Secara dasariah komunikasi
dikatakan berlangsung efektif apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan antara
komunikator dan sasaran komunikasinya. Artinya proses penyandian oleh
komunikator harus beririsan (intersection)
dengan proses pengawasandian oleh sasaran komunikasi. Menurut Schramm (1972)
semakin tumpang tindih pengalaman dan kerangka rujukan (field and frame of references) komunikator dengan pengalaman dan kerangka
rujukan sasaran komunikasi, akan semakin efektif pesan yang dikomunikasikan.
Komunikator akan dapat menyandi dan sasaran komunikasi akan dapat mengawasandi
hanya dalam istilah-istilah sesuai dengan pengalaman dan kerangka rujukan yang
dimiliki masing-masing. Namun demikian kefektifan komunikasi bukan hanya
dilihat dari kesamaan makna yang diperoleh masing-masing orang yang terlibat
dalam komunikasi tersebut tetapi sebenarnya dilihat dari tujuan yang hendak
dicapai dalam proses komunkasi tersebut, apakah untuk perubahan sikap,
perubahan pendapat, perubahan prilaku, perubahan emosional ataupun perubahan
sosial.
Oleh karena itu, komunikasi
yang efektif mengadung pengiriman dan penerimaan pesan yang paling cermat,
pengertian pesan yang mendalam oleh kedua belah pihak dan pengambilan tindakan
yang tepat terhadap penyelesaian pertukaran informasi. Komunikasi yang efektif
berarti bahwa maksud dan tujuan yang terkandung dalam komunikasi disampaikan
dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti sepenuhnya oleh penerima;
artinya harus ada ketepatan pikiran oleh kedua belah pihak yang berunjung pada
tercapainya maksud dan tujuan komunikasi tersebut.
Dengan demikian dalam konteks
penyuluhan terkait dengan pemberdayaan masyarakat, komunikasi dikatakan efektif
apabila makna pesan yang disampaikan oleh penyuluh dimaknai relatif sama dengan
apa yang diterima oleh masyarakat sehingga berujung pada terjadinya tindakan
dari masyarakat sesuai dengan yang dikehendaki oleh penyuluh.
5 Hukum Komunikasi Yang Efektif
Hukum Komunikasi Yang Efektif terangkum dalam satu
kata yang mencerminkan esensi dari komunikasi itu sendiri yaitu REACH,
yang berarti merengkuh atau meraih. Karena sesungguhnya komunikasi itu pada
dasarnya adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, cinta kasih, minat,
kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain.
Hukum
# 1: Respect
Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi yang
efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran
pesan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam
berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin
dihargai dan dianggap penting, bahkan dalam memberikan kritik, menegur atau
memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan
kebanggaaan orang tersebut. Membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling
menghargai dan menghormati, maka akan dapat dibangun kerjasama yang
menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja baik sebagai
individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.
Hukum
# 2: Empathy
Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri
pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu
prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk
mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti
oleh orang lain.
Rasa empati akan memampukan seseorang untuk dapat menyampaikan pesan dengan cara dan
sikap yang akan memudahkan orang lain menerimanya. Oleh karena itu, dalam kegiatan
penyuluhan memahami perilaku kelayan (sasaran suluh) merupakan keharusan.
Dengan memahami perilaku sasarn suluh, maka penyuluh dapat empati dengan apa
yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan sasaran suluh. Demikian
halnya dengan bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi dalam membangun
kerjasama tim, perlu saling memahami dan mengerti keberadaan orang lain dalam
tim. Rasa empati akan menimbulkan respek atau penghargaan, dan rasa respek akan
membangun kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork.
Jadi sebelum membangun komunikasi atau mengirimkan
pesan, perlu dimengerti dan dipahami
dengan empati calon penerima pesan. Sehingga nantinya pesan akan dapat
tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima.
Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar
dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun
dengan sikap yang positif. Banyak sekali orang yang tidak mau mendengarkan
saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi
adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak
ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan.
Hukum
# 3: Audible
Makna dari audible antara lain: dapat
didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti harus
mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka
audible berarti pesan yang disampaikan harus dapat diterima atau ditangkap oleh
penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui
media atau delivery channel sedemikian hingga dapat diterima dengan baik
oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan untuk menggunakan
berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan
membantu agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Dalam
komunikasi personal hal ini tidak hanya berarti bahwa pesan yang disampaikan harus
dapat didengar tetapi juga harus dilakukan dengan cara atau sikap yang dapat
diterima oleh penerima pesan.
Hukum
# 4: Clarity
Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan
baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan
itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai
penafsiran yang berlainan, karena kesalahan penafsiran atau pesan yang dapat
menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana.
Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan
transparansi. Dalam berkomunikasi perlu dikembangkan sikap terbuka (tidak ada
yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya
(trust) dari penerima pesan atau anggota tima. Tanpa adanya keterbukaan akan
timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan
antusiasme kelompok atau tim.
Hukum
# 5: Humble
Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang
efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait
dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya
didasari oleh sikap rendah, antara lain meliputi: sikap yang penuh melayani (dalam bahasa manajemen
mutu terpadu: Customer First Attitude), sikap menghargai, mau mendengar dan
menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui
kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta
mengutamakan kepentingan yang lebih besar.