Pendahuluan
Hutan merupakan potensi atau kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik dan bijak akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan, tidak saja bagi manusia melainkan juga bagi seluruh kehidupan di alam ini. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan terluas. Artinya, bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan, apabila mampu dikelola dengan baik dan bijak.
Masyarakat sekitar hutan kehidupannya sangat bergantung pada keberadaan hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Awang (2003) bahwa terdapat jutaan masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar hutan kehidupannya tergantung kepada produksi dan juga hasil hutan. Sayangnya sampai dengan saat ini banyak penelitian menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat sekitar hutan pada umumnya tidak jauh dari kesan kemiskinan, keterbelakangan, kualitas hidup yang pas-pasan, dan hal-hal lain yang menunjukkan betapa kondisi masyarakat sekitar hutan selalu berada dalam keadaan yang memprihatinkan.
Kondisi ini adalah akibat kesalahan pengelolaan hutan pada masa lalu di mana kebijakan pengelolaan hutan lebih bertumpu pada paradigma timber based management. Pengelolaan hutan cenderung berorientasi pada pengeksploitasian hasil hutan berupa kayu yang berbasis pada upaya peningkatan atau pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan sumberdaya hutan sebagian diserahkan kepada swasta (pemilik modal besar) dengan harapan terjadi produksi hutan (kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan hutan dan suntikan investasi oleh swasta. Pada tataran implementasi terjadi praktek marginalisasi pada masyarakat sekitar hutan, peran masyarakat sekitar hutan lebih banyak dikesampingkan.
Paradigma pembangunan kehutanan, pada saat ini, telah mengalami pergeseran ke arah paradigma yang lebih holistik yaitu pendekatan ekosistem (resourced based management) yang bertumpu pada community based development. Secara konseptual, paradigma ini merupakan model pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Artinya, keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan dianggap penting untuk dapat menjaga eksistensi dan merehabilitasi hutan yang pada saat ini kondisinya parah, dan pada saat yang sama dengan keterlibatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Implementasi dari paradigma tersebut adalah diluncurkannya berbagai program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat yang bertujuan agar masyarakat terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan sehingga dengan keterlibatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, antara lain pembangunan masyarakat desa dutan (PMDH), hutan kemasyarakatan (HKm), model desa konservasi (MDK), Gerakan Nasionbal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), dan banyak lainnya. Namun, apakah pelaksanaan program-program tersebut sudah taat azas? sudahkah masyarakat sekitar hutan menjadi aktor atau pelaku pengelolaan hutan? Apakah masyarakat sekitar hutan telah terlepas dari keterpurukannya?.
Kita tidak bisa menafikan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “belum”. Apa yang menjadi tujuan dari program-program tersebut belum tercapai bahkan di beberapa tempat menunjukkan kegagalan. Muncul pertanyaan berikutnya, di mana letak kesalahan program-program tersebut?
Salah satu jawaban termudah dapat ditelusuri dari struktur kegiatan yang berkembang dalam pelaksanaan program pembangunan tersebut yang terkesan telah melembaga. Pada tataran pelaksanaan di lapangan, semangat community development belum dipahami dan belum menyentuh esensinya sehingga belum menjadi ruh dari pelaksanaan program-program pembangunan kehutanan. Community development masih diartikan sebagai kegiatan work for (bekerja untuk) bukan work with (bekerja bersama) masyarakat, sehingga hasil akhir dari program tersebut belum mampu memberdayakan dan memandirikan sekitar hutan.
Pembangunan Masyarakat (Community Development)
Pembangunan masyarakat perlu dipahami dengan benar sehingga dapat menjadi ruh yang menggerakkan pelaksanaan program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat. Terdapat dua dimensi dalam pembangunan masyarakat yaitu bagaimana membangun keberdayaan atau kapasitas masyarakat (community organizing) dan membangun ekonomi rakyat (economic development). Dimensi kedua (economic development) pada umumnya merupakan dampak dari dimensi pertama, yang dilengkapi atau disertai dengan adanya subsidi atau bantuan pihak eksternal. Kebanyakan pelaksanaan pembangunan lupa pada dimensi yang pertama karena lebih fokus pada dimensi kedua tersebut, sehingga yang terjadi program pembangunan lebih bersifat karikatif dibandingkan memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi entry point atau tiutik masuk agar tercapai tujuan pembanguan kehuatan berbasis masyarakat adalah dimensi pertama yaitu meningkatkan keberdayaan masyarakat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan pembangunan masyarakat (community development) sebagai : "the process by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrade these communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully to national progress" (Ndraha, 1990).
