Minggu, Oktober 25, 2009

SEJARAH PARTISIPASI

Partisipasi masyarakat bukan merupakan konsep yang sama sekali baru. Konsep Partisipasi dirumuskan pada pertengahan tahun 1970 an, ditengah-tengan tumbuhnya kesadaran bahwa upaya-upaya pembangunan pada saat itu tidak terlalu berdampak pada pengentasan kemiskinan. Paradigma pembangunan di tahun 1960 an dan 1970 an merupakan peninggalan dari aturan kolonial/penjajah, khususnya pada sistem perencanaan di akhir tahun 1930 an dan setelah periode PD II. Konsepnya bersifat ”top down (dari atas ke bawah)” yaitu pembangunan diartikan sebagai upaya pemerintah melakukan sesuatu untuk rakyat/masyarakat, dan terlihat kental penggunaan bahasa-bahasa yang bernuansa militer-birokratis yang mengacu pada literatur manajemen Amerika Serikat keluaran PD II seperti: ”tujuan (objectves), sasaran (targets), strategi (strategies), kapabilitas (capability). Penggunaan metode ilmiah sosial di akhir tahun 1950 an yang dikombinasikan dengan penggunaan mesin menghasilkan mutu yang semu, dan terjadi pengeluaran biaya yang besar. Hanya sedikit stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan ”pembangunan” tersebut. Kondisi ini merupakan penyebab tertinggi gagalnya pembangunan di negara-negara berkembang dalam meningkatkan kehidupan masyarakat miskin. Pembangunan partisipatif lahir sebagai reaksi atas kegagalan pembangunan tersebut, dipopulerkan oleh Gordon Conway dan Robert Chambers (1992), kemudian dikembangkan oleh David Korten (1996).

Partisipasi masyarakat pada pembangunan pedesaan dirumuskan pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARRD), yang diselenggarakan di Roma pada tahun 1979. WCARRD mendeklarasikan bahwa partisipasi masyarakat desa merupakan hak masyarakat untuk menyusun pranata-pranata sehingga dapat menentukan kehidupannya sendiri, ditegaskan bahwa partisipasi merupakan hak asasi manusia. Konferensi mengemukakan bahwa masyarakat desa yang pada umumnya merupakan pihak yang kurang beruntung harus diorganisasikan dan dan secara aktif dilibatkan dalam merancang kebijakan dan program, dan diberi kesempatan untuk mengendalikan pranata sosial ekonomi. WCARRD melihat adanya hubungan yang erat antara partisipasi dan kesukarelaan, antara kekuasaan/otonomi dan organisasi yang mewakili pihak terabaikan (pihak miskin). Lembaga-lembaga atau agen-agen pembangunan hendaknya melakukan kegiatan kooperatif dengan organisasi-organisasi tersebut, dan menyarankan agar bantuan yang ada disalurkan pada petani kecil dan kelompok tani. Sejak saat itu partisipasi masyarakat telah mendapat perhatian dari berbagai pemerintah, lembaga-lembaga donor, dan organisai internasional lainnya, dan banyak program partisipatif yang kemudian dikembang diberbagai negara.

Selasa, Oktober 13, 2009

JABATAN BASAH DAN JABATAN KERING

“SI A… sekarang ...enak ya…..ia menduduki jabatan basah”, sedangkan si “B biasa-biasa aja padahal eselonnya sama”. “Payah...jabatan yang ada sekarang adalah jabatan kering”. “Kalau mau dapat jabatan basah, harus berani berkorban”. Dan masih banyak lainnya pernyataan-pernyataan yang sering terlontar dari para “pemburu jabatan”dalam struktur lingkup birokrasi atau organisasi lainnya.

Jabatan basah dan jabatan kering, apa sich bedanya?

Bila ditinjau dari struktur organisasi birokrasi manapun maka tidak ada yang namanya jabatan basah dan jabatan kering. Semua posisi atau jabatan sudah ada aturan mainnya, semuanya sudah tercantum jelas dalam adiminstrasi kepegawaian, bahwa setiap eselon yang tingkatannya sama memiliki pendapatan, tunjangan yang sama besar selain ditinjau dari masa kerja. Lalu apa yang dimaksud dengan jabatan basah?

Jabatan basah adalah istilah bagi para oknum birokrat ”pemburu harta”. Ada jabatan tertentu yang melekat pada jabatannya atau posisi tersebut tugas mengurus dan mengelola berbagai sarana, prasarana dan kegiatan pembangunan dengan dana yang cukup besar, bahkan sangat besar. Bagi oknum-oknum birokrat, ”hal inilah” yang dianggap basah. Basah karena bisa memberikan peluang untuk dimanipulasi penggunaannnya. Basah karena dari sebagain dana atau sarana/prasarana yang dikelolannya ”secara bertanggungjawab” dapat mempertebal kocek pribadinya. Sering kita lihat adanya manipulasi harga pembelian (mark up) namun secara adminitrasi dapat dipertanggungjawabkan. Ada lagi dana perjalanan yang ternyata kegiatannya tidak begitu penting, hanya sekedar jalan-jalan menyenangkan diri serta mendapatkan dana tranportasi dan akomodasi gratis yang pertanggungjawabannyapun terkadang dimanipulasi, dan masih banyak lagi seperti adanya upeti dari pihak tertentu bagi pejabat tersebut agar dapat memenangkan tender/proyek, serta lainnya. Sedangkan jabatan kering kondisinya merupakan kebalikan dari jabatan basah tadi. Banyak oknum birokrat yang menghindar apabila ditawari jabatan ini, karena di benaknya adalah tidak menguntungkan walaupun menduduki jabatan, yang diutamakan bukannya pengabdian pada tugas tapi keuntungan yang akan diperoleh yang dipikirkan.

Karena keenakan menduduki jabatan basah ini banyak sudah oknum-oknum tersebut yang pada akhirnya menginap di Hotel Prodeo, terganjal masalah KKN. Namun, sepertinya tetap saja jabatan basah tersebut menjadi incaran. Kalau kita mau jujur, sampai saat ini yang ”katanya” jaman reformasi istilah jabatan basah dan jabatan kering masih saja terdengar. Kita banyak saksikan oknum-oknum yang menduduki ”jabatan basah” yang kalau dikalkulasi secara jujur pendapatan mereka seharusnya tidak lebih banyak dari kebanyakan orang, padahal sumber pendapatan mereka hanya berasal dari gaji dan tunjangan, namun mereka mampu hidup mewah...anak sekolah di Universitas Swasta yang bonafid, mampu beli mobil mahal, punya rekening bank yang di dalamnya duit melimpah. Karena secara adminitrasi mereka aman dari sentuhan ”Hukum yang katanya Adil”.

Tulisan ini hanyalah kritik bagi kita semua, bahwa dalam mengelola jabatan terdapat domain abu-abu yang harus kita waspadai terlebih lagi pada domain yang hitam, seharusnya kita hindari.