Pandangan behavioristik menekankan bahwa pola-pola perilaku dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan (reinforcement) dengan mengkondisikan stimulus (conditioning) dalam lingkungan (enviornmentalistik). Dengan demikian, perubahan perilaku (behavior change) dapat terjadi.
Dalam konteks pandangan behaviorisme, dapat dinyatakan bahwa praktek pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha conditioning (penciptaan seperangkat stimulus) yang diharapkan pula menghasilkan pola-pola perilaku (seperangkat response) tertentu. Prestasi belajar (achievment) dalam term-term pengetahuan (penalaran), sikap (penghayatan), dan keterampilan (pengamalan) merupakan indikator-indikator atau manifestasi dari perubahan dan perkembangan perilaku termaksud.
Belajar merupakan perubahan fungsoinal. Paham ini berpendirian bahwa jiwa manusia itu terdiri ats sejumlah fungsi-fungsi yang memiliki daya atau kemampuan tertentu (misalnya daya mengingat, daya berpikir dan sebagainya). Agar daya-daya itu berlaku secara fungsional, harus terlebih dahulu terlatih. Oleh karena itu, dalam konteks ini, belajar berarti melatih daya (mengasah otak) agar tajam sehingga berguna, untuk menyayat atau memecahkan persoalan-persoalan ataupun dalam hidup ini.
Jadi, hasil belajar dalam bidang tertentu, menurut teori ini, akan dapat ditransferkan (transferable) ke bidang-bidang lain. Dalam versi mutakhir, teori ini kita temukan sebagai teori cognitive yang dikembangkan oleh: Piaget, dalam konteks teori keseimbangannya yang disebut accomodation. Dijelaskan bahwa struktur fungsi kognitif itu dapat berubah kalau individu berhadapan dengan hal-hal baru yang tidak dapat diorganisasikan ke dalam struktur yang telah ada (prinsip association). Dengan demikian belajar dalam hal ini apat mengandung makna sebagai: perubahan struktutral.
Pola belajar signal learning (belajar signal atau anda isyarat). Sinal learning dapat didefinisikan sebgai proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat involunter (involuntary) (tidak disengaja dan didasari tujuannya). Dalam pola perilaku ini terlibat aspek-aspek reaksi emosional di dalamnya. Misalnya, seorang anak menolak berobat ke dokter sebagai reaksi emosional atas pengalamnnya yang dirasakan sebagai hal yang kurang menyenangkan. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini, ialah diberikan stimulus (signal) secara serempak (contiguity) perangsang-perangsang tertentu dengan berulang-ulang (repetition). Tipe belajar ini dapat digolongkan pula ke dalam jenis belajar classical condition (Pavlov).
Pola belajar stimulus-respens learning (belajar stimulus respons, sambut rangsang). Tipe belajar ini masuk ke dalam tipe operant or instrumental condition atau belajar dengan trial and error (thorndike). Misalnya, anjing dapat melakukan jabat tangan kalau mendengar perintah tertentu dari pelatihnya.
Teori belajar koneksionisme dipelopori oleh Thorndike dan kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar lainnya. Teori ini menjelaskan bahwa kegiatan belajar, baik pada kehidupan hewan maupun dalam kehidupan manusia, verlangsung menurut prinsip yang sama yaitu melalui proses pembentukan asosiasi antara kesan panca indera dengan perbuatan. Proses belajar berlangsung sesuai dengan hukum kesiapan, hukum latihan, dan hukum efek. Hukum kesiapan (law of rediness) menjelaskan bahwa kegiatan belajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien apabila peserta didik telah memiliki kesiapan belajar. Hukum ini menjelaskan bahwa materi belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan belajar dan sesuai pula dengan cara-cara belajar yang dimiliki pesrta didik, sehingga kegiatan belajar dapat menimbulkan kepuasan pada peserta didik. Hukum latihan (law of exercises) menyatakan bahwa koneksi antara kondisi dan tindakan dalam belajar akan menjadi kuat karena adanya latihan penggunaan sesuatu yang dipelajari (law of use). Sebaliknya koneksi dan tindakan itu akan menjadi lemah apabila tanpa latihan (law of disuse). Hukum ini memberikan pembenaran terhadap pentingnya pesrta didik untuk selalu mengulangi materi yang dipelajari. Hukum efek (law of effect) menyatakan bahwa kegatan belajar ang memerikan hasil yang menyenangkan kepada pesrta didik, seperti pujian dan hadiah, cenderung kegiatan tersebut akan diulangi dan dikembangkan oleh pesrta didik. Sebaliknya kegiatan belajar yang memberikan hasil yang tidak menyenagkan, seperti celaan dan hukuman, cenderung akan dihentikan atau dihindari oleh peserta didik. Dengan demikian kesiapan, latihan dan pengaruh merupakan hukum-hukum yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran.