Rumusan di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan upaya membangun dan meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik/berdaya sehingga mampu berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan.
Menurut Du Sautoy (1962), terdapat tiga hal penting sehingga suatu program dapat dikatakan sebagai program yang berbasis community development. Apabila ketiga hal tersebut diabaikan maka kegiatan yang dilaksanakan dianggap bukan kegiatan yang membangun masyarakat (community development) melainkan pembangunan yang diperuntukan bagi masyarakat (work for). Ketiga elemen tersebut adalah: (1) pelaksanaan program harus dapat menciptakan “self help” masyarakat, (2) program harus sesuai dan mengedepankan kebutuhan masyarakat, dan (3) pelaksanaan program harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan mengaitkan berbagai dimensi dan sektor.
1. Membangun “Self Helf” Masyarakat
Membangun “self help” masyarakat merupakan inti dari kegiatan community development. Self help disini dapat dimaknai dengan kemandirian. Dengan demikian, fungsi yang harus dijalankan oleh pelaksana program kehutanan berbasis masyarakat adalah membantu masyarakat untuk dapat membantu dirinya sendiri atau membangun kemandirian (helping people to help them self). Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang memiliki kapasitas atau keberdayaan sehingga memiliki rasa percaya diri yang tinggi atas kemampuannya dan tidak tergantung pada pihak lain. Hal ini berarti, program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat harus berangkat dari upaya memberdayakan masyarakat, bukan upaya atau kegiatan yang bersifat karikatif. Memberdayakan masyarakat sekitar hutan merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat sekitar hutan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat bukan merupakan kegiatan yang bersifat simultan, yang langsung terlihat hasilnya. Kegiatan pemberdayaan merupakan kegiatan investasi jangka panjang, di mana membutuhkan proses yang berkesinambungan sehingga tercapai hasil yang diinginkan yaitu masyarakat yang berdaya. Hal inilah yang belum terakomodir dalam pelaksanaan program pembangunan kehutanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan pembangunan kehutanan adalah pendekatan keproyekan sehingga pengelolaannya didasarkan pada manajemen proyek, artinya pelaksanaan program pembangunan kehutanan lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan rutin “proyek” semata, yang pada umumnya bersifat jangka pendek. Tolok ukur keberhasilannyapun adalah tolok ukur keproyekan yaitu proyek dianggap sukses jika anggarannya dapat dihabiskan, sementara pada kenyataannnya masyarakat tetap dalam kondisi belum berdaya.
Walaupun secara konseptual pemberdayaan masyarakat oleh para birokrat dianggap penting sehingga dimasukkan dalam berbagai program pembangunan (termasuk pembangunan kehutanan). Namun secara faktual, kegiatan pemberdayaan masyarakat yang membutuhkan proses dalam pencapaian tujuannya kelihatannya belum dipertimbangkan sebagai kegiatan investasi yang memberikan manfaat jangka panjang, bahkan cenderung dianggap sebagai beban anggaran. Memang harus diakui bahwa upaya memberdayakan masyarakat sekitar hutan merupakan investasi yang hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung, namun baru dapat dilihat dan dinikmati dalam jangka panjang di beberapa tahun ke depan. Akan tetapi dalam jangka panjang pemanfaatan tenaga kerja yang terampil dalam mengelola hutan, sebagai hasil dari kegiatan pemberdayaan, akan segera mensubstitusi pengorbanan tersebut. Perlu disadari bahwa kemakmuran bangsa bukan disebabkan oleh akumulasi kekayaan sumberdaya alam melainkan dengan cara membangun sebanyak mungkin tenaga produktif sehingga tercipta kekuatan swadaya bangsa yang mampu mengelola sumberdaya alam tersebut dengan baik
Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan merupakan proses edukasi (community education), artinya keberdayaan masyarakat dapat tercipta melalui proses mendidik masyarakat yang dilakukan melalui pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (P3). Tujuan dari P3 adalah pertama, mendorong masyarakat untuk melihat peluang-peluang yang ada untuk merencanakan pembangunan hingga menikmati hasilnya. Kedua, mendorong masyarakat untuk menentukan program pembangunan berasas lokal tapi berorientasi global. Ketiga, mendorong masyarakat untuk mempunyai kemampuan dalam mengontrol masa depannya sendiri. Keempat, mendorong masyarakat untuk menguasai lingkungan sosialnya.
Intervensi pemberdayaan dilakukan dengan cara mengelola potensi yang ada pada masyarakat tetapi belum diberdayakan untuk menjadi suatu kekuatan sehingga dapat tercapai dampak/hasil yang lebih besar dari suatu kegiatan bersama. Dalam konteks pembangunan, artinya masyarakat diizinkan menggunakan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program pembangunan, tetapi pada saat yang bersamaan mereka harus secara penuh bertanggung jawab atas hasil yang dicapai (entah baik atau buruk). Artinya bahwa pembangunan masyarakat menekankan pada upaya meningkatkan dan mengembangkan kapasitas, di mana masyarakat tidak sekadar dilibatkan sebagai partisan biasa, tetapi menjadikan mereka sebagai pelaku utama dari program tersebut.
2. Program harus sesuai dan mengedepankan kebutuhan masyarakat
Keberhasilan suatu program sangat ditentukan oleh seberapa jauh kegiatan yang ditawarkan dianggap penting oleh masyarakat, berikutnya adalah apakah struktur dan proses kegiatan sesuai dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Ife, 1995). Oleh karena itu, perlu dicermati, apakah kriteria yang disebutkan Ife tersebut telah terakomodasi dalam program pembangunan kehutanan?
Masih terasa adanya nuansa top down dalam pelaksanaan program pembangunan kehutanan. Penyusunan program pembangunan masih didasarkan atas pemikiran para birokrat atau pertimbangan di belakang meja, yang menganggap bahwa apa yang disusun telah sesuai dengan kebutuhan dan demi kepentingan masyarakat. Mekanisme ini disebut sebagai work for bukan work with karena secara konseptual bertujuan untuk membantu masyarakat. Namun dalam pelaksanannya, program yang disusun belum sesuai dan belum mempertimbangkan kebutuhan atau kepentingan masyarakat dan kekhasan setempat. Banyak program disusun tanpa melakukan identifikasi kebutuhan atau konsultasi publik, sehingga hasil akhir yang dicapai setelah program dijalankan adalah tidak optimal, kalau tidak mau dikatakan gagal. Kegagalan program kehutanan, sebagai misal penanaman pohon, disebabkan karena terjadi proses “penyeragaman” komoditas yang ditanam tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan komoditas lokal yang menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga yang terjadi adalah ketidakberlanjutan kegiatan/program, karena masyarakat tidak merasa butuh atau tidak merasa penting terhadap komoditas yang ditawarkan. Akibatnya tidak ada upaya pemeliharaan sehingga persentase kematian bibit yang ditanam sangat tinggi. Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan program lebih sebagai tenaga kerja yang orientasinya untuk mendapatkan upah kerja, setelah upah didapat pekerjaan berhenti.
Di dalam masyarakat banyak terdapat sumberdaya (resources) lokal yang lekat dengan masyarakat, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sumberdaya inilah yang harus menjadi fokus program pembangunan, termasuk pembangunan kehutanan, untuk didayagunakan atau dimanfaatkan sehingga masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhannya yang pada akhirnya dapat mempengaruhi taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Dengan demikian, pembangunan berbasis masyarakat harus diartikan sebagai proses untuk menciptakan hubungan yang serasi antara sumber-sumberdaya yang ada dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sehingga tercapai suatu kondisi kesejahteraan yang semakin meningkat (Soetomo 2008)
3. Pelaksanaan program harus dilaksanakan secara terintegrasi
Terdapat berbagai dimensi dalam kegiatan pembangunan berbasis masyarakat yang harus dipertimbangkan, yaitu ekonomi, politik, personal/spritual, budaya, sosial, dan lingkungan masyarakat (Ife, 1995). Keenam dimensi tersebut harus terintgrasi atau harus ada dalam program-program pembangunan berbasis pembangunan masyarakat, walaupun bisa saja penekanannya berbeda-beda antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain. Artinya boleh jadi sebuah program pembangunan menekankan pada satu dimensi atau menjadi entry point program namun tidak boleh mengabaikan dimensi lainnya. Sebagai contoh, pada suatu masyarakat yang sudah memiliki kapasitas di bidang ekonomi yang kuat, namun ternyata lingkungan sekitarnya rusak maka yang menjadi penekanan atau entry point program adalah pada aspek penegelolaan lingkungan namun tetap memerlukan dukungan dari dimensi lainnya.
Agar keenam dimensi dapat berjalan maka diperlukan kerjasama bahkan kolaborasi dengan sektor lain, baik intrasektor maupun intersektor. Sering terjadi satu sektor bekerja sendirian tanpa memperhatikan bahwa diperlukan bantuan atau kerjasama dengan sektor lain agar tercapai tujuan pembangunan yang komprehensif. Hal ini terjadi, disebabkan oleh karena adanya ego sektoral. Setiap pihak merasa paling mampu dalam melaksanakan kegiatan. Masing-masing pihak tidak mau melibatkan pihak lain yang mungkin memiliki kapabilitas atau tupoksi di bidang tertentu, sehingga sering terjadi tumpang tindih kegiatan atau terjadi kegiatan dikerjakan oleh pihak lain yang tidak memiliki tupoksi pada kegiatan tersebut. Mereka lupa bahwa tujuan akhir dari pembangunan adalah bukan untuk kepentingan sektoral semata melainkan untuk kepentingan rakyat yaitu agar tercapainya masyarakat mandiri dan sejahtera. Pertanyaan yang timbul, apakah pelaksanaan program pembangunan kehutanan telah terintegrasi baik intrasektoral maupun intersektoral? Kaitannya dengan integrasi intrasektoral, apakah telah terjadi kerjasama dan kolaborasi di antara unit-unit atau bidang-bidang di kementerian kehutanan dalam melaksanakan tupoksinya? Apakah bidang-bidang tersebut telah menjalankan peran sesuai dengan tupoksinya? Begitu pula dengan integrasi intersektoral, apakah program pembangunan kehutanan telah teringrasi dengan pembangunan di sektor atau kementerian lain?
Kalau dicermati integrasi intrasektoral di Kementerian Kehutanan belum optimal. Masing-masing bidang masih berjalan sendiri-sendiri, belum sinergi dan terintegrasi, paling tidak dalam bentuk yang sederhana yaitu koordinasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mitchell et. al (2007) bahwa koordinasi adalah bentuk kemitraan dimana satu pihak berusaha mencapai tujuannya dengan mempertimbangkan kepentingan pihak lain namun tanpa berinteraksi secara langsung.
Keberhasilan atau tercapainya tujuan pembangunan kehutanan yang dilaksanakan sangat ditentukan oleh berfungsinya semua unit/bidang yang ada dalam Kemenhut, yang secara terintegrasi dan sinergis menjalankan tupoksinya. Apabila intgerasi dan sinegitas tidak terjadi maka tujuan pembangunan tidak akan tercapai secara optimal. Contoh ketidakoptimalan kegiatan sebagai akibat tidak atau kurang terintegrasi kegiatan antar unit kemenhut adalah adanya kontradiktif pelaksanaan kebijakan pada masa lalu yaitu kegiatan GNRHL yang merupakan produk kegiatan Ditjen RLPS. Kegiatan GNRHL merupakan bentuk mobilisasi masyarakat untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan. Namun dalam penyusunan kebijakan tersebut tidak melibatkan unit lain terutama yang memiliki tupoksi untuk memberdayakan masyarakat yaitu lembaga penyuluhan sehingga yang terjadi di lapangan adalah kegiatan GNRHL kontradiktif dengan semangat community development. Pemberian uang kepada masyarakat sebagai alat untuk memotivasi masyarakat dalam kegiatan GNRHL bertolak belakang dengan kegiatan edukasi masyarakat yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat. Implikasinya, program GNRHL mengakibatkan masyarakat menjadi bergantung dan berharap pada insentif, masyarakat terlibat bukan karena kesadaran akan pentingnya hutan lestari melainkan didorong oleh keinginan mendapatkan upah. Seharusnya bisa dicarikan formula yang efektif dalam menggerakkan masyarakat tanpa harus menciptakan ketergantungan masyarakat pada imbalan, apabila dalam perumusan kebijakan dilakukan secara integratif dengan melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki kapabilitas. Dengan melibatkan berbagai pihak dalam pembuatan kebijakan, alternatif keputusan yang diperoleh akan lebih baik, karena dengan keterlibatan banyak pihak yang kompeten akan memungkinkan munculnya beberapa pengalaman dan ide yang beraneka ragam, serta latar belakang peninjauan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda.
Penutup
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberi pengajaran, melainkan sekedar sharing pengetahuan serta memberikan kontribusi pemikiran tentang konsep community development agar program-program yang pembangunan kehutanan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar hutan.