Partisipasi aktif dari semua elemen bangsa sangat diperlukan dalam pembangunan. Namun demikian sebagaimana diketahui kebijakan masa lalu tidak memberikan mereka peluang gerak yang luas untuk mengakses ruang pendidikan, ekonomi, dan politik sehingga pada saat ini sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam kondisi yang serba terbatas atau tidak berdaya atau tidak memiliki kapasitas yang memadai. Hanya terdapat segelintir orang atau kelompok orang yang hidupnya lebih baik dan berdaya. Karena keterbatasan kapasitas tersebut maka mereka belum mampu berperan serta secara aktif dan menyeluruh dalam pembangunan, kalaupun terlibat peran mereka hanyalah bersifat parsial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pemberdayaan.
Upaya pemberdayaan pada dasarnya akan melibatkan dua pihak yaitu pertama pihak yang melakukan pemberdayaan dan kedua adalah pihak yang diberdayakan. Dalam konteks pembangunan bangsa dan negara, yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pemberdayaan adalah pihak pengambil kebijakan di level pemerintah, sedangkan pihak-pihak yang diberdayakan adalah masyarakat pada umumnya, para pelaksana penyelenggara organisasi baik organisisasi pemerintahan/aparatur pemerintahan maupun organisasi non pemerintah. Dengan demikian, pemberdayaan tidak akan pernah terjadi dengan sendirinya, tanpa adanya kemauan dan kerja keras dari pihak pemberdaya dan pihak yang diberdayakan. Artinya, harus ada interaksi yang bersifat positip dari kedua pihak, harus ada komitmen yang kuat serta konsistensi dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan.
Pertanyaan yang timbul adalah harus dari mana aktivitas pemberdayaan dimulainya?. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa aktivitas pemberdayaan melibatkan dua pihak yaitu pemberdaya (aparatur pemerintah) dan pihak yang diberdayakan, oleh karena itu sudah seharusnya pemberdayaan itu dimulai dari aparatur pemerintah (Mullik, 2003). Artinya, aparatur pemerintah harus memiliki kapasitas yang memadai dan mengetahui dengan baik cara memberdayakan. Kapasitas yang dimaksud di sini harus meliputi kapasitas intelektual, kapasitas emosional/sosial, dan yang paling penting adalah kapasitas moral.
Peningkatan kapasitas intelektual para aparatur perlu dilakukan agar mereka mampu menjawab dan memecahkan setiap persoalan pemberdayaan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas, logis dan kreatif. Oleh karena itu para aparatur harus terus diupayakan agar lebih pintar (berpengetahuan), trampil, dan lebih mampu. Hal ini dapat dicapai melalui aktivitas pendidikan baik formal, maupun non formal.
Peningkatan kapasitas emosional pemberdaya, yaitu para aparatur selaku pemberdaya harus selalu diarahkan untuk mampu membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan sistem sosial (masyarakat) di mana aparatur tersebut berada. Ia harus memiliki kemampuan untuk memotivasi, mendorong dan menata masyarakat disekitarnya dan sanggup menerima amanah kepercayaan masyarakat. Dengan kapasitas emosional yang baik, para aparatur akan sanggup memahami dan berintraksi dengan masyarakat dengan segenap kemajemukan karakter sosial yang melekat pada masyarakat tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan saat ini masih terdapat aparatur pemerintah baik secara latent maupun manifest yang tetap melakukan praktek-praktek KKN. Oleh karena itu pembenahan dan peningkatan kapasitas moral dirasa sangat perlu dan mendesak. Aparatur pemerintah harus di arahkan agar mereka memiliki kemampuan mengendalikan diri, kemampuan menata karakter dan manajemen Qalbu, kemampuan mengembalikan dan menyandarkan semua urusan hanya kepada Sang Khalik. Dengan meningkatnya kapasitas moral, maka diharapkan dalam melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya sebagai pihak yang melakukan pemberdayaan, aparatur pemerintah akan menggunakan hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja SDM yang berada di atas rel atau jalan kebenaran yang “hakiki” yang akan berujung pada tercapainya efektivitas kinerja yang baik dan benar.
Bila ketiga kapasitas tersebut telah dimiliki oleh aparatur pemerintah, maka akan tercipta aparatur yang berdaya, kuat dan tegas, sehingga secara bertahap akan mampu secara bertanggung jawab menginisiasi, memotivasi, menggerakkan dan membantu mengelola potensi atau daya yang ada dalam masyarakat menjadi sebuah kekuatan swadaya bangsa. Namun demikian, agar ketiga komponen kapasitas itu dapat berjalan dan sebagai antisipasi timbulnya penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan, maka perlu seperangkat instrumen pengendali yang secara tegas mengatur aparatur pemerintah dalam melakukan aktivitas pemberdayaan. Muara dari instrumen ini adalah secara gradual terbangunnya kapasitas intelektual, kapasitas emosional, dan kapasitas moral yang baik sebagaimana diharapkan oleh hampir semua masyarakat Indonesia pada umumnya. Instrumen tersebut dapat berwujud aturan atau hukum yang di dalamnya terdapat ancaman dan sanksi bagi yang melanggar.
Setelah pembenahan terhadap aparatur dilakukan dan mereka telah memiliki ketiga kapasitas yang memadai maka pemberdayaan kepada masyarakat dapat dilakukan. Mullik (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu penyuluhan, pendampingan dan pelayanan (P3) Tujuan dari P3 adalah pertama, mendorong masyarakat untuk melihat peluang-peluang yang ada untuk merencanakan pembangunan hingga menikmati hasilnya. Kedua, mendorong masyarakat untuk menentukan program pembangunan pembangunan berasas lokal namun berorientasi global. Ketiga, mendorong masyarakat untuk mempunyai kemampuan dalam mengontrol masa depannya sendiri. Keempat, mendorong masyarakat untuk menguasai lingkungan sosialnya. Dengan demikian, penekanan dari kegiatan P3 adalah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat agar mereka mempunyai akses yang lebih luas di bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Masyarakat diajak, diarahkan, dibimbing, dan dididik agar secara sadar mau belajar secara terus-menerus sehingga dapat mengelola potensi yang dimilikinya menjadi sebuah kekuatan yang bermuara pada lahirnya masyarakat yang mandiri dalam upaya-upaya memecahkan persoalan hidupnya serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Dalam seluruh kegiatan pemberdayaan, pemberdaya berperan sebagai fasilitator. Peran sebagai fasilitator menggunakan falsafah doing with the community bukannya doing for the community. Falsafah kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, falsafah kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs dan felt needs. Falsafah kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar Ki Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di
Semakin lama kegiatan berjalan, peran sebagai fasilitator semakin dikurangi, dan pada akhirnya dapat dilepaskan apabila masyarakat telah mandiri dan telah mencapai keberdayaan pada aspek ekonomi, sosial dan politik. Pemunduran ini bukan satu tahap tetapi suatu proses yang dilakukan secara pelan-pelan. Dengan lain perkataan, peran aparatur atau pemberdaya akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya akan berhenti, untuk selanjutnya peran sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh anggota dalam masyarakat itu sendiri yang oleh anggota masyarakat lainnya dianggap mampu membawa ke arah keberdayaan yang lebih kokoh.