Jumat, Juli 01, 2011
PROGRAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN: SUDAHKAH MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN?
Hutan merupakan potensi atau kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik dan bijak akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan, tidak saja bagi manusia melainkan juga bagi seluruh kehidupan di alam ini. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan terluas. Artinya, bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan, apabila mampu dikelola dengan baik dan bijak.
Masyarakat sekitar hutan kehidupannya sangat bergantung pada keberadaan hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Awang (2003) bahwa terdapat jutaan masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar hutan kehidupannya tergantung kepada produksi dan juga hasil hutan. Sayangnya sampai dengan saat ini banyak penelitian menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat sekitar hutan pada umumnya tidak jauh dari kesan kemiskinan, keterbelakangan, kualitas hidup yang pas-pasan, dan hal-hal lain yang menunjukkan betapa kondisi masyarakat sekitar hutan selalu berada dalam keadaan yang memprihatinkan.
Kondisi ini adalah akibat kesalahan pengelolaan hutan pada masa lalu di mana kebijakan pengelolaan hutan lebih bertumpu pada paradigma timber based management. Pengelolaan hutan cenderung berorientasi pada pengeksploitasian hasil hutan berupa kayu yang berbasis pada upaya peningkatan atau pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan sumberdaya hutan sebagian diserahkan kepada swasta (pemilik modal besar) dengan harapan terjadi produksi hutan (kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan hutan dan suntikan investasi oleh swasta. Pada tataran implementasi terjadi praktek marginalisasi pada masyarakat sekitar hutan, peran masyarakat sekitar hutan lebih banyak dikesampingkan.
Paradigma pembangunan kehutanan, pada saat ini, telah mengalami pergeseran ke arah paradigma yang lebih holistik yaitu pendekatan ekosistem (resourced based management) yang bertumpu pada community based development. Secara konseptual, paradigma ini merupakan model pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Artinya, keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan dianggap penting untuk dapat menjaga eksistensi dan merehabilitasi hutan yang pada saat ini kondisinya parah, dan pada saat yang sama dengan keterlibatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Implementasi dari paradigma tersebut adalah diluncurkannya berbagai program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat yang bertujuan agar masyarakat terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan sehingga dengan keterlibatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, antara lain pembangunan masyarakat desa dutan (PMDH), hutan kemasyarakatan (HKm), model desa konservasi (MDK), Gerakan Nasionbal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), dan banyak lainnya. Namun, apakah pelaksanaan program-program tersebut sudah taat azas? sudahkah masyarakat sekitar hutan menjadi aktor atau pelaku pengelolaan hutan? Apakah masyarakat sekitar hutan telah terlepas dari keterpurukannya?.
Kita tidak bisa menafikan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “belum”. Apa yang menjadi tujuan dari program-program tersebut belum tercapai bahkan di beberapa tempat menunjukkan kegagalan. Muncul pertanyaan berikutnya, di mana letak kesalahan program-program tersebut?
Salah satu jawaban termudah dapat ditelusuri dari struktur kegiatan yang berkembang dalam pelaksanaan program pembangunan tersebut yang terkesan telah melembaga. Pada tataran pelaksanaan di lapangan, semangat community development belum dipahami dan belum menyentuh esensinya sehingga belum menjadi ruh dari pelaksanaan program-program pembangunan kehutanan. Community development masih diartikan sebagai kegiatan work for (bekerja untuk) bukan work with (bekerja bersama) masyarakat, sehingga hasil akhir dari program tersebut belum mampu memberdayakan dan memandirikan sekitar hutan.
Pembangunan Masyarakat (Community Development)
Pembangunan masyarakat perlu dipahami dengan benar sehingga dapat menjadi ruh yang menggerakkan pelaksanaan program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat. Terdapat dua dimensi dalam pembangunan masyarakat yaitu bagaimana membangun keberdayaan atau kapasitas masyarakat (community organizing) dan membangun ekonomi rakyat (economic development). Dimensi kedua (economic development) pada umumnya merupakan dampak dari dimensi pertama, yang dilengkapi atau disertai dengan adanya subsidi atau bantuan pihak eksternal. Kebanyakan pelaksanaan pembangunan lupa pada dimensi yang pertama karena lebih fokus pada dimensi kedua tersebut, sehingga yang terjadi program pembangunan lebih bersifat karikatif dibandingkan memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi entry point atau tiutik masuk agar tercapai tujuan pembanguan kehuatan berbasis masyarakat adalah dimensi pertama yaitu meningkatkan keberdayaan masyarakat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan pembangunan masyarakat (community development) sebagai : "the process by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrade these communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully to national progress" (Ndraha, 1990).
Rumusan di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan upaya membangun dan meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik/berdaya sehingga mampu berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan.
Menurut Du Sautoy (1962), terdapat tiga hal penting sehingga suatu program dapat dikatakan sebagai program yang berbasis community development. Apabila ketiga hal tersebut diabaikan maka kegiatan yang dilaksanakan dianggap bukan kegiatan yang membangun masyarakat (community development) melainkan pembangunan yang diperuntukan bagi masyarakat (work for). Ketiga elemen tersebut adalah: (1) pelaksanaan program harus dapat menciptakan “self help” masyarakat, (2) program harus sesuai dan mengedepankan kebutuhan masyarakat, dan (3) pelaksanaan program harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan mengaitkan berbagai dimensi dan sektor.
1. Membangun “Self Helf” Masyarakat
Membangun “self help” masyarakat merupakan inti dari kegiatan community development. Self help disini dapat dimaknai dengan kemandirian. Dengan demikian, fungsi yang harus dijalankan oleh pelaksana program kehutanan berbasis masyarakat adalah membantu masyarakat untuk dapat membantu dirinya sendiri atau membangun kemandirian (helping people to help them self). Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang memiliki kapasitas atau keberdayaan sehingga memiliki rasa percaya diri yang tinggi atas kemampuannya dan tidak tergantung pada pihak lain. Hal ini berarti, program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat harus berangkat dari upaya memberdayakan masyarakat, bukan upaya atau kegiatan yang bersifat karikatif. Memberdayakan masyarakat sekitar hutan merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat sekitar hutan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat bukan merupakan kegiatan yang bersifat simultan, yang langsung terlihat hasilnya. Kegiatan pemberdayaan merupakan kegiatan investasi jangka panjang, di mana membutuhkan proses yang berkesinambungan sehingga tercapai hasil yang diinginkan yaitu masyarakat yang berdaya. Hal inilah yang belum terakomodir dalam pelaksanaan program pembangunan kehutanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan pembangunan kehutanan adalah pendekatan keproyekan sehingga pengelolaannya didasarkan pada manajemen proyek, artinya pelaksanaan program pembangunan kehutanan lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan rutin “proyek” semata, yang pada umumnya bersifat jangka pendek. Tolok ukur keberhasilannyapun adalah tolok ukur keproyekan yaitu proyek dianggap sukses jika anggarannya dapat dihabiskan, sementara pada kenyataannnya masyarakat tetap dalam kondisi belum berdaya.
Walaupun secara konseptual pemberdayaan masyarakat oleh para birokrat dianggap penting sehingga dimasukkan dalam berbagai program pembangunan (termasuk pembangunan kehutanan). Namun secara faktual, kegiatan pemberdayaan masyarakat yang membutuhkan proses dalam pencapaian tujuannya kelihatannya belum dipertimbangkan sebagai kegiatan investasi yang memberikan manfaat jangka panjang, bahkan cenderung dianggap sebagai beban anggaran. Memang harus diakui bahwa upaya memberdayakan masyarakat sekitar hutan merupakan investasi yang hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung, namun baru dapat dilihat dan dinikmati dalam jangka panjang di beberapa tahun ke depan. Akan tetapi dalam jangka panjang pemanfaatan tenaga kerja yang terampil dalam mengelola hutan, sebagai hasil dari kegiatan pemberdayaan, akan segera mensubstitusi pengorbanan tersebut. Perlu disadari bahwa kemakmuran bangsa bukan disebabkan oleh akumulasi kekayaan sumberdaya alam melainkan dengan cara membangun sebanyak mungkin tenaga produktif sehingga tercipta kekuatan swadaya bangsa yang mampu mengelola sumberdaya alam tersebut dengan baik
Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan merupakan proses edukasi (community education), artinya keberdayaan masyarakat dapat tercipta melalui proses mendidik masyarakat yang dilakukan melalui pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (P3). Tujuan dari P3 adalah pertama, mendorong masyarakat untuk melihat peluang-peluang yang ada untuk merencanakan pembangunan hingga menikmati hasilnya. Kedua, mendorong masyarakat untuk menentukan program pembangunan berasas lokal tapi berorientasi global. Ketiga, mendorong masyarakat untuk mempunyai kemampuan dalam mengontrol masa depannya sendiri. Keempat, mendorong masyarakat untuk menguasai lingkungan sosialnya.
Intervensi pemberdayaan dilakukan dengan cara mengelola potensi yang ada pada masyarakat tetapi belum diberdayakan untuk menjadi suatu kekuatan sehingga dapat tercapai dampak/hasil yang lebih besar dari suatu kegiatan bersama. Dalam konteks pembangunan, artinya masyarakat diizinkan menggunakan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program pembangunan, tetapi pada saat yang bersamaan mereka harus secara penuh bertanggung jawab atas hasil yang dicapai (entah baik atau buruk). Artinya bahwa pembangunan masyarakat menekankan pada upaya meningkatkan dan mengembangkan kapasitas, di mana masyarakat tidak sekadar dilibatkan sebagai partisan biasa, tetapi menjadikan mereka sebagai pelaku utama dari program tersebut.
2. Program harus sesuai dan mengedepankan kebutuhan masyarakat
Keberhasilan suatu program sangat ditentukan oleh seberapa jauh kegiatan yang ditawarkan dianggap penting oleh masyarakat, berikutnya adalah apakah struktur dan proses kegiatan sesuai dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Ife, 1995). Oleh karena itu, perlu dicermati, apakah kriteria yang disebutkan Ife tersebut telah terakomodasi dalam program pembangunan kehutanan?
Masih terasa adanya nuansa top down dalam pelaksanaan program pembangunan kehutanan. Penyusunan program pembangunan masih didasarkan atas pemikiran para birokrat atau pertimbangan di belakang meja, yang menganggap bahwa apa yang disusun telah sesuai dengan kebutuhan dan demi kepentingan masyarakat. Mekanisme ini disebut sebagai work for bukan work with karena secara konseptual bertujuan untuk membantu masyarakat. Namun dalam pelaksanannya, program yang disusun belum sesuai dan belum mempertimbangkan kebutuhan atau kepentingan masyarakat dan kekhasan setempat. Banyak program disusun tanpa melakukan identifikasi kebutuhan atau konsultasi publik, sehingga hasil akhir yang dicapai setelah program dijalankan adalah tidak optimal, kalau tidak mau dikatakan gagal. Kegagalan program kehutanan, sebagai misal penanaman pohon, disebabkan karena terjadi proses “penyeragaman” komoditas yang ditanam tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan komoditas lokal yang menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga yang terjadi adalah ketidakberlanjutan kegiatan/program, karena masyarakat tidak merasa butuh atau tidak merasa penting terhadap komoditas yang ditawarkan. Akibatnya tidak ada upaya pemeliharaan sehingga persentase kematian bibit yang ditanam sangat tinggi. Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan program lebih sebagai tenaga kerja yang orientasinya untuk mendapatkan upah kerja, setelah upah didapat pekerjaan berhenti.
Di dalam masyarakat banyak terdapat sumberdaya (resources) lokal yang lekat dengan masyarakat, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sumberdaya inilah yang harus menjadi fokus program pembangunan, termasuk pembangunan kehutanan, untuk didayagunakan atau dimanfaatkan sehingga masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhannya yang pada akhirnya dapat mempengaruhi taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Dengan demikian, pembangunan berbasis masyarakat harus diartikan sebagai proses untuk menciptakan hubungan yang serasi antara sumber-sumberdaya yang ada dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sehingga tercapai suatu kondisi kesejahteraan yang semakin meningkat (Soetomo 2008)
3. Pelaksanaan program harus dilaksanakan secara terintegrasi
Terdapat berbagai dimensi dalam kegiatan pembangunan berbasis masyarakat yang harus dipertimbangkan, yaitu ekonomi, politik, personal/spritual, budaya, sosial, dan lingkungan masyarakat (Ife, 1995). Keenam dimensi tersebut harus terintgrasi atau harus ada dalam program-program pembangunan berbasis pembangunan masyarakat, walaupun bisa saja penekanannya berbeda-beda antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain. Artinya boleh jadi sebuah program pembangunan menekankan pada satu dimensi atau menjadi entry point program namun tidak boleh mengabaikan dimensi lainnya. Sebagai contoh, pada suatu masyarakat yang sudah memiliki kapasitas di bidang ekonomi yang kuat, namun ternyata lingkungan sekitarnya rusak maka yang menjadi penekanan atau entry point program adalah pada aspek penegelolaan lingkungan namun tetap memerlukan dukungan dari dimensi lainnya.
Agar keenam dimensi dapat berjalan maka diperlukan kerjasama bahkan kolaborasi dengan sektor lain, baik intrasektor maupun intersektor. Sering terjadi satu sektor bekerja sendirian tanpa memperhatikan bahwa diperlukan bantuan atau kerjasama dengan sektor lain agar tercapai tujuan pembangunan yang komprehensif. Hal ini terjadi, disebabkan oleh karena adanya ego sektoral. Setiap pihak merasa paling mampu dalam melaksanakan kegiatan. Masing-masing pihak tidak mau melibatkan pihak lain yang mungkin memiliki kapabilitas atau tupoksi di bidang tertentu, sehingga sering terjadi tumpang tindih kegiatan atau terjadi kegiatan dikerjakan oleh pihak lain yang tidak memiliki tupoksi pada kegiatan tersebut. Mereka lupa bahwa tujuan akhir dari pembangunan adalah bukan untuk kepentingan sektoral semata melainkan untuk kepentingan rakyat yaitu agar tercapainya masyarakat mandiri dan sejahtera. Pertanyaan yang timbul, apakah pelaksanaan program pembangunan kehutanan telah terintegrasi baik intrasektoral maupun intersektoral? Kaitannya dengan integrasi intrasektoral, apakah telah terjadi kerjasama dan kolaborasi di antara unit-unit atau bidang-bidang di kementerian kehutanan dalam melaksanakan tupoksinya? Apakah bidang-bidang tersebut telah menjalankan peran sesuai dengan tupoksinya? Begitu pula dengan integrasi intersektoral, apakah program pembangunan kehutanan telah teringrasi dengan pembangunan di sektor atau kementerian lain?
Kalau dicermati integrasi intrasektoral di Kementerian Kehutanan belum optimal. Masing-masing bidang masih berjalan sendiri-sendiri, belum sinergi dan terintegrasi, paling tidak dalam bentuk yang sederhana yaitu koordinasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mitchell et. al (2007) bahwa koordinasi adalah bentuk kemitraan dimana satu pihak berusaha mencapai tujuannya dengan mempertimbangkan kepentingan pihak lain namun tanpa berinteraksi secara langsung.
Keberhasilan atau tercapainya tujuan pembangunan kehutanan yang dilaksanakan sangat ditentukan oleh berfungsinya semua unit/bidang yang ada dalam Kemenhut, yang secara terintegrasi dan sinergis menjalankan tupoksinya. Apabila intgerasi dan sinegitas tidak terjadi maka tujuan pembangunan tidak akan tercapai secara optimal. Contoh ketidakoptimalan kegiatan sebagai akibat tidak atau kurang terintegrasi kegiatan antar unit kemenhut adalah adanya kontradiktif pelaksanaan kebijakan pada masa lalu yaitu kegiatan GNRHL yang merupakan produk kegiatan Ditjen RLPS. Kegiatan GNRHL merupakan bentuk mobilisasi masyarakat untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan. Namun dalam penyusunan kebijakan tersebut tidak melibatkan unit lain terutama yang memiliki tupoksi untuk memberdayakan masyarakat yaitu lembaga penyuluhan sehingga yang terjadi di lapangan adalah kegiatan GNRHL kontradiktif dengan semangat community development. Pemberian uang kepada masyarakat sebagai alat untuk memotivasi masyarakat dalam kegiatan GNRHL bertolak belakang dengan kegiatan edukasi masyarakat yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat. Implikasinya, program GNRHL mengakibatkan masyarakat menjadi bergantung dan berharap pada insentif, masyarakat terlibat bukan karena kesadaran akan pentingnya hutan lestari melainkan didorong oleh keinginan mendapatkan upah. Seharusnya bisa dicarikan formula yang efektif dalam menggerakkan masyarakat tanpa harus menciptakan ketergantungan masyarakat pada imbalan, apabila dalam perumusan kebijakan dilakukan secara integratif dengan melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki kapabilitas. Dengan melibatkan berbagai pihak dalam pembuatan kebijakan, alternatif keputusan yang diperoleh akan lebih baik, karena dengan keterlibatan banyak pihak yang kompeten akan memungkinkan munculnya beberapa pengalaman dan ide yang beraneka ragam, serta latar belakang peninjauan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda.