Teori conditioning mula-mula dipelopori oleh Ivan Pavlov (1927) kemudian dikembangkan oleh Watson (1970). Percobaan yang dilakukan Pavlov terhadap anjungnya mengambarkan bahwa belajar dilakukan dengan mengasosiaikan suatu ganjaran (reward) dengan ransangan (stimulus) yang mendahului ganjaran itu. Perangsang bersyarat dan perangsang tidak bersyarat merupaka penkondisian (conditioning) dalam proses pembentukan perilaku. Watson mengembangkanteori ini melalui percobaan tentan gejala takut pada anak, dengan menggunakan tikus putih. Menurut teosi ini, belajar adalah suatu proses yang disebabkan oleh adanya syarat tertentu yaitu berupa rangsangan. Penkondisian (conditioning) dalam bentuk rangsangan dan pembiasaan mereaksi terhadap perangsang tertentu menimbulkan proses belajar.
Skinner mengembangkan teori operant conditioning melaluipercobaan terhadap burung dan kotak yang dilengkapi dengan pengungkit. Apabila pengungkit itu kena tekanan maka ia dapat mengeluarkan makanan. Ada dua macam respons dalam hal ini, yaitu yang timbul dari perangsang tertentui, seperti makanan yang menimbulkan keluarnya air liur dan operant-operant yang imbul dan berkembang karena perangsang tertentu itu diikuti oleh perangsang lainnya (reinforing stimuli), Perilaku yang terbentuk karena operant respons disebut operant behavior. Guthrie memanfaatkan teori conditioning dalam menemukan cara mengubah kebiasaan yang kurang baik. Tingkah laku manusia merupakan rangkaian unit tingkah laku yang saling memberikan respons terhadap rangsangan yang timbul dari masing-masing unit tingkah laku itu. Dalam proses cnditioning akan terjadi asosiasi antara unit-unit tingkah laku berurutan. Melalui latihan berulang kali maka terjadilah penguatan proses asosiasi.
Aliran belajar tingkah laku memandang belajar sebagai suatu pola hubungan stimulus dan respons (S-R). Menurut Thorndike bahwa belajar merupakan kegiatan trial and error. Berdasarkan hasil penelitiannya, Thorndike mengemukakan tiga hukum, yaitu (a) hukum kesiapan, yaitu keadaan yang bekaitan dengan kesenangan atau ketidaks enangan untuk dan dalam belajar, (b) hukum latihan, yang brekenaan dengan proses p[enguatan hubungan antara stimulus dan respons yang berkaitan yang diperoleh peserta didik melalui praktek, (c) hukum pengaruh, berkaitan dengan penguatan dan pemutusan setiap hubungan antara stimulus dan respons melalui tindakan.
Teori ini menyatakan bahawa jika seseorang dihadapkan pada suatu kebutuhan untuk merespons stimulus maka ia akan mencoba dengan pola respons tertentu. Jika ternyata responsnya sangat tepat maka ia akan mengulangi lagi respons tersebut seandainya stimulus yang bersamaan muncul. Namun jika respons itu tidak tepat maka ia tidak akan mengulangi lagi responsnya seanainya stimulus yang bersamaan itu timbul kembali.
Menurut horndike, proses belajar behavioristik mengandung tiga unsur penting, yaitu stimulus, respons, dan penguatan (reinforement). Teori ini dianggap sebagai dasar berbagai program inovatif dalam pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah seperti pembelajaran berprogram, mesin pembelajaran, dan pembelajaran melalui komputer. Menurut teori ini tingkah laku seseorang adalah sebagai akibat dari lingkungan. Untuk mengontrol tingkah laku seseorang dapat dilakukan dengan upaya mengendalikan rangsangan yang bersumber dari lingkungan sekitar.
Sehubungan dengan itu, Skinner mengemukakan bahwa perilaku seseorang itu merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya. Sikap dan pemikiran seseorang bukan faktor penyebab bagi perilaku orang itu, melainkan muncul bersamaan dengan perilaku atau mengikuti perilakunya ini. Cara berperilaku seseorang dan akibat dari perilakunya dapat diamati (diobservasi). Perubahan perilaku dapat dikendalikan melalui upaya penguatan pengaruh yang positip dan menghindarkan pengaruh negatif berdasarkan suatu rancanagn tertentu. Berdasarkan pandang ini Skinner mengajukan teknologi perilaku yang dinilainya amat penting dalam menentukan strtaegi pendidikan. Teknologi perilaku memberikan penekanan untuk terjadinya penggeseran tanggungjawab atas perubahan perilaku pada diri orang yang melaksanakan atau dikenai perubahan perilaku pada diri orang yang melaksanakan atau dikenai perubahan perilaku itu dalam lingkungannya. Dalam penggunaan teknologi perilaku maka berbagai penguat (reinforcers) baik penguat yang positip maupun penguat yang negatip perlu dirancang dan digunakan secara tepat dan teliti.
Implikasi praktis aliran ini dalam prose pembelajaran adalah (a) tujuan-tujuan pembelajaran harus dirumuskan dalam sebuah bentuk perilaku tertentu yang dapat diamati dan diukur; (b) materi pelajaran perlu dipecah menjadi bagian-bagain kecil sehingga mudah dikuasai oleh peserta didik; (c) materi pelajaran dan kegiatan belajar disusun dalam urutan yang logis sehimgga memudahkan bagi peserta didik untuk melaluinya; dan (d) proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh tersedianya bahan belajar.