“Hal yang terpenting bukanlah terjadi atau tidaknya konflik, tetapi bagaimana konflik tersebut dihadapi dan dikelola untuk dapat diselesaikan dan diarahkan pada terciptanya perubahan yang lebih baik”
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Masyarakat desa pun tidak terlepas dari libatan fenomena tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sajogyo dan Sajogyo (1995) bahwa di masyarakat desa sering muncul peluang terjadinya pertengkaran dan peledakan peristiwa yang disebabkan oleh masalah-masalah tanah, kedudukan dan gengsi, sekitar hal perkawinan, perbedaan paham antara kaum tua dengan kaum muda tentang adat, dan perbedaan antara pria dan wanita.
Mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.
Menangani konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagaimana memelihara konflik agar tetap berada pada kadar tertentu yang tidak membahayakan semua elemen. Oleh karena itu, seorang fasilitator/pendamping diharapkan mampu mencermati potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dapat diarahkan kepada hal-hal yang bersifat konstruktif. Konflik yang sudah terjadi diharapkan dengan bantuan fasilitator dapat diselesaikan sehingga tidak terjadi hal-hal yang bersifat anarkis atau destruktif. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman manajemen konflik untuk kemudian dapat diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya sebagai fasilitator/ pendamping masyarakat. Manajemen konflik adalah suatu penanganan proses pembentukan (kemunculan) konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masyarakat atau organisasi.
A. Pengertian Konflik
Berbagai pengertian konflik telah dinyatakan oleh banyak pakar yang berasal dari kalangan akademisi, sosiolog, pengamat sosial serta praktisi/pekerja sosial/pendamping masyarakat. Berikut ini beberapa pengertian tentang konflik:
1. Hubungan antara dua pihak atau lebih/individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2001).
2. Pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang fihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan (Soekanto, 1996).
3. konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih, yang dapat terjadi pada konteks antarindividu, antarkelompok kecil bahkan antabangsa dan negara (Sarwono, 2005)
4. Konflik merupakan suatu situasi dimana tindakan salah satu fihak bersifat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan fihak lain. Konflik dapat menjadikan kita sadar tentang adanya suatu persoalan yang perlu dipecahkan dalam hubungan dengan individu lain, sehingga menyadarkan dan mendorong kita untuk melakukan perubahan dalam diri kita dan memecahkan persoalan yang kita tidak sadari (Johnson dalam Edhar, 2003).
5. Konflik timbul saat beberapa fihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih bersama-sama, atau merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan atau kepentingan mereka. Dan sengaja menggunakan kekuasaan mereka dalam usaha saling menyingkirkan atau mengubah untuk melindungi atau mengatakan kepentingan mereka dalam interaksi ini (Anstey, 1997).
6. Pertentangan kekuatan yang berlawanan yang meliputi gagasan, sumberdaya, kepentingan, harapan atau motivasi (Smith dan Berg, 1987).
7. Ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perbedaan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan (Mill, 2002).
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya konflik terjadi karena adanya perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kepentingan, ide, pemaknaan simbol maupun penyebab lainnnya. Perbedaan tersebut kemudian dipertentangkan.
B. Jenis-Jenis Konflik
Terjadi perbedaan tinjauan dari para ahli mengenai jenis konflik. Perbedaan ini disebabkan sudut pandang atau titik tolak pengkajian mengenai konflik tersebut berbeda-beda, yang dilatarbelakangi oleh bidang keilmuwan yang berbeda-beda dari masing-masing pakar tersebut. Berikut diberikan beberapa jenis konflik berasarkan pandangan dari beberapa pakar, yaitu:
Pada dasarnya konflik sosial dapat dibagi menjadi dua jenis ( Surata dan Taufik, 2001), yaitu:
1. Konflik Sosial Vertikal
Konflik yang terjadi antara masyarakat dan negara.
2. Konflik Sosial Horizontal
Konflik sosial horizontal, yaitu konflik yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat interaksi-interaksi sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Konflik horizantal ini dapat terjadi antar individu dalam kelompok, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok bahkan secara lebih luas antar negara. Konflik horizantal ini terwujud dalam bentuk konflik antaretnis, suku, golongan (agama) atau antar kelompok masyarakat (antarkampung, antarpemuda dan lain-lain). Konflik horizontal, khususnya antar etnik, terjadi bisa disebabkan oleh adanya kecemburuan sosial.
Soetrisno (2003), menyebutkan bahwa terdapat dua jenis konflik berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Konflik yang bersifat destruktif /disfungsional
Konflik yang dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh didalam diri individu atau kelompok yang masing terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu disebabkan berbagai hal. Salah satu sebab adalah adanya kecemburuan sosial. Konflik ini biasanya mengarah pada anarkisme.
2. Konflik yang fungsional
Konflik yang menghasilkan suatu perubahan atau konsensus/kesepakatan baru yang berakhir pada perbaikan. Konflik ini biasanya disebabkan hanya karena adanya perbedaan pendapat dalam memandang suatu masalah yang sama-sama dihadapi.
Beebe dan Masterson (1989), mengidentifikasi tiga jenis konflik interpersonal yang terjadi dalam suatu kelompok kecil, yaitu::
1. Pseudo conflict atau konflik palsu
Yaitu konflik yang terjadi karena adanya salah pengertian/misunderstanding. Sebenarnya. keduabelah pihak sama-sama setuju atau mempunyai pandangan dan pendapat yang sama terhadap suatu masalah, namun terjadi salah pengertian sehingga yang terlihat atau yang nampak adalah ketidaksamaan.
2. Simple conflict atau konflik yang sesungguhnya
Konflik yang terjadi karena keduabelah pihak “benar-benar” mempunyai tujuan, kepentingan dan pandangan yang berbeda. Keduanya saling mencegah atau menghalangi dalam pencapaian tujuan masing-masing.
3. Ego conflict atau konflik ego
Konflik ini terjadi karena seseorang, secara emosional, bersikap dan berprilaku defensif karena menganggap bahwa posisinya akan tergeser atau terganggu oleh orang lain.
Menurut Mastenbroek (1982) bahwa konflik dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu :
1. Konflik instrumental
Yang merupakan masalah dalam konflik ini adalah tujuan-tujuan dan cara-cara juga penentuan struktur dan prosedur-prosedur dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Konflik ini tidak bersifat pribadi dan mengarah pada tugas, namun dapat mempunyai banyak bentuk: prioritas-prioritas yang tak jelas atau priotas-priotas yang tidak hanya cukup dengan mufakat saja, salah pengertian, penggunaan bahasa yang berbeda, kemampuan berkomunikasi yang minim, adanya prosedur-prosedur yang tak memadai dalam menangani masalah-asalah, kurangnya saling bertukar pendapat dan saling menyesuaikan diri.
2. Konflik sosial emosional
Konflik ini muncul jika identitas diri menjadi masalah. Konflik ini berkaitan dengan citra diri yang dimiliki seseorang , prasangka, masalah kepercayaan, dan cara menangani hubungan-hubungan pribadi.
3. Konflik kepentingan
Konflik ini berhubungan dengan penyelamatan atau penguatan posisi individu dengan cara menuntut posisi yang layak yang sesuai dengan potensi atau kemampuan yang dimiliki.
Kelly dalam Koehler et al (1976) membagi konflik, bedasarkan penyebabnya atau terjadinya, menjadi empat tingkatan:
1. Konflik dalam Individu
Konflik yang diakibatkan oleh rasa frustasi dan agresi perorangan.
2. Konflik dalam Kelompok
Konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem nilai dan ketidakpuasan terhadap pemenuhan kebutuhan.
3. Konflik dalam organisasi
Berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan penghargaan yang tidak seimbang pada tiap level struktural dan pada pengelolaan fungsi-fungsi organisasi tersebut.
4. Konflik dalam masyarakat
Dikarenakan adanya ketidakadilan antar kelas sosial dan antar kelompok etnis.