Selasa, Desember 18, 2007

MENJADI APARATUR PEMERINTAH YANG BEBAS KKN

Penulisan artikel ini bukan berarti penulis adalah orang yang “bersih dan suci”, namun sekedar ajakan yang paling tidak dapat mengingatkan kita bersama dan khususnya kritik untuk diri penulis agar “sebisa mungkin” menjadi pelayan masyarakat yang dapat memenuhi harapan masyarakat, dengan meminimalkan keinginan-keinginan rendah yang dapat merugikan diri kita, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara yang tercinta ini.


Pendahuluan
Era reformasi yang dimulai sejak tahun 1997 dan sekarang tengah bergulir ternyata tidak dapat menghapus secara tuntas permasalahan peninggalan orde baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan birokrasi ternyata masih saja menjadi isu yang krusial. Tidak dapat dinafikan bahwa KKN cenderung telah mengkristal dan menjadi “budaya” bagi kebanyakan oknum birokrat di Republik yang tercinta ini. Birokrasi di Repulik ini cenderung berubah menjadi “Kleptokrasi”. Krisis moral ini tidak saja menerpa birokrat jajaran atas (“skala besar/kakap”) tetapi juga sampai pada tataran birokrat kelas bawah (“skala kecil/teri”). Kita masih saja membaca, mendengar dan melihat dari berbagai media massa bahwa krisis moral tersebut kembali menimpa beberapa oknum birokrat kelas kakap, baik yang merupakan akibat praktek KKN di masa lalu ataupun praktek baru yang terjadi di era reformasi ini, yang pada akhirnya mengharuskan mereka menginap di “hotel prodeo”, serta masih terdapat lagi beberapa oknum di beberapa instansi pemerintah yang terindikasi melakukan praktek KKN atau bahkan masih “bergerilya” melakukannya.


KKN terjadi karena dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai aparatur pemerintah, seseorang tidak mengedepankan hati nuraninya. Rendahnya derajat hati nurani dalam memperjuangkan hidup menyebabkan kebanyakan “oknum birokrat” tidak memiliki diri sebagai manusia beretika, sehingga sering terjebak ke dalam perilaku KKN. Tidak jarang, di kalangan aparatur pemerintah terdapat keputus-asaan. Sudah jujur, tetapi karir, penghasilan dan status sosial tidak maju-maju. Lalu muncul sifat ambivalensi, lebih baik maju pesat walau dengan mengorbankan kaidah etika, akhirnya mereka terjebak dalam paktek yang sangat pragmatis.


Sebenarnya para oknum aparatur pemerintahan tersebut selalu mengalami konflik bathin antara yang hak dan bathil dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Walaupun mereka tahu bahwa tindakan tersebut keliru tetapi demi perjuangan hidup tetap saja praktek yang tidak beretika (KKN) dilanjutkan. Terjadilah apa yang disebut dengan “double morale standart”. Para oknum aparatur pemerintahan yang seharusnya berfungsi dan berperilaku sebagai abdi/pelayan masyarakat ternyata berperilaku sebaliknya, yaitu “minta dilayani”. Bentuk keinginan untuk dilayani ini termanifestasi dalam wujud praktek suap, korupsi dan konspirasi.


Dalam rangka menanggulangi serta mengantisipasi fenomena tersebut sesuai dengan tuntutan reformasi, Pemerintah Indonesia saat ini tengah berupaya menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (“Good and Clean Governance”) yang menghendaki terwujudnya pemerintahan yang bersih, berwibawa, transparan dalam menjalankan tugas pelayanan publik dengan tekad memerangi praktek-praktek KKN. Sebagai implikasinya, setiap lembaga pemerintahan harus mau dan mampu melakukan langkah strategis terhadap aparaturnya, yaitu dengan melakukan upaya peningkatan kualitas profesionalisme aparatur agar memiliki “competitve advantage” yang menjunjung tinggi dan memegang teguh norma moral dan etika birokrasi serta agama dalam memberi pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan dan keinginan masyarakat.


Pemerintahan, dalam rangka mewujudkan Good Governace tersebut, tengah berupaya keras untuk melakukan pengawasan serta investigasi serta inspeksi terhadap perilaku-perilaku KKN di setiap jajaran instansi pemerintahan. Sayangnya, dalam melakukan investigasi dan inspeksi untuk pemberantasan KKN, pemerintah masih cenderung berkutet di sekitar birokrat jajaran atas belum sampai pada jajaran bawah. Padahal, kegiatan tersebut dapat dilakukan secara serentak atau bersamaan dengan cara melakukan pembagian tugas/kerja bagi tim-tim inspeksi sehingga akan terdapat tim yang melakukan inspeksi pada birokrat kelas atas dan juga tim yang melakukan inspeksi pada birokrat kelas bawah. Perlu diingat bahwa sesuatu yang besar itu selalu berawal dari yang kecil. Praktek KKN pada tingkat atas itu disebabkan oleh akumulasi “proses pembelajaran atau pembiasaan” yang dilewati oleh oknum-oknum tersebut ketika mereka masih “kecil” sampai kemudian mereka menjadi atau menduduki jabatan yang tinggi.


Memang bila dilihat secara parsial atau satu per satu, sepertinya nilai nominal kerugian yang ditanggung negara akibat praktek KKN pada jajaran bawah relatif kecil, namun apabila dilihat secara menyeluruh (akumulatif) maka akan terlihat nilai nominal yang sangat signifikan kerugian yang diderita bangsa dan negara ini. Coba dibayangkan, ada berapa banyak UPT-UPT dari seluruh Departemen di seluruh Indonesia (belum termasuk lembaga-lembaga kepemerintahan lainnya). Kemudian seandainya saja terdapat praktek-praktek penggunaan dana yang tidak benar “namun secara administrasi dianggap benar” di setiap UPT-UPT tersebut rata-rata hanya sebesar Rp. 50.000.000 (relatif kecil), maka bila nilai ini dikalikan dengan banyaknya UPT di seluruh Indonesia akan terlihat nilai nominal yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam pemberantasan KKN di lingkup birokrasi, janganlah tanggung-tanggung atau setengah-setengah, namun harus tuntas mulai dari hulu sampai ke hilir. Dan yang terpenting, anggota-anggota tim tersebutpun harus bersih dari unsur KKN.


Menjadi Aparatur yang Bebas KKN
Keberhasilan Pemerintah dalam mewujudkan “Good and Clean Governance” pada hakekatnya sangat ditentukan oleh SDM atau aparatur yang mengelola dan menjalankan roda pemerintahan tersebut, karena SDM lah yang menetapkan apa saja yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian sebagai aparatur negara, selain upaya-upaya yang dilakukan secara formal oleh pemerintah, setiap individu SDM lingkup lembaga-lembaga pemerintah seyogyanya mau dan mampu secara sadar dan mandiri berupaya untuk menjadi aparatur yang baik dan bersih yang terhindar dari kontaminasi KKN. Untuk itu SDM pemerintah perlu secara berkesinambungan mengembangkan dirinya, selalu belajar terus menerus dan berusaha agar selalu instropeksi di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Agar menjadi aparatur yang profesional, berkualitas, baik dan bersih, dapatlah dicontoh sifat-sifat utama dari Rasulullah Muhammad SAW, yang mana sifat-sifat tersebut berlaku universal sehingga dapat dijadikan panutan oleh siapa saja dalam aktivitas kesehariannya termasuk oleh aparatur Pemerintah. Sifat-sifat tersebut ialah: Sidiqh, Tabligh, Amanah, dan Fathona, agar lebih mudah mengingatnya kita singkat dengan STAF.


Sidiqh (Benar/Jujur)
Seorang aparatur Pemerintah hendaknya “harus” mau dan mampu untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran dalam berpikir, bertindak, maupun berbicara di dalam menjalankan tugasnya dan di kehidupan kesehariannya. Apa yang dikerjakan haruslah sesuai dengan aturan, tidak menyimpang dari norma dan etika yang berlaku di masyarakat, organisasi dan yang terutama tidak menyimpang dari agama. Kesadaran akan nilai-nilai ini akan menolong dan mengarahkan aparatur pemerintah untuk berbuat jujur terhadap dirinya dan terhadap masyarakat. Aparatur Pemerintah yang menegakkan kebenaran dan kejujuran di dalam melaksanakan tugasnya akan dapat menghindarkan diri dari perilaku negatif terhadap masyarakat demi kepentingan dan pemuasan kebutuhan diri sendiri.


Tabligh (Menyampaikan atau Menyerukan Pada Kebaikan)
Apabila sifat ini dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi, maka segala aktivitas yang cenderung negatif dapat terkontrol. Karena setiap individu akan berusaha untuk saling mengingatkan dan menyerukan pada kebaikan. Sebagai aparatur Pemerintah, kita seyogyanya wajib saling mengingatkan dan menyerukan kepada rekan sekerja, atasan maupun bawahan agar selalu berusaha melaksanakan pekerjaan sesuai dengan aturan atau prosedur yang berlaku. Aparatur Pemerintah yang baik harus mau dan mampu mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.


Aparatur yang mengedepankan sifat tabligh, akan selalu berusaha menjaga hubungan manusiawi yang harmonis dalam lingkup kerjanya maupun di lingkungan sekitarnya. Komunikasi yang baik akan selalu dibangun dalam rangka menyeru pada kebaikan. Keramahtamahan, tidak memandang rendah orang lain dan selalu berupaya menghargai orang lain harus di kedepankan, dengan tujuan persuasi, agar orang lain tersebut dapat diajak kearah kebaikan. Penguasaan akan keterampilan berkomunikasi sangat penting, sehingga orang yang diajak atau diseru dapat menerima dan merespons dengan senang hati.


Amanah (Dapat Dipercaya)
Jadilah aparatur Pemerintah yang dapat dipercaya. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai aparatur harus berupaya menjaga diri dan instropeksi diri sehingga dapat terpelihara dari sifat-sifat tercela. KKN tidak akan pernah terjadi apabila setiap aparatur memegang prinsip amanah, artinya tugas yang dibebankan kepadanya dilaksanakan secara baik, benar, bersih dan bertanggung jawab. Teguh pada pendirian sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang negatif.


Pekerjaan yang dipikul oleh aparatur pemerintah, pada dasarnya, dapat dipertanggungjawabkan dalam dua kondisi. Pertama, pertanggungjawaban berdasarkan aturan atau norma administrasi yang berlaku; kedua, pertanggungjawaban secara spiritual/religi. Selama ini yang terjadi “walaupun dianggap tidak salah” pertanggungjawaban yang dilakukan oleh kebanyakan aparatur pemerintahan adalah berdasarkan aturan administrasi yang “terkadang mengesampingkan” pertanggung jawaban secara religi/spiritual/agama. Hal ini terjadi, karena pada umumnya kegiatan yang dilakukan di lingkup pemerintahan merupakan kegiatan yang bersifat proyek dan dikelola menurut manajemen proyek, sehingga tolok ukur keberhasilannyapun proyek; Proyek dianggap sukses jika anggarannya habis terpakai. Pertanggungjawaban yang dilakukan dianggap benar bila telah sesuai dengan administrasi keproyekan, sehingga kadangkala atau bahkan sering terjadi “pembenaran tehadap penyelewengan” yang penting secara administrasi dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban atas amanah yang dipikul oleh aparatur Pemerintah sebaiknya dipegang teguh dengan berlandaskan religi/spiritual. Bila hal ini dilakukan, maka Aparatur Pemerintah dalam melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya, akan menggunakan hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja aparatur yang berada di atas rel atau jalan kebenaran yang “hakiki”.


Fathonah (Bijaksana dan Cerdas)
Bijaksana dalam mengambil sikap dan perbuatan atas dasar kecerdasan berpikir. Berusaha untuk terus belajar dan mengembangkan diri serta tidak arogan. Dengan meningkatkan kecerdasan dan ketajaman berpikir, aparatur Pemerintah akan mampu berpikir kritis dan mampu menguasai dan memahami pemasalahan-permasalahan yang dihadapinya dalam sebuah kerangka berpikir yang rasional/logis, sehingga sanggup menjawab setiap persoalan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas dan Rabbani. Tidak larut ke dalam kesesatan-kesesatan berpikir dan tidak terwarnai oleh pemikiran kotor dari nafsu yang rendah.
Seorang aparatur Pemerintah yang berjiwa fathonah akan memiliki kemampuan memilih kapan harus bertindak dan kapan harus diam. Aparatur Pemerintah yang memiliki kecerdasan dan kebijakan akan selalu berupaya untuk berhati-hati dan tidak ceroboh dalam bekerja, akan tetapi tidak lamban dalam menyelesaikan segala persoalan. Aparatur tersebut akan mampu membuat skala prioritas dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga tahu mana yang harus didahulukan dan mana yang dilakukan kemudian.

Penutup
Apabila setiap aparatur pemerintah mau dan mampu menerapkan konsep STAF ini, maka akan tercipta SDM-SDM pemerintah yang selalu mengedepankan norma moral dan etika birokrasi serta nilai-nilai agama sehingga tidak akan mudah menggadaikan hati nuraninya ketika melaksanakan tanggung jawabnya sebagai aparatur pemerintah.

1 komentar:

Wicaksono Dicky mengatakan...

terimakasih ilmu nya