Senin, April 18, 2011
Pendekatan Behavioristik dalam Pembelajaran
Dalam konteks pandangan behaviorisme, dapat dinyatakan bahwa praktek pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha conditioning (penciptaan seperangkat stimulus) yang diharapkan pula menghasilkan pola-pola perilaku (seperangkat response) tertentu. Prestasi belajar (achievment) dalam term-term pengetahuan (penalaran), sikap (penghayatan), dan keterampilan (pengamalan) merupakan indikator-indikator atau manifestasi dari perubahan dan perkembangan perilaku termaksud.
Belajar merupakan perubahan fungsoinal. Paham ini berpendirian bahwa jiwa manusia itu terdiri ats sejumlah fungsi-fungsi yang memiliki daya atau kemampuan tertentu (misalnya daya mengingat, daya berpikir dan sebagainya). Agar daya-daya itu berlaku secara fungsional, harus terlebih dahulu terlatih. Oleh karena itu, dalam konteks ini, belajar berarti melatih daya (mengasah otak) agar tajam sehingga berguna, untuk menyayat atau memecahkan persoalan-persoalan ataupun dalam hidup ini.
Jadi, hasil belajar dalam bidang tertentu, menurut teori ini, akan dapat ditransferkan (transferable) ke bidang-bidang lain. Dalam versi mutakhir, teori ini kita temukan sebagai teori cognitive yang dikembangkan oleh: Piaget, dalam konteks teori keseimbangannya yang disebut accomodation. Dijelaskan bahwa struktur fungsi kognitif itu dapat berubah kalau individu berhadapan dengan hal-hal baru yang tidak dapat diorganisasikan ke dalam struktur yang telah ada (prinsip association). Dengan demikian belajar dalam hal ini apat mengandung makna sebagai: perubahan struktutral.
Pola belajar signal learning (belajar signal atau anda isyarat). Sinal learning dapat didefinisikan sebgai proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat involunter (involuntary) (tidak disengaja dan didasari tujuannya). Dalam pola perilaku ini terlibat aspek-aspek reaksi emosional di dalamnya. Misalnya, seorang anak menolak berobat ke dokter sebagai reaksi emosional atas pengalamnnya yang dirasakan sebagai hal yang kurang menyenangkan. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini, ialah diberikan stimulus (signal) secara serempak (contiguity) perangsang-perangsang tertentu dengan berulang-ulang (repetition). Tipe belajar ini dapat digolongkan pula ke dalam jenis belajar classical condition (Pavlov).
Pola belajar stimulus-respens learning (belajar stimulus respons, sambut rangsang). Tipe belajar ini masuk ke dalam tipe operant or instrumental condition atau belajar dengan trial and error (thorndike). Misalnya, anjing dapat melakukan jabat tangan kalau mendengar perintah tertentu dari pelatihnya.
Teori belajar koneksionisme dipelopori oleh Thorndike dan kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar lainnya. Teori ini menjelaskan bahwa kegiatan belajar, baik pada kehidupan hewan maupun dalam kehidupan manusia, verlangsung menurut prinsip yang sama yaitu melalui proses pembentukan asosiasi antara kesan panca indera dengan perbuatan. Proses belajar berlangsung sesuai dengan hukum kesiapan, hukum latihan, dan hukum efek. Hukum kesiapan (law of rediness) menjelaskan bahwa kegiatan belajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien apabila peserta didik telah memiliki kesiapan belajar. Hukum ini menjelaskan bahwa materi belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan belajar dan sesuai pula dengan cara-cara belajar yang dimiliki pesrta didik, sehingga kegiatan belajar dapat menimbulkan kepuasan pada peserta didik. Hukum latihan (law of exercises) menyatakan bahwa koneksi antara kondisi dan tindakan dalam belajar akan menjadi kuat karena adanya latihan penggunaan sesuatu yang dipelajari (law of use). Sebaliknya koneksi dan tindakan itu akan menjadi lemah apabila tanpa latihan (law of disuse). Hukum ini memberikan pembenaran terhadap pentingnya pesrta didik untuk selalu mengulangi materi yang dipelajari. Hukum efek (law of effect) menyatakan bahwa kegatan belajar ang memerikan hasil yang menyenangkan kepada pesrta didik, seperti pujian dan hadiah, cenderung kegiatan tersebut akan diulangi dan dikembangkan oleh pesrta didik. Sebaliknya kegiatan belajar yang memberikan hasil yang tidak menyenagkan, seperti celaan dan hukuman, cenderung akan dihentikan atau dihindari oleh peserta didik. Dengan demikian kesiapan, latihan dan pengaruh merupakan hukum-hukum yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran.
