Marshall (1995) mengkategorikan gaya penanganan konflik bersandar pada dua variabel, yaitu cooperativeness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingan pihak lain dan assertiveness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingannya sendiri). Perpaduan dua variabel tersebut menghasilkan lima gaya tanggapan konflik sebagai berikut:
1. Pengabaian (Penghindaran)
Suatu tindakan untuk menghindari konflik yang dinilai akan menindas atau menciptakan konflik yang berkepanjangan. Cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Penghindaran/pengabaian bisanya dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan menilai bahwa pihak lain memiliki kekuatan yang tidak signifikan.
Atau bisa juga karena kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Satu pihak tidak memaksakan keinginannya pada pihak lain dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain.
Cara ini sebetulnya hanya bisa dilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan individu dan kelompok, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.
2. Akomodasi
Suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini lazim diambil oleh pihak yang lebih lemah dalam situasi konflik. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan kalah sedangkan pihak lain menang. Ini berarti pihak yang bersangkutan berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain.
Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi demi menciptakan suasana yang memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan pihak lain sehingga selanjutnya pihak-pihak yangb berkonflik dapat bersama bisa menuju ke arah kolaborasi.
3. Kompetisi (Menang/Kalah)
Tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memuaskan kepentingannya tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kepentingan pihak lain, dengan kata lain satu pihak memastikan bahwa dia yang memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Keputusan berkompetisi ini lazimnya muncul jika: (a) pihak yang bersangkutan menilai bahwa dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kompetisi. (b) pihak yang bersangkutan menilai bahwa pihak lain akan bersikap sama dengan dirinya.
Pihak yang bersangkutan menggunakan kekuasaan atau pengaruhnya untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut ia yang keluar sebagai pemenang. Dalam konteks diskusi kelompok, biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak.
Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
4. Kompromi
Tindakan bersama yang bersifat mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Dalam tindakan ini, tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam tindakan kompromi kepuasan yang sejati biasanya tidak tercapai.
5. Kolaborasi (Penyelesaian Masalah)
Tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan kolaborasi dilakukan melalui proses klarifikasi perbedaan dan bukan sekedar mengakomodasi kepentingan. Kolaborasi merupakan tindakan: “menang-menang”. Dengan demikian, tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya.
Tindakan kolaborasi lazimnya dilakukan pada kondisi tidak memungkinkan untuk berkompetisi, karena kompetisi akan lebih merugikan pihak yang terlibat, dan intensitas konfliknya sudah mencapai tahap yang tidak mungkin dihindari.