Penutup
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberi pengajaran, melainkan sekedar sharing pengetahuan serta memberikan kontribusi pemikiran tentang konsep community development agar program-program yang pembangunan kehutanan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar hutan.
Sabtu, April 16, 2011
Pemberdaya dan Yang Diberdayakan
Partisipasi aktif dari semua elemen bangsa sangat diperlukan dalam pembangunan. Namun demikian sebagaimana diketahui kebijakan masa lalu tidak memberikan mereka peluang gerak yang luas untuk mengakses ruang pendidikan, ekonomi, dan politik sehingga pada saat ini sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam kondisi yang serba terbatas atau tidak berdaya atau tidak memiliki kapasitas yang memadai. Hanya terdapat segelintir orang atau kelompok orang yang hidupnya lebih baik dan berdaya. Karena keterbatasan kapasitas tersebut maka mereka belum mampu berperan serta secara aktif dan menyeluruh dalam pembangunan, kalaupun terlibat peran mereka hanyalah bersifat parsial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pemberdayaan.
Upaya pemberdayaan pada dasarnya akan melibatkan dua pihak yaitu pertama pihak yang melakukan pemberdayaan dan kedua adalah pihak yang diberdayakan. Dalam konteks pembangunan bangsa dan negara, yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pemberdayaan adalah pihak pengambil kebijakan di level pemerintah, sedangkan pihak-pihak yang diberdayakan adalah masyarakat pada umumnya, para pelaksana penyelenggara organisasi baik organisisasi pemerintahan/aparatur pemerintahan maupun organisasi non pemerintah. Dengan demikian, pemberdayaan tidak akan pernah terjadi dengan sendirinya, tanpa adanya kemauan dan kerja keras dari pihak pemberdaya dan pihak yang diberdayakan. Artinya, harus ada interaksi yang bersifat positip dari kedua pihak, harus ada komitmen yang kuat serta konsistensi dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan.
Pertanyaan yang timbul adalah harus dari mana aktivitas pemberdayaan dimulainya?. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa aktivitas pemberdayaan melibatkan dua pihak yaitu pemberdaya (aparatur pemerintah) dan pihak yang diberdayakan, oleh karena itu sudah seharusnya pemberdayaan itu dimulai dari aparatur pemerintah (Mullik, 2003). Artinya, aparatur pemerintah harus memiliki kapasitas yang memadai dan mengetahui dengan baik cara memberdayakan. Kapasitas yang dimaksud di sini harus meliputi kapasitas intelektual, kapasitas emosional/sosial, dan yang paling penting adalah kapasitas moral.
Peningkatan kapasitas intelektual para aparatur perlu dilakukan agar mereka mampu menjawab dan memecahkan setiap persoalan pemberdayaan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas, logis dan kreatif. Oleh karena itu para aparatur harus terus diupayakan agar lebih pintar (berpengetahuan), trampil, dan lebih mampu. Hal ini dapat dicapai melalui aktivitas pendidikan baik formal, maupun non formal.
