Sabtu, Desember 08, 2007

Pendidikan yang Humanistik

Pendahuluan

Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha sadar yang dilakukan dalam rangka mengembangkan diri dan mewujudkan potensi peserta didik, sehingga dapat mencapai kematangan hidup. Kematangan hidup yang dimaksud disini adalah kematangan pada berbagai aspek yang diharapkan dapat diimplementasikan oleh peserta didik di dalam menjalani kehidupannya. Aspek-aspek tersebut meliputi kognitif, affektif, dan juga psikomotorik Dengan demikian pendidikan adalah usaha membudayakan manusia atau memanusiakan manusia.

Secara empiris, mendidik dilakukan melalui kegiatan proses belajar mengajar. Namun demikian pada tataran implementasi, hampir tidak kita sadari bahwa trend pendidikan yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini adalah belajar untuk belajar. Bukan lagi belajar untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi yang jauh makin komplek ke depan. Tak heran proses pembelajaran yang ada di sekolah dapat dinilai kurang demokratis-humanistik. Interaksi yang terjadi dalam proses belajar mengajar lebih menekankan pada peran guru sebagai penyampai ilmu (teacher centered). Peserta didik hanya dipandang sebagai obyek, bukannya subyek atau individu yang aktif. Pola ini kurang memberikan ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi guna menunjukkan eksistensinya sendiri masing-masing. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal awal anak agar mampu menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompetitif.

Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Tidak jarang juga terjadi praktik pendidikan yang memperlakukan peserta didik tidak lebih sebagai pelayan dengan menempatkan posisi pendidik sebagai tuannya. Peserta didik masih saja menjadi objek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi bahkan dilakukan indoktrinasi-indoktrinasi. Pendidikan sering kali diharapkan sebagai pabrik intelektual yang dituntut agar mampu menelorkan pelaku-pelaku pembangunan yang tangguh dan handal. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan lebih menekankan pada satu aspek saja, yaitu pada aspek intelektual, sedangkan aspek yang lain hanya mendapatkan porsi yang rendah, terutama aspek afektif. Akibatnya, pendidikan tidak lagi diarahkan kepada hal-hal penanaman potensi kemanusiaan lainnya. Terutama yang bermuara pada sisi emosial peserta didik. Padahal, inti dari sebuah pendidikan sebagaimana telah disebutkan di atas adalah agar menjadikan manusia-manusia yang cerdas, kreatif dan humanis.

Melihat realitas pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini, sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis-analitis mereka. Untuk itu, harus dicarikan sebuah konsep pendidikan yang berangkat dan beroerientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan (humanisitik) yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin penuh sebagai manusia), yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif, sehingga output dan outcome pendidikan adalah pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.

Konsep Pendidikan Humanistik

Pendidikan humanistik menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Sudjana (2004), menyatakan bahwa aliran humanistik menekankan pada pentingnya sasaran (obyek) kognitif dan afektif pada diri seseorang serta kondisi lingkunganya. Hal ini sejalan dengan pendapat Arthur Combs dalam Djiwandono (2002) bahwa persepsi memainkan peranan dalam pengalaman belajar seseorang. Apabila seseorang berhubungan dengan lingkungan sekitar maka persepsi orang itu tidak terlepas dari faktor-faktor subyektif. Peserta didik akan mempersepsikan pengalamannya, termasuk pengalaman belajar dalam memenuhi kebutuhan belajarnya, dan ia akan menginternalisasikan pengalaman itu dalam dirinya secara aktif. Oleh karena itu upaya membelajarkan peserta didik perlu dilakukan dengan membentuk tumbuhnya pengalaman belajar baru yang dirasakan manfaatnya oleh peserta didik dalam kehidupan dan lingkungannya.

Konsepsi aliran humanistik menjelaskan bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Carl Rogers seorang ahli psikologi humanistik menyatakan bahwa pembelajaran hendaknya berpusat pada peserta didik (learner centered). Pembelajaran hendaknya memberikan kebebasan yang luas kepada pesrta didik untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dilakukan dengan memberikan kebebasan yang lebih luas kepada mereka dalam memilih dan memutuskan apa yang ingin dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya, dan dimana serta kapan mereka akan belajar (Nasution, 2003)

Menurut Gage and Berliner (1991) terdapat empat tujuan yang mendasar dengan diterapkannya pendekatan humanistik dalam pendidikan:

1. Mengembangkan self-direction yang positif and kebebasan (kemandirian) pada diri peserta didik;
2. Membangun kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari;
3. Membangun kreativitas;
4. Membangun rasa keingintahuan; dan
5. Membangun minat terhadap seni atau menciptakan sensitivitas seni

Lebih lanjut, Gage and Berliner (1991) menyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang digunakan dalam penedekatan humanistik dalam pendidikan dalam rangka mencapai tujuan tersebut yaitu:

1. Peserta didik akan lebih giat belajar ketika apabila sesuai sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
2. Mengetahui bagaimana sebaiknya belajar lebih penting dibandingkan memperoleh pengetahuan yang banyak.
3. Evaluasi mandiri merupakan cara penilaian yang terbaik dan paling bermakna bagi peserta didik
4. Perlu memperhatikan perasaan peserta didik.
5. Peserta didik akan belajar dengan baik dalam lingkungan yang bebas dari ancaman.