Teori conditioning mula-mula dipelopori oleh Ivan Pavlov (1927) kemudian dikembangkan oleh Watson (1970). Percobaan yang dilakukan Pavlov terhadap anjungnya mengambarkan bahwa belajar dilakukan dengan mengasosiaikan suatu ganjaran (reward) dengan ransangan (stimulus) yang mendahului ganjaran itu. Perangsang bersyarat dan perangsang tidak bersyarat merupaka penkondisian (conditioning) dalam proses pembentukan perilaku. Watson mengembangkanteori ini melalui percobaan tentan gejala takut pada anak, dengan menggunakan tikus putih. Menurut teosi ini, belajar adalah suatu proses yang disebabkan oleh adanya syarat tertentu yaitu berupa rangsangan. Penkondisian (conditioning) dalam bentuk rangsangan dan pembiasaan mereaksi terhadap perangsang tertentu menimbulkan proses belajar.
Skinner mengembangkan teori operant conditioning melaluipercobaan terhadap burung dan kotak yang dilengkapi dengan pengungkit. Apabila pengungkit itu kena tekanan maka ia dapat mengeluarkan makanan. Ada dua macam respons dalam hal ini, yaitu yang timbul dari perangsang tertentui, seperti makanan yang menimbulkan keluarnya air liur dan operant-operant yang imbul dan berkembang karena perangsang tertentu itu diikuti oleh perangsang lainnya (reinforing stimuli), Perilaku yang terbentuk karena operant respons disebut operant behavior. Guthrie memanfaatkan teori conditioning dalam menemukan cara mengubah kebiasaan yang kurang baik. Tingkah laku manusia merupakan rangkaian unit tingkah laku yang saling memberikan respons terhadap rangsangan yang timbul dari masing-masing unit tingkah laku itu. Dalam proses cnditioning akan terjadi asosiasi antara unit-unit tingkah laku berurutan. Melalui latihan berulang kali maka terjadilah penguatan proses asosiasi.
Aliran belajar tingkah laku memandang belajar sebagai suatu pola hubungan stimulus dan respons (S-R). Menurut Thorndike bahwa belajar merupakan kegiatan trial and error. Berdasarkan hasil penelitiannya, Thorndike mengemukakan tiga hukum, yaitu (a) hukum kesiapan, yaitu keadaan yang bekaitan dengan kesenangan atau ketidaks enangan untuk dan dalam belajar, (b) hukum latihan, yang brekenaan dengan proses p[enguatan hubungan antara stimulus dan respons yang berkaitan yang diperoleh peserta didik melalui praktek, (c) hukum pengaruh, berkaitan dengan penguatan dan pemutusan setiap hubungan antara stimulus dan respons melalui tindakan.
Teori ini menyatakan bahawa jika seseorang dihadapkan pada suatu kebutuhan untuk merespons stimulus maka ia akan mencoba dengan pola respons tertentu. Jika ternyata responsnya sangat tepat maka ia akan mengulangi lagi respons tersebut seandainya stimulus yang bersamaan muncul. Namun jika respons itu tidak tepat maka ia tidak akan mengulangi lagi responsnya seanainya stimulus yang bersamaan itu timbul kembali.
Menurut horndike, proses belajar behavioristik mengandung tiga unsur penting, yaitu stimulus, respons, dan penguatan (reinforement). Teori ini dianggap sebagai dasar berbagai program inovatif dalam pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah seperti pembelajaran berprogram, mesin pembelajaran, dan pembelajaran melalui komputer. Menurut teori ini tingkah laku seseorang adalah sebagai akibat dari lingkungan. Untuk mengontrol tingkah laku seseorang dapat dilakukan dengan upaya mengendalikan rangsangan yang bersumber dari lingkungan sekitar.
Sehubungan dengan itu, Skinner mengemukakan bahwa perilaku seseorang itu merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya. Sikap dan pemikiran seseorang bukan faktor penyebab bagi perilaku orang itu, melainkan muncul bersamaan dengan perilaku atau mengikuti perilakunya ini. Cara berperilaku seseorang dan akibat dari perilakunya dapat diamati (diobservasi). Perubahan perilaku dapat dikendalikan melalui upaya penguatan pengaruh yang positip dan menghindarkan pengaruh negatif berdasarkan suatu rancanagn tertentu. Berdasarkan pandang ini Skinner mengajukan teknologi perilaku yang dinilainya amat penting dalam menentukan strtaegi pendidikan. Teknologi perilaku memberikan penekanan untuk terjadinya penggeseran tanggungjawab atas perubahan perilaku pada diri orang yang melaksanakan atau dikenai perubahan perilaku pada diri orang yang melaksanakan atau dikenai perubahan perilaku itu dalam lingkungannya. Dalam penggunaan teknologi perilaku maka berbagai penguat (reinforcers) baik penguat yang positip maupun penguat yang negatip perlu dirancang dan digunakan secara tepat dan teliti.
Implikasi praktis aliran ini dalam prose pembelajaran adalah (a) tujuan-tujuan pembelajaran harus dirumuskan dalam sebuah bentuk perilaku tertentu yang dapat diamati dan diukur; (b) materi pelajaran perlu dipecah menjadi bagian-bagain kecil sehingga mudah dikuasai oleh peserta didik; (c) materi pelajaran dan kegiatan belajar disusun dalam urutan yang logis sehimgga memudahkan bagi peserta didik untuk melaluinya; dan (d) proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh tersedianya bahan belajar.
9 Propositions of Modern Learning
2. It is important that the pupil share in the development and management of the curriculum
3. Learning is integral; genuine learning is not an additive experience but a remaking of experience
4. Learning Depends on wanting to learn
5. An individual learns best when he is free to create his own responses in a situation
6. Learning depends on not knowing the answers
7. Every pupil learns in his own way
8. Learning is largely an emotional experience
9. To learn is to change
Sources:
Canton, N. 1953. The Teaching-Learning Process. New York: Rinehart & Winstons
Walter, GA & Marks, SE. 1981. Experiental Learning and Change. New York: John Wiley & Sons
Sabtu, April 16, 2011
Pemberdaya dan Yang Diberdayakan
Partisipasi aktif dari semua elemen bangsa sangat diperlukan dalam pembangunan. Namun demikian sebagaimana diketahui kebijakan masa lalu tidak memberikan mereka peluang gerak yang luas untuk mengakses ruang pendidikan, ekonomi, dan politik sehingga pada saat ini sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam kondisi yang serba terbatas atau tidak berdaya atau tidak memiliki kapasitas yang memadai. Hanya terdapat segelintir orang atau kelompok orang yang hidupnya lebih baik dan berdaya. Karena keterbatasan kapasitas tersebut maka mereka belum mampu berperan serta secara aktif dan menyeluruh dalam pembangunan, kalaupun terlibat peran mereka hanyalah bersifat parsial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pemberdayaan.
Upaya pemberdayaan pada dasarnya akan melibatkan dua pihak yaitu pertama pihak yang melakukan pemberdayaan dan kedua adalah pihak yang diberdayakan. Dalam konteks pembangunan bangsa dan negara, yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pemberdayaan adalah pihak pengambil kebijakan di level pemerintah, sedangkan pihak-pihak yang diberdayakan adalah masyarakat pada umumnya, para pelaksana penyelenggara organisasi baik organisisasi pemerintahan/aparatur pemerintahan maupun organisasi non pemerintah. Dengan demikian, pemberdayaan tidak akan pernah terjadi dengan sendirinya, tanpa adanya kemauan dan kerja keras dari pihak pemberdaya dan pihak yang diberdayakan. Artinya, harus ada interaksi yang bersifat positip dari kedua pihak, harus ada komitmen yang kuat serta konsistensi dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan.
Pertanyaan yang timbul adalah harus dari mana aktivitas pemberdayaan dimulainya?. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa aktivitas pemberdayaan melibatkan dua pihak yaitu pemberdaya (aparatur pemerintah) dan pihak yang diberdayakan, oleh karena itu sudah seharusnya pemberdayaan itu dimulai dari aparatur pemerintah (Mullik, 2003). Artinya, aparatur pemerintah harus memiliki kapasitas yang memadai dan mengetahui dengan baik cara memberdayakan. Kapasitas yang dimaksud di sini harus meliputi kapasitas intelektual, kapasitas emosional/sosial, dan yang paling penting adalah kapasitas moral.
Peningkatan kapasitas intelektual para aparatur perlu dilakukan agar mereka mampu menjawab dan memecahkan setiap persoalan pemberdayaan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas, logis dan kreatif. Oleh karena itu para aparatur harus terus diupayakan agar lebih pintar (berpengetahuan), trampil, dan lebih mampu. Hal ini dapat dicapai melalui aktivitas pendidikan baik formal, maupun non formal.