Peningkatan kapasitas emosional pemberdaya, yaitu para aparatur selaku pemberdaya harus selalu diarahkan untuk mampu membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan sistem sosial (masyarakat) di mana aparatur tersebut berada. Ia harus memiliki kemampuan untuk memotivasi, mendorong dan menata masyarakat disekitarnya dan sanggup menerima amanah kepercayaan masyarakat. Dengan kapasitas emosional yang baik, para aparatur akan sanggup memahami dan berintraksi dengan masyarakat dengan segenap kemajemukan karakter sosial yang melekat pada masyarakat tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan saat ini masih terdapat aparatur pemerintah baik secara latent maupun manifest yang tetap melakukan praktek-praktek KKN. Oleh karena itu pembenahan dan peningkatan kapasitas moral dirasa sangat perlu dan mendesak. Aparatur pemerintah harus di arahkan agar mereka memiliki kemampuan mengendalikan diri, kemampuan menata karakter dan manajemen Qalbu, kemampuan mengembalikan dan menyandarkan semua urusan hanya kepada Sang Khalik. Dengan meningkatnya kapasitas moral, maka diharapkan dalam melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya sebagai pihak yang melakukan pemberdayaan, aparatur pemerintah akan menggunakan hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja SDM yang berada di atas rel atau jalan kebenaran yang “hakiki” yang akan berujung pada tercapainya efektivitas kinerja yang baik dan benar.
Bila ketiga kapasitas tersebut telah dimiliki oleh aparatur pemerintah, maka akan tercipta aparatur yang berdaya, kuat dan tegas, sehingga secara bertahap akan mampu secara bertanggung jawab menginisiasi, memotivasi, menggerakkan dan membantu mengelola potensi atau daya yang ada dalam masyarakat menjadi sebuah kekuatan swadaya bangsa. Namun demikian, agar ketiga komponen kapasitas itu dapat berjalan dan sebagai antisipasi timbulnya penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan, maka perlu seperangkat instrumen pengendali yang secara tegas mengatur aparatur pemerintah dalam melakukan aktivitas pemberdayaan. Muara dari instrumen ini adalah secara gradual terbangunnya kapasitas intelektual, kapasitas emosional, dan kapasitas moral yang baik sebagaimana diharapkan oleh hampir semua masyarakat Indonesia pada umumnya. Instrumen tersebut dapat berwujud aturan atau hukum yang di dalamnya terdapat ancaman dan sanksi bagi yang melanggar.
Setelah pembenahan terhadap aparatur dilakukan dan mereka telah memiliki ketiga kapasitas yang memadai maka pemberdayaan kepada masyarakat dapat dilakukan. Mullik (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu penyuluhan, pendampingan dan pelayanan (P3) Tujuan dari P3 adalah pertama, mendorong masyarakat untuk melihat peluang-peluang yang ada untuk merencanakan pembangunan hingga menikmati hasilnya. Kedua, mendorong masyarakat untuk menentukan program pembangunan pembangunan berasas lokal namun berorientasi global. Ketiga, mendorong masyarakat untuk mempunyai kemampuan dalam mengontrol masa depannya sendiri. Keempat, mendorong masyarakat untuk menguasai lingkungan sosialnya. Dengan demikian, penekanan dari kegiatan P3 adalah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat agar mereka mempunyai akses yang lebih luas di bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Masyarakat diajak, diarahkan, dibimbing, dan dididik agar secara sadar mau belajar secara terus-menerus sehingga dapat mengelola potensi yang dimilikinya menjadi sebuah kekuatan yang bermuara pada lahirnya masyarakat yang mandiri dalam upaya-upaya memecahkan persoalan hidupnya serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Dalam seluruh kegiatan pemberdayaan, pemberdaya berperan sebagai fasilitator. Peran sebagai fasilitator menggunakan falsafah doing with the community bukannya doing for the community. Falsafah kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, falsafah kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs dan felt needs. Falsafah kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar Ki Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di
Semakin lama kegiatan berjalan, peran sebagai fasilitator semakin dikurangi, dan pada akhirnya dapat dilepaskan apabila masyarakat telah mandiri dan telah mencapai keberdayaan pada aspek ekonomi, sosial dan politik. Pemunduran ini bukan satu tahap tetapi suatu proses yang dilakukan secara pelan-pelan. Dengan lain perkataan, peran aparatur atau pemberdaya akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya akan berhenti, untuk selanjutnya peran sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh anggota dalam masyarakat itu sendiri yang oleh anggota masyarakat lainnya dianggap mampu membawa ke arah keberdayaan yang lebih kokoh.
Senin, Maret 02, 2009
Memfasilitasi Masyarakat: Upaya Membangun Masyarakat
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan tidak lagi dominasi dan monopoli pusat tetapi bersifat lebih demokratis yang ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi. Kondisi ini telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk bangkit dari ketidakberdayaannya. Dengan desentralisasi maka keragaman dan kearifan lokal lebih dihargai dan diakui eksistensinya, sehingga dapat memicu dan memacu tumbuhnya inisatif dan kreativitas dari bawah.
Namun sayangnya, dampak dari pola lama yang terlalu lama diterapkan sudah berakar kuat di jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah kalangan masyarakat bawah. Pembangunan pola lama yang sentralistik telah meninggalkan residu berupa kemiskinan, melemahnya nilai kearifan lokal, ketidakmampuan mengakses ruang publik, dan lain sebagainya yang berakibat pada terbentuknya masyarakat yang lemah karsa. Artinya pada saat terjadi perubahan paradigma pada umumnya masyarakat masih berada pada kondisi yang belum mandiri. Mereka belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menentukan masa depannya sendiri (self determination), belum mampu menolong dirinya sendiri (self help), belum mampu mengatur dirinya sendiri (self regulating), dan belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi hidupnya sendiri (self financing). Oleh karenanya, masyarakat masih memerlukan bantuan dari pihak luar agar memiliki semangat sehingga mampu bangkit dari ketidakberdayaan. Bantuan ini bukan bersifat charity namun lebih pada upaya memfasilitasi masyarakat agar terbangkit semangatnya untuk menjadi masyarakat pembelajar yang mandiri sehingga mampu memecahkan segala persoalan hidup yang dihadapi serta mampu membentuk masa depannya sendiri sesuai dengan yang diinginkan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus berazaskan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, prinsip kegiatan pemberdayaan adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan pembangunan. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemberdayaan harus ditekankan pada partisipasi aktif masyarakat. Karena pada dasarnya yang mampu merubah nasib masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus tergugah kesadarannya, tertarik, dan berminat, serta memiliki komitmen untuk memperbaiki diri ke arah keberdayaan. Peran pemberdaya adalah sebagai fasilitator yang membangun kemampuan masyarakat melalui proses fasilitasi dalam bentuk menciptakan iklim atau situasi kondusif yang dapat membangun dan mendorong proses pembelajaran partisipatif sehingga tercipta learning by doing menuju pada learning society.
Sabtu, Februari 14, 2009
Program Komunikasi untuk Perubahan Sosial
Artinya, program komunikasi bagi perubahan sosial harus bersifat altruistic (mementingkan orang lain), mempromosikan hal-hal sosial yang baik, bermanfaat, dan berorientasi pada pelayanan publik. Namun demikian, program komunikasi bagi perubahan sosial harus lebih dari sekedar pelayanan public semata yang hanya berfokus pada “telling (menceritakan)” dan pendistribusian informasi di mana kebutuhan akan informasi tersebut ditentukan oleh orang-orang yang berasal dari luar komunitas. Sering terjadi pesan komunikasi datangnya dari “atas”, di mana pemahaman tentang realitas yang ada di ”tingkat bawah (ground)” sangat terbatas.
Oleh karena itu, implementasi program komunikasi dalam perubahan sosial fokusnya harus diletakan pada proses bukan pada outcome (hasil). Hal ini berarti, komunikasi bagi perubahan sosial memerlukan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk mengidentifikasi siapa yang perlu mendapatkan pesan komunikasi, dan untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan pesan-pesan tertentu.
Dengan demikian, implementasi program-program komunikasi untuk perubahan sosial harus diciptakan dan dikembangkan serta diarahkan pada upaya memberdayakan dan memberikan kebebasan yang bertanggung jawa bagi masyarakat untuk belajar dan menyampaikan gagasan. Komunikasi hendaknya memungkinkan anggota-anggota masyarakat untuk dapat menciptakan cara dalam berbagi infomasi Dengan sifat yang demikian, maka komunikasi dapat menciptakan perubahan sosial atau kemajuan bagi kehidupan masyarakat dan diharapkan dapat bersifat jangka panjang.
