan, dan cara menangani hubungan-hubungan pribadi.

3. Konflik kepentingan

Konflik ini berhubungan dengan penyelamatan atau penguatan posisi individu dengan cara menuntut posisi yang layak yang sesuai dengan potensi atau kemampuan yang dimiliki.

Kelly dalam Koehler et al (1976) membagi konflik, bedasarkan penyebabnya atau terjadinya, menjadi empat tingkatan:

1. Konflik dalam Individu

Konflik yang diakibatkan oleh rasa frustasi dan agresi perorangan.

2. Konflik dalam Kelompok

Konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem nilai dan ketidakpuasan terhadap pemenuhan kebutuhan.

3. Konflik dalam organisasi

Berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan penghargaan yang tidak seimbang pada tiap level struktural dan pada pengelolaan fungsi-fungsi organisasi tersebut.

4. Konflik dalam masyarakat

Dikarenakan adanya ketidakadilan antar kelas sosial dan antar kelompok etnis.