Peningkatan kapasitas emosional pemberdaya, yaitu para aparatur selaku pemberdaya harus selalu diarahkan untuk mampu membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan sistem sosial (masyarakat) di mana aparatur tersebut berada. Ia harus memiliki kemampuan untuk memotivasi, mendorong dan menata masyarakat disekitarnya dan sanggup menerima amanah kepercayaan masyarakat. Dengan kapasitas emosional yang baik, para aparatur akan sanggup memahami dan berintraksi dengan masyarakat dengan segenap kemajemukan karakter sosial yang melekat pada masyarakat tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan saat ini masih terdapat aparatur pemerintah baik secara latent maupun manifest yang tetap melakukan praktek-praktek KKN. Oleh karena itu pembenahan dan peningkatan kapasitas moral dirasa sangat perlu dan mendesak. Aparatur pemerintah harus di arahkan agar mereka memiliki kemampuan mengendalikan diri, kemampuan menata karakter dan manajemen Qalbu, kemampuan mengembalikan dan menyandarkan semua urusan hanya kepada Sang Khalik. Dengan meningkatnya kapasitas moral, maka diharapkan dalam melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya sebagai pihak yang melakukan pemberdayaan, aparatur pemerintah akan menggunakan hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja SDM yang berada di atas rel atau jalan kebenaran yang “hakiki” yang akan berujung pada tercapainya efektivitas kinerja yang baik dan benar.
Bila ketiga kapasitas tersebut telah dimiliki oleh aparatur pemerintah, maka akan tercipta aparatur yang berdaya, kuat dan tegas, sehingga secara bertahap akan mampu secara bertanggung jawab menginisiasi, memotivasi, menggerakkan dan membantu mengelola potensi atau daya yang ada dalam masyarakat menjadi sebuah kekuatan swadaya bangsa. Namun demikian, agar ketiga komponen kapasitas itu dapat berjalan dan sebagai antisipasi timbulnya penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan, maka perlu seperangkat instrumen pengendali yang secara tegas mengatur aparatur pemerintah dalam melakukan aktivitas pemberdayaan. Muara dari instrumen ini adalah secara gradual terbangunnya kapasitas intelektual, kapasitas emosional, dan kapasitas moral yang baik sebagaimana diharapkan oleh hampir semua masyarakat Indonesia pada umumnya. Instrumen tersebut dapat berwujud aturan atau hukum yang di dalamnya terdapat ancaman dan sanksi bagi yang melanggar.
Setelah pembenahan terhadap aparatur dilakukan dan mereka telah memiliki ketiga kapasitas yang memadai maka pemberdayaan kepada masyarakat dapat dilakukan. Mullik (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu penyuluhan, pendampingan dan pelayanan (P3) Tujuan dari P3 adalah pertama, mendorong masyarakat untuk melihat peluang-peluang yang ada untuk merencanakan pembangunan hingga menikmati hasilnya. Kedua, mendorong masyarakat untuk menentukan program pembangunan pembangunan berasas lokal namun berorientasi global. Ketiga, mendorong masyarakat untuk mempunyai kemampuan dalam mengontrol masa depannya sendiri. Keempat, mendorong masyarakat untuk menguasai lingkungan sosialnya. Dengan demikian, penekanan dari kegiatan P3 adalah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat agar mereka mempunyai akses yang lebih luas di bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Masyarakat diajak, diarahkan, dibimbing, dan dididik agar secara sadar mau belajar secara terus-menerus sehingga dapat mengelola potensi yang dimilikinya menjadi sebuah kekuatan yang bermuara pada lahirnya masyarakat yang mandiri dalam upaya-upaya memecahkan persoalan hidupnya serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Dalam seluruh kegiatan pemberdayaan, pemberdaya berperan sebagai fasilitator. Peran sebagai fasilitator menggunakan falsafah doing with the community bukannya doing for the community. Falsafah kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, falsafah kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs dan felt needs. Falsafah kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar Ki Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di
Semakin lama kegiatan berjalan, peran sebagai fasilitator semakin dikurangi, dan pada akhirnya dapat dilepaskan apabila masyarakat telah mandiri dan telah mencapai keberdayaan pada aspek ekonomi, sosial dan politik. Pemunduran ini bukan satu tahap tetapi suatu proses yang dilakukan secara pelan-pelan. Dengan lain perkataan, peran aparatur atau pemberdaya akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya akan berhenti, untuk selanjutnya peran sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh anggota dalam masyarakat itu sendiri yang oleh anggota masyarakat lainnya dianggap mampu membawa ke arah keberdayaan yang lebih kokoh.