Jumat, Februari 06, 2009
Penyuluh Adalah Sales Promotion Pembangunan Masyarakat
Analog dengan aktivitas para salesman/girl tersebut adalah aktivitas para penyuluh. Artinya, bila aktivitas para salesman/girl tersebut kita kaji, maka terlihat adanya kemiripan dengan aktivitas tugas penyuluh yaitu memperkenalkan dan menawarkan suatu produk. Bedanya produk yang ditawarkan atau dipromosikan oleh salesman/girl biasanya adalah alat-alat yang berhubungan dengan kebutuhan pribadi dan rumah tangga yang bersifat jangka pendek, sedangkan yang ditawarkan oleh agen prubahan atau penyuluh pada umumnya bersifat jangka panjang berupa inovasi dan/atau program-program berbasis pemberdayaan masyarakat yang bermanfaat bagi masyarakat demi peningkatan kesejahteraan mereka.
Komunikasi Sales Promotion/Penyuluhan adalah Komunikasi Persuasi
Baik para salesman/girl maupun penyuluh mempunyai tujuan tertentu ketika menawarkan produknya. Salesman/girl mengharapkan produk yang ditawarkannya akan terjual atau dibeli, penyuluh mengharapkan pesan pembangunan yang disampaikannya dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dan terlaksana, maka salesman/girl maupun penyuluh, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan komunikasi persuasi yang baik.
Demi berhasilnya komunikasi persuasi perlu dilaksanakan secara sistematis. Efffendi (2000), menyatakan bahwa dalam melaksanakan komunikasi persuasi, seorang komunikator (salesman/girl atau penyuluh) perlu melalui tahapan-tahapan, yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan. Tahapan-tahapan tersebut disingkat dengan AIDDA (attention, interest, desire, decision, dan action).
A (Attention) – Pesan harus dapat menarik perhatian. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan perhatian sasaran penyuluhan (masyarakat).
I (Interest) – Bagaimana menimbulkan minat. Kaitkan pesan dengan kepentingan atau kebutuhan sasaran penyuluhan.
D (Desire) - menimbulkan hasrat atau kegairahan. Perlu dilancarkan pendekatan-pendekatan yang menggunakan himbuan emosional seperti membujuk, merayu. Yang pada akhirnya ketiga tahapan tersebut akan sampai pada pembuatan keputusan.
D (Decision) - keputusan. Pengambilan keputusan oleh sasaran penyuluhan, yaitu sikap setuju atau tidak setuju. Persuasi berhasil apabila keputusan yang diambil masyarakat (kelayan)mengarah pada sikap setuju terhadap apa yang disampaikan oleh penyuluh.
A (Action) – Tindakan. Melaksanakan apa yang disampaikan oleh penyuluh atau bahkan meninggalkan/menolak.
Komunikasi persuasi didahului dengan upaya membangkitkan perhatian. Upaya ini tidak hanya dilakukan dalam gaya bicara dengan kata-kata yang merangsang, tetapi juga dalam penampilan (appearance) ketika menghadapi khalayak Senyum yang tersungging pada wajah yang cerah sudah dapat menimbulkan perhatian sasaran suluh. Atau dengan aktivitas lainnya layaknya tukang obat di pinggiran jalan, yaitu sebelum menawarkan dagangannya tukang obat tersebut menyuguhkan suatu atraksi yang membuat orang di sekitarnya tertarik untuk menonton.
Apabila perhatian sudah berhasil terbangkitkan kini menyusul upaya menumbuhkan minat. Upaya ini bisa berhasil dengan mengutarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan kelayan/sasaran suluh.Oleh karena itu, komunikator/penyuluh harus mengenal siapa kelayannya yang dihadapinya, ”know your audience”.
Tahap berikutnya adalah memunculkan hasrat pada sasaran suluh dengan melakukan ajakan, bujukan, atau rayuan. Di sini imbauan emosional perlu ditampilkan oleh penyuluh, sehingga pada tahap berikutnya sasaran suluh mengambil keputusan untuk melakukan suatu kegiatan sebagaimana diharapkan.