Menurut aliran humanistik (Sudjana, 2004), perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka untuk meningkatkan kemandirian dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pandangan ini menekankan pentingnya motivasi dalam pengembangan kemandirian peserta didik.

Merujuk teori Abraham Maslow tentang hierarki motivasi, kebutuhan atau motivasi merupakan penggerak utama perilaku individu. Motivasi menggerakkan individu sebagai keseluruhan yang padu dan teratur. Maslow dalam Koehler et.al (1976) berpendapat bahwa terdapat kebutuhan-kebutuhan yang bersifat hirarkis yang memotivasi individu untuk berupaya memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: fisiologis, rasa aman, sosial atau afiliasi, prestasi atau rasa dihargai, dan aktualisasi diri. Bila kita kaitkan pendekatan humanistik yang diperkenalkan oleh Rogers, dengan teori kebutuhan maslow maka terdapat benang merah antara keduanya yaitu perlunya diciptakan situasi atau lingkungan belajar yang kondusif sehingga membangkitkan motif peserta didik untuk memenuhi kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan aktualisasi diri. Masih terkait dengan pendapat Maslow, Rogers (1983) dalam Djiwandono (2002) menyatakan rasa aman, tiada ancaman dan ketertekanan dalam suatu proses belajar adalah penting untuk diperhatikan. Individu harus diberi kebebasan untuk berpendapat, mengkritik, dan diperbolehkan untuk melakukan kesalahan dalam belajar tanpa takut mendapat sanksi atau ancaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Gage and Berliner (1991) sebagaimana disebutkan di atas.

Teori humanistik juga sejalan dengan pendapat Ki Hajar Dewantara (Riyanto, 2007), yang menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata, kalau kita mau jujur, pendidikan sampai saat ini masih menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Penutup

Sebagai kesimpulan, bahwa kiranya pada saat ini sudah waktunya pendidikan yang humanistis dikedepankan oleh para pendidik di Indonesia. Hal tersebut perlu didukung oleh pemerintah dalam bentuk pembuatan kurikulum yang dilandasi oleh filosofi pendidikan, misi dan visi yang berorientasi humanistik. Karena pada dasarnya segala aktivitas pendidikan selalu didasarkan atas kurikulum yang berlaku. Kurikulum telah ditentukan oleh atasan (pemerintah), dan penyimpangannya dapat dikenakan sanksi. Kurikulum dilaksanakan menurut jadwal pelajaran yang harus diikuti dengan ketat. Demikian pula buku pelajaran, serta ujian-ujian tidak mengizinkan kebebasan. Dalam kelas semua anak harus mengikuti pelajaran yang sama pada jam yang sama. Murid-murid diharuskan patuh, menghafal apa yang dikatakan guru. Akan tetapi guru juga tidak bebas menentukan kurikulumnya. Terlalu banyak kepatuhan membuat peserta didik konform dan kehilangan individualitas, kreativitas, dan juga rasa tanggung jawabnya, sehingga akhirnya peserta didik takut untuk bebas berekspresi. Oleh karena itu, dengan adanya kurikulum yang mengedepankan pendekatan humanistik, akan memberikan ruang dan kesempatan bagi guru dan peserta didik untuk mengembangkan rasa bebas disamping keterikatan yang menjadi ciri pendidikan di Indonesia.

Namun demikian perlu diingat bahwa gagasan humanistik munculnya dari para tokoh pendidikan Barat, oleh sebab itu pengimplementasiannya harus diselaraskan dengan nilai-nilai ketimuran bangsa Indonesia. Dan yang terpenting kebebasan berekspresi yang ditawarkan oleh aliran humanistik harus dilengkapi dengan aspek atau nilai-nilai religius. Selama ini aspek religius kelihatannya terlupakan, kalaupun ada porsinya sangat kecil. Hal ini dapat disadari karena selama ini kalau boleh berkata jujur bahwa bangsa Indonesia telah dan sedang mengalami imperialisme kebudayaan, dimana kita terlalu mengagung-agungkan segala yang datangnya dari barat. Yang paling unggul, yang paling bermutu, yang paling tepat dan cocok adalah yang kebarat-baratan, termasuk dalam bidang pendidikan di mana penekanannya hanya pada ranah intelektual saja (IQ), sehingga yang terjadi adalah kurikulum pendidikan kita lebih menekankan pada aspek intelegensi akademis. Kita lupa bahwa kita sendiri memiliki budaya yang bernilai luhur dan religius yang menjadi dasar gerak langkah berbangsa dan bernegara, yang seharusnya menjadi salah satu elemen fundamental dalam muatan kurikulum kita.

Tidak ada komentar: