Paradigma pembangunan ”tempo doeloe” yang bersifat sentralistik ternyata telah menghasilkan ketidakberdayaan masyarakat. Pola top down yang menjadi ciri pembangunan yang sentralistik telah menciptakan bentuk interaksi yang timpang diantara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dalam paradigma ini ditempatkan sebagai obyek pembangunan dimana perannya hanya untuk melaksanakan program-program atau paket-paket pembangunan. Masyarakat hanya diitempatkan sebagai penerima, sebagai penderita, tanpa atau kalaupun ada hanya sedikit diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau mengemukakan pendapatnya. Hal ini pada akhirnya menimbulkan ketergantungan dari masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat menjadi tidak mandiri, masyarakat menjadi tidak peka terhadap problema yang ada disekitarnya karena memang tidak dirangsang untuk bersikap kritis. Sehingga mereka tidak mampu berinisiatif, kreatif, dan produktif dalam menghadapi dan memecahkan masalah mereka sendiri. Karena, segala sesuatu selalu datangnya dari atas. Selalu ada bantuan yang datang dari luar masyarakat.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan tidak lagi dominasi dan monopoli pusat tetapi bersifat lebih demokratis yang ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi. Kondisi ini telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk bangkit dari ketidakberdayaannya. Dengan desentralisasi maka keragaman dan kearifan lokal lebih dihargai dan diakui eksistensinya, sehingga dapat memicu dan memacu tumbuhnya inisatif dan kreativitas dari bawah.
Namun sayangnya, dampak dari pola lama yang terlalu lama diterapkan sudah berakar kuat di jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah kalangan masyarakat bawah. Pembangunan pola lama yang sentralistik telah meninggalkan residu berupa kemiskinan, melemahnya nilai kearifan lokal, ketidakmampuan mengakses ruang publik, dan lain sebagainya yang berakibat pada terbentuknya masyarakat yang lemah karsa. Artinya pada saat terjadi perubahan paradigma pada umumnya masyarakat masih berada pada kondisi yang belum mandiri. Mereka belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menentukan masa depannya sendiri (self determination), belum mampu menolong dirinya sendiri (self help), belum mampu mengatur dirinya sendiri (self regulating), dan belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi hidupnya sendiri (self financing). Oleh karenanya, masyarakat masih memerlukan bantuan dari pihak luar agar memiliki semangat sehingga mampu bangkit dari ketidakberdayaan. Bantuan ini bukan bersifat charity namun lebih pada upaya memfasilitasi masyarakat agar terbangkit semangatnya untuk menjadi masyarakat pembelajar yang mandiri sehingga mampu memecahkan segala persoalan hidup yang dihadapi serta mampu membentuk masa depannya sendiri sesuai dengan yang diinginkan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus berazaskan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, prinsip kegiatan pemberdayaan adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan pembangunan. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemberdayaan harus ditekankan pada partisipasi aktif masyarakat. Karena pada dasarnya yang mampu merubah nasib masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus tergugah kesadarannya, tertarik, dan berminat, serta memiliki komitmen untuk memperbaiki diri ke arah keberdayaan. Peran pemberdaya adalah sebagai fasilitator yang membangun kemampuan masyarakat melalui proses fasilitasi dalam bentuk menciptakan iklim atau situasi kondusif yang dapat membangun dan mendorong proses pembelajaran partisipatif sehingga tercipta learning by doing menuju pada learning